PojokTIM– Popularitas Kurnia Effendi (Kef) tidak perlu diragukan. Begitu masuk ke Warung Apresiasi (Wapress) kawasan Bulungan Jakarta Selatan untuk menghadiri acara peluncuran buku antologi puisi sekaligus perayaan ulang tahun ke-16 komunitas  Sastra Reboan, Rabu (29/5/2024) malam, sejumlah tamu undangan yang telah lebih dulu hadir langsung berebut menyalaminya, dan meminta bergabung dengan di meja mereka.

“Minta izin, saya culik Bang Kef,” ujar PojokTIM  sambil mengajak penulis novel Pangeran dari Timur (bersama  Iksaka Banu) itu, berpindah ke meja di pojok ruangan yang masih kosong. Sebelumnya PojokTIM memang sudah meminta waktu untuk wawancara terkait manajemen komunitas sastra.

“Saya bukan pendiri atau pengurus Sastra Reboan. Saya diajak bergabung ke Sastra Reboan oleh Mas Slamet,” ujar Kef yang mengenakan kain batik yang selama ini menjadi ciri khasnya. (A. Slamet Widodo, Pembina Sastra Reboan, pen).

Kef mengawali kiprahnya di Semarang dan Bandung sebagai penulis cerita remaja, dan mulai serius menggeluti dunia sastra, khususnya cerpen dan puisi, setelah hijrah ke Jakarta. Sebetulnya sejak di Bandung sudah mulai mengisi halaman sastra koran dengan cerpen dan puisi.

Di tengah keiuhan acara dan dentuman musik dari grup band Joko Joker, PojokTIM menuntaskan wawancara eksklusifnya dengan penerima penghargaan sastra dari Badan Bahasa 2013 untuk bukunya, Anak Arloji. Berikut rangkumannya.

Di luar karya, Anda juga dikenal piawai mengelola komunitas. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membangun komunitas hingga benar-benar aktif dan militan?

Tidak ada ukuran waktunya. Contohnya ketika pada November 1996, setelah Penyair Abad 21, terbentuk Komunitas Sastra Indonesia (KSI) yang merupakan gabungan dari 9-10 komunitas kecil di Jabodetabek. Dalam komunitas itu ada Ahmadun Yosi Herfanda, Edy A. Effendi, Wowok Hesti Prabowo, MEdy Loekito, Fatin Hamama, Ayid Suyitno, Wig SM, dan lain-lain dengan pembina antara lain Eka Budianta, Slamet Sukirnanto, Dyah Hadaning. Saya bergabung bukan sebagai anggota komunitas kecil-kecil itu, tapi langsung ke Komunitas Sastra Indonesia.

Di awal-awal, 5-10 tahun pertama, Komunitas Sastra Indonesia sangat berpengaruh. Kalau mengorbitkan orang-orang yang memiliki dedikasi tinggi terhadap sastra, sangat ampuh. Selain pamor para pendirinya, Komunitas Sastra Indonesia juga memiliki jaringan dan kerja sama dengan komunitas-komunitas lain.

Tetapi setelah itu redup dengan sendirinya. Hampir tidak ada regenerasi. Komunitas Sastra Indonesia masih ada, tapi kegiatannya tidak lagi semoncer dulu.

Apakah karena komunitas-komunitas pembentuknya sudah tidak ada atau anggotanya banyak yang membentuk komunitas baru?

Persoalan mendasar yang dialami Komunitas Sastra Indonesia (KSI) lebih kepada  munculnya komunitas-komunitas baru yang dibentuk oleh anggotanya, baik masih terhubung atau menjadi bagian dari Komunitas Sastra Indonesia maupun yang benar-benar lepas. Sepuluh tahun sejak berdirinya KSI, saya diminta menjadi koordinator bahu-membahu bersama anggota KSI yang tinggal di Yogyakarya seperti Bambang Widiatmoko dan Saut Situmorang sebagai respons atas terjadinya bencana gempa tahun 2006. Saat itu ada bantuan dari Kemendikbud melalui Wien Muldian dan Bentang Pustaka. Nah, kami bikin buku antologi puisi yang judulnya Yogya 5,9 Skala Richter. Dilelang dan dijual, hasilnya untuk menyumbang korban gempa bumi. Tidak seberapa dibandingkan kehilangan mereka, tapi itu sebagai tanda empati para penyair.

