PojokTIM – Bagi sebagian orang, peristiwa berlalu begitu saja. Hilang ditimpa peristiwa lain. Namun tidak demikian halnya bagi Isbedy Stiawan ZS. Bukan hanya mencatat, penyair berjuluk Paus Sastra Lampung itu merasa perlu menandai dan memberi makna atas peristiwa yang dibaca, dilihat, dan dirasakan.
“Sebagai wartawan, saya mencatat peristiwa untuk diberitakan kepada masyarakat. Sebagai penyair saya memberi interpretasi dari sudut pandang personal, memberi makna dan menandainya. Sebab penyair tidak hidup di awang-awang. Puisi adalah “suara lain” dari sang penyair, suara yang menurut pendapat Paz (Octavio Paz, penyair berkebangsaan Meksiko) akan melampaui zamannya,” ujar Isbedy yang dikutip dari pengantar buku kumpulan puisi Kota Cahaya yang diterbitkan Penerbit Grasindo (2005).
Melampaui zamannya. Frasa itu yang akhirnya memantik keinginan Isbedy untuk menerbitkan ulang kumpulan puisi Kota Cahaya. Bagi Isbedy, Kota Cahaya bukan sekedar berita tentang lampu tembak dari Hotel Bukit Randu dan Masjid Al-Furqon, Bandarlampung. Kota Cahaya adalah juga penanda perubahan kota kelahirannya, tempat di mana, “pecahan-pecahan bintang yang merantau/sepanjang malam akan rebah di kota ini//…”
Dalam kata pengantar buku kumpulan puisi Kota Cahaya, baik yang lawas maupun baru, pembaca dapar merasakan gelora Isbedy dalam mencipta dan menandai sesuatu. Wawancara ini disarikan dari kedua kata pengantar tersebut, dan perbincangan melalui pesan singkat dalam beberapa kesempatan.
Anda telah menerbitkan banyak buku kumpulan puisi. Mengapa Kota Cahaya begitu spesial?
Setiap buku memiliki kesan mendalam, juga makna berbeda. Tetapi jujur saja, buku kumpulan puisi Kota Cahaya – Seratus Puisi Pilihan, yang diterbitkan Grasindo dan dieditori Pamusuk Eneste, menggoda saya untuk menerbitkan ulang. Saya merasa “memiliki” seluruh puisi dalam buku ini. Entah mengapa; mungkin apa yang terkandung setiap puisi memiliki cerita dan makna bagi saya. Atau, saya merasa bahwa 100 puisi pilihan ini penanda kepenyairan saya karena berisi puisi-puisi yang tercipta sejak awal kepenyairan saya. Dari buku ini juga saya merasa sudah “jadi” penyair.
Karena Pamusuk Eneste?
Di tahun 2005, ketika buku kita dieditori oleh Pamusuk Eneste, tentu sesuatu yang spesial. Terlebih sebelumnya saya belum pernah bertemu, atau bersurat. Di Kota Cahaya awal saya bertemu dan berdiskusi dengan Pamusuk Eneste. Demikian juga dengan kritikus dan akademisi asal Yogyakarta, Suminto A Sayuti, yang memberi kata pengantar Kota Cahaya. Kami langsung “sok akrab” padahal sebelumnya hanya saling kenal lewat karya.
Mengapa keinginan untuk menerbitkan kembali Kota Cahaya tertunda cukup lama?
Iya, dalam beberapa tahun terakhir saya sudah memiliki keinginan untuk menerbitkan kembali kumpulan puisi Kota Cahaya. Keinginan itu belum terpenuhi karena saya tidak memiliki dokumen dalam bentuk softcopy. Saya malas kalau harus mengetik ulang. Selain soal waktu, juga kuatir terjadi perubahan karena terbawa suasana saat ini.
Kebetulan Yurie Arsyad Temenggung, mahasiswa Strata 2 Universitas Lampung yang akan membuat tesis dengan materi puisi-puisi saya, menawarkan gagasan menerbitkan kembali antologi Kota Cahaya. Kata Yurie, saat ini sedang tren sastrawan menerbitkan kembali karya-karya lawas.
Keinginan terpendam saya pun bersambut. Saya kemudian menantang Yurie untuk mengetik ulang puisi-puisi itu. Ternyata Yurie bersedia sehingga dimulailah proses penerbitan ulang Kota Cahaya. Saya kemudian menghubungi Lukman Hakim Daldiri, yang saya tahu banyak memburu dan mendokumentasikan karya-karya lawas saya. Dari Lukman Hakim saya mendapat softcopy karya-karya saya sejak awal berkarya sampai yang bertarikh 2008. Dengan demikian Yurie tinggal merapikan typo dan ejaan, tidak perlu mengetik ulang.
Isbedy Stiawan ZS bersama Sutardji Calzoum bachri pada satu acara di Taman Ismail Marzuki (TIM, Cikini, Jakarta Pusat. Foto: Iin Zakaria
Dari 100 puisi yang terhimpun, mengapa memilih puisi Kota Cahaya sebagai judul buku?