Namun banyak juga anggota pentolan membentuk komunitas secara mandiri. Tidak jadi soal karena itu seperti anak-anak komunitas yang tumbuh berikutnya.  Wowok Hesti Prabowo banyak melatih para buruh menjadi penulis, di antaranya Husnul Khuluqi yang karya puisinya sempat masuk Kompas.

Saat ini, membangun  komunitas sangat mudah. Tapi banyak yang hanya tumbuh sesaat, dan akhirnya tinggal namanya. Bagaimana menurut Anda?

Penyakit yang dialami oleh banyak komunitas antara lain para seniman rata-rata kurang mampu merawat organisasi karena cara berpikirnya seniman. Padahal organisasi butuh disiplin, butuh aturan, dan macam-macam yang kadang tidak pas dengan jiwa seniman. Tapi jika dia disiplin dengan organisasi, patuh dengan aturan, mengikuti agenda-agenda kerja sama dengan pihak lain, terlibat dalam surat-menyurat, justru dia tidak sempat berkarya.  Jadi dilematis. Problemnya di situ.

Bagaimana dengan kepentingan orang per orang di dalamnya?

Seniman pasti punya ego. Nah, ketika sepakat membangun komunitas atau bergabung sebagai anggota, maka separuh egonya harus dihilangkan. Ketua atau pemimpinnya juga harus legowo dan mau berbagi dengan anggotanya. Misalnya ketika mendapat jatah kegiatan atau undangan dari TIM (Taman ismail Marzuki) jalan-jalan ke daerah atau luar negeri, jangan dimonopoli oleh pemimpin komunitas. Dibagikan juga kepada anggota secara proporsional. Jangan itu-itu saja yang berangkat. Menjadi pimpinan komunita bukan untuk membesarkan dirinya sendiri.

Lalu bagaimana caranya agar komunitas tetap tumbuh, dan anggotanya juga tetap bisa berkarya?

Salah satunya, komunitas sastra harus berani merekrut orang-orang yang bukan seniman, tapi bekerja sebagai tenaga administrasi. Nah, senimannya cukup mengurusi seksi pertunjukan, seksi puisi, seksi drama, dan lain-lain. Intinya mereka harus tetap berkarya.

Hal lainnya, terkait komunitas sastra atau grup sastra, termasuk teater, identik dengan figur atau tokoh pendiri. Seperti Bengkel Tetaer identik dengan WS Rendra, Teater Koma identik dengan Riantiarno, demikian juga Teguh Karya yang mendirikan Teater Populer. Umumnya mereka one man show ketika membangun komunitas. Ketika si tokoh sudah wafat, komunitas atau grup sastra itu dengan sendirinya akan redup. Bahkan Bengkel Teater, sepeninggal Mas Willy (WS Rendra), juga sempat goyah. Tetaer Populer sampai sekarang masih ada, tetapi sudah kehilangan ruhnya.

Komunitas-komunitas yang ada sekarang, seperti Satupena, Alinea, Mufakat Budaya, dan lain-lain, jika dikerjakan oleh orang-orang yang memiliki displin organisasi, akan lancar jalannya. Yang berkarya tetap bisa berkarya.

Kurnia Effendi membacakan puisinya dalam acara Sastra Reboan. Foto: Ist

Seberapa penting antarkomunitas membangun jaringan, saling bekerjasama?

Komunitas perlu membangun  jaringan dengan komunitas lainnya, juga institusi-institusi pemerintah, atau yang setengah negara seperti PDS HB Jassin. Tujuannya agar tidak terasing. Mungkin juga suatu ketika ada varian acara yang mengharuskan berkolaborasi dengan komunitas lain dalam satu pementasan yang isinya lebih beragam. Selain pembacaan puisi, ada tari, monolog, musikalisasi, teater, dan lain-lain.  Jadi tidak perlu menambah keanggotaan dengan bidang seni berbeda, tapi cukup berkolaborasi dengan komunitas lain. Seperti misalnya Jagat Sastra Milenia (JSM). Sepertinya mereka tidak pernah menambah keanggotaan. Ketika ada kegiatan yang membutuhkan pertunjukan di luar yang dikuasai anggotanya, mungkin JSM akan menggandeng komunitas lain.

Terkait isu regenerasi, bagaimana menurut Anda?

Saya pernah membentuk Kedailalang di Kalimalang bersama Saut Poltak Tambunan, Endah Sulwesi, Helga Worotitjan, Weni Suryandari, Iwan Bung Kelinci, dan lain-lain. Waktu itu kami ingin ada regenerasi, tapi nyatanya, setiap bulan yang mikirin acaranya ya kami-kami juga. Apa artinya? Regenerasi itu perlu. Siapa yang akan menjaga kebudayaan kita, meneruskan penggiat-penggiat kesenian yang sudah sepuh dan meninggal dunia jika tidak ada regenerasi? Namun, regenerasi juga bukan hal yang mudah. Tidak cukup dengan mengajak lalu dengan sendirinya akan terjadi pewarisan. Butuh proses panjang. Terutama mengenai kesamaan visi dan misi.

Bisa diceritakan awal mula terbentuk komunitas Membaca Raden Saleh yang Anda bina?

Pertama, ada kepentingan dengan novel Pangeran dari Timur karena kehilangan momentum selama 2 tahun. Begitu terbit Februari 2020, terjadi pandemi sehingga tidak mendapat respons seperti yang diharapkan. Jadi kami membentuk kelompok membaca. Awalnya setiap bulan kami bertemu untuk membaca satu-dua bab buku Pangeran dari Timur. Dibaca bareng-bareng. Satu orang membaca satu halaman. Dalam perkembangannya, tanpa kami duga, setiap bulan ketika kami berkeliling di tempat-tempat berbeda, anggota grup bertambah. Dari awalnya hanya 35 orang, sekarang ini, setelah 2 tahun, anggota bertambah menjadi 262 orang.

Bagaimana membangun militansi anggotanya?

Kami membuat grup WA (WhatsApp) untuk membangun komunikasi, saling tegur sapa. Kami membebaskan anggota untuk bicara apa saja, kecuali politik dan agama. Jadi kadang ada yang bicara makanan di Makasar, atau menu sarapan di Bogor, lalu anggota lain menanggapi, ingin tahu di mana lokasinya atau ingin tahu resepnya.

Meski awalnya untuk kepentingan buku Pangeran dari Timur, namun kami juga tidak melarang ketika mereka membahas buku lain. misalnya tentang Pararaton, sejarah dunia, perkembangan sains dan teknologi. Atau ketika ada buku yang membahas ketokohan baik Indonesia maupun mancanegara, kami berdiskusi panjang lebar. Anggota kami berasal dari berbagai bidang keilmuan dan budaya dari banyak wilayah di Nusantara. Asyikmnya jadi saling mengenal dan melengkapi pengetahuan masing-masing. Termasuk juga tentang sastra masuk kurikulum yang sedang ramai. Tapi bahasan kami lebih kepada diskursus.

Tapi Komunitas Membaca Raden Saleh tidak punya pengurus tetap?