Puisi itu terinspirasi lampu tembak yang cahayanya mencapai lebih dari 5 kilometer, seperti lampu pada pasar malam atau sirkus. Lampu itu dipasang di Masjid Al-Furqon, Lungsir dan satunya di Hotel Bukit Randu, di tengah Kota Bandarlampung. Malam hari, kedua tembakan cahaya itu saling beradu di langit. Cahaya itu menggugah proses kreatif saya. Dalam perjalanannya, tidak hanya puisi Kota Cahaya yang saya tulis, namun berkembang pada sejarah kaum Nabi Luth, istrinya, dan dua kota yang dijungkirbalikkan oleh Allah Swt. Saya memiliki kesan yang sangat personal dengan Kota Cahaya. Kebetulan, kepenyairan saya diawali dengan puisi-puisi sufistik; puisi yang menyuarakan kematian, merindukan “pertemuan” pada sang Khalik, atau kehendak untuk menjelajah ke alam batin yang transendental, dan selingkarnya. Puisi-puisi jenis ini, di tahun 1980-an mendapat tempat yang baik dan menjadi tren dengan sebutan puisi sufistik, religius, transendental, dan lainnya.
Kota Cahaya secara estetika juga cukup puitik, unik dan mudah diingat. Dengan diterbitkan kembali Kota Cahaya dan dipublikasikan secara gratis di platform Lentera, akan semakin banyak yang mengenal dan mungkin akan “menandai” saya sebagai penyair religi sebagaimana Sapardi Djoko Damono “ditandai” sebagai penyair romantis karena puisi “Aku Ingin” dan “Hujan Bulan Juni”. Sesuatu yang kurang tepat, karena mengabaikan karya dengan tema-tema lainnya. Tetapi jika itu bentuk kecintaan, saya kira baik-baik saja.
Bagaimana sesungguhnya pandangan Anda terhadap sastra universal dan sastra kontekstual?
Kebetulan saya berkarya di tengah menguatnya isu sastra universal, yang di dalamnya termasuk tema sufistik, dengan sastra kontekstual. Jujur saya tidak fanatik pada aliran tertentu. Saya keluar masuk di antara dua tren itu. Karena saya sangat percaya puisi yang baik akan tetap kontekstual sekaligus universal.
Saya tidak sepenuhnya meninggalkan aliran puisi sufistik, tapi saya juga membebaskan sudut pandang keberagaman tema. Misalnya, sebagai manusia yang tak bisa lepas hidup bersosial, saya mesti menyuarakan ketimpangan yang ada. Apalagi profesi saya sebagai jurnalis yang setiap hari disuguhi ragam berita, makin menajamkan “penciuman” saya pada kehidupan.
Namun, saya tak cuma mencatat ihwal kehidupan yang ada. Sebab itu, saya harus “memberi nilai” dan “menandai” apa yang saya baca, lihat, dan rasakan dalam kehidupan ini. Dalam kurun waktu “menandai” ini, kebetulan sekali saya banyak melakukan perjalanan ke berbagai kota baik itu diundang dalam pertemuan sastra atau sekadar vakansi. Dari pengembaraan itu saya banyak mendapat sentuhan untuk menulis puisi. Saya juga dapat “menandai” berbagai fenomena yang ada di Tanah Air.
Anda cukup totalitas dan produktif dalam berkarya. Sudah menulis ribuan puisi, juga cerpen. Ada target tertentu?
Meskipun sejak awal memilih dunia kepenyairan, saya tidak punya pretensi macam-macam, misalnya ingin dikenal, memburu ketenaran, atau mengharap puji-pujian, atau apalah sebutannya. Tugas saya hanya menulis ketika sentuhan puitik datang. Seperti juga saya tak bisa berharap banyak bahwa profesi kepenyairan dapat menggantungkan hidup saya. Meski saya tidak ingkari, profesi kepenyairan pernah dan telah menghidupi saya. Terbukti, sampai kini saya tidak menggelandang, melunta, mengemis, apalagi menjaja idealisme!
Ada tips khusus untuk penyair-penyair yang tengah mencari eksistensi?
Jangan bebani diri dengan hal-hal di luar karya. Jangan cepat puas. Terus melakukan eksplorasi yang memperkaya tema dan bentuk karya. Secara subyektif, saya sarankan, selama masa pencarian harus berani membebaskan karya dari sekat-sekat istilah yang membelenggu. Semisal aliran, atau tema tertentu.
Dari tiga fase kepenyairan saya selama 21 tahun (1984-2005), tampak perbedaan sekaligus perubahan yang jelas sekali. Perubahan bukan pada tema, tetapi pada struktur, gaya, diksi, dan idiom yang baru dan segar. Terutama pada struktur (style) terjadi perubahan yang jelas sekali. Pada puisi-puisi paling terkini, saya telah meninggalkan narasi yang melebar ke samping dan saya lebih menyukai puisi-puisi dengan menggunakan kalimat-kalimat pendek yang saya anggap efektif.
Saya percaya bahwa perubahan bagi seorang seniman adalah niscaya untuk menghindari stagnasi. Jika saya tak melakukan perubahan, mungkin kepenyairan saya sudah lama mati.