Benar, kami tidak memiliki pengurus tetap. Kegiatan yang kami lakukan berdasarkan usulan anggota. Semua bisa mengusulkan, lalu dibahas dan disepakati. Dalam setiap pertemuan, para anggoya siap membawa makanan. Kami terbiasa botram. Karena semua ingin bawa, supaya tidak satu jenis, maka mereka berembuk tentang jenis makanan yang akan dibawa pada acara itu.

Dari kumpulan itu, lahir kumpulan lain. Misalnya tur wisata kota, kelompok merajut yang tadinya hanya 5 orang sekarang sudah punya 50 anggotanya. Tempat mereka merajut juga pindah-pindah seperti di Museum Bank Mandiri, Kalibata City, restoran, dan lain-lain. Ada juga kelas menulis, kelas sketsa, dan yang akan datang ini kelas public speaking.

Setiap terbentuk komunitas baru yang berasal dari komunitas Membaca Raden Saleh, kami hormati. Kami juga mendukung ketika ada yang punya usaha. Misalnya ada yang punya usaha jual kopi atau menerbitkan buku baru, juga hasil karya lain. Mereka menawarkan di grup dan ada yang beli, ya silakan. Kami tidak membatasi.

Kalau di grup kami (Kurnia Effendi dan Iksaka Banu) disebut sebagai dua pengeran, sementara yang Endah Sulawesi sebagai editor kami dipanggil Bu Lurah karena biasa memanajemeni acara. Kami biasanya melakukan survei untuk acara MRS itu 3 bulan sebelum acara.

Ketika Anda hijrah dari Bandung ke Jakarta, apakah terkait kesenian?

Murni karena kepentingan keluarga. Saya kan menikah di Bandung. Saya di ITB, istri saya dari Institut Koperasi Indonesia (Ikopin) Jatinagor. Nah, ketika hamil, istri saya mintanya melahirkan di Jakarta supaya ditunggui mamanya. Akhirnya tahun 1991 kami pindah ke Jakarta.

Kalau perihal kesenian, ngikut saja. Kebetulan saya tidak punya ikatan khusus dengan tempat tertentu. Waktu di Semarang, kaki saya juga tidak terikat di sana. Demikian juga waktu di Bandung. Malah punya kenalan baru seperti Acep Zamzam Noor, Soni Farid Maulana, Nirwan Dewanto, M. Fadjoel Rahman, dan lain-lain. Tapi waktu pindah ke Jakarta, pertemanan dengan yang di Semarang dan Bandung  tetap terjalin. Malah saya menambah circle baru di Jakarta. Saya kan bebas kubu.

Ada rencan mau menerbitkan buku baru?

Iya, sedang menulis novel dan kumpulan puisi tentang batik.

Kalau rencana membuat buku biografi Ahmad Tohari, sudah sejauh mana?

Saya serius ingin membuat biografi Ahmad Tohari karena para senior kita punya banyak karya yang patut dibaca oleh generasi berikutnya. Bukunya tentu bisa dicetak ulang. Namun sosoknya mungkin akan terlupakan. Sebab penulis dan pembaca kita saat ini sudah berpikiran global. Bacaan mereka sudah meliputi karya-karya penulis internasional yang mudah diakses berkat kemajuan teknologi internet. Jadinya, mereka malah tidak kenal dengan penulis-penulis terdahulu seperti Amir Hamzah, Hamzah Fansuri, dan penulis generasi sebelumnya.

Saya ingin ada biografi tentang penulis-penulis senior kita. Yayasan Lontar pernah membuat sekitar 15 sastrawan dalam bentuk DVD, selanjutnya berupa YouTube para sastrawan generasi berikutnya, tetapi akan lebih mendalam jika ditulis dalam bentuk buku biografi. Jadi saya masih berusaha mencari cara agar rencana menulis buku biografi Ahmad Tohari dapat terwujud. Mungkin karena saya berasal dari tlatah yang  sama, sama-sama orang ngapak, keinginan itu menjadi semacam obsesi personal. []

 

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini