Oleh: Rissa Churria

PojokTIM – Beberapa hari lalu saya menghadiri acara Diskusi Publik Seri #2 yang diselenggarakan oleh Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Topik diskusi sangat menggelitik yaitu: “Jakarta City of Literature: Sekadar Status atau Serius Dihidupi?”

Bagaimana ceritanya Pada tahun 2021 yang lalu Jakarta ditetapkan sebagai Kota Sastra atau City of Literacy oleh UNESCO. Status ini diperoleh lantaran kota ini dipandang memiliki sejarah panjang kesusastraan dan berpotensi meningkatkan serta mengembangkan sastra dan literasi.

Pada tahun penetapannya, Jakarta menjadi satu-satunya kota di Indonesia sekaligus Asia Tenggara yang terpilih menjadi Kota Sastra Dunia.

Apakah Jakarta serius berkomitmen menghidupkan “Kota Sastra” setelah menyandang status sebagai “City of Literature”? Pertanyaan tersebut kiranya akan terjawab pada seri diskusi publik Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) beberapa hari lalu.

Menurut hemat saya yang menyimak jalannya diskusi, semua masih berkutat pada soal kebijakan dan keputusan serta penghargaan UNESCO yang menetapkan Jakarta Kota Literasi. Adapun tindak lanjut dari aparatur pemerintah sendiri seolah tidak ada atau masih tanda tanya besar, padahal sudah lebih dua tahun berlalu.

Diskusi yang diselenggarakan pada hari Kamis, 23 Mei 2024, bertempat di Teater Wahyu Sihombing, Taman Ismail Marzuki tersebut menghadirkan pembicara Laura Prinsloo Bangun dan Alex Sihar, dimoderatori oleh Fadjriyah Nurdiarsih.

Malahan dari sudut padang saya, diskusi beberapa saat itu tidak mendapatkan titik temu dan solusi apa-apa. Hanya sekadar wacana kebijakan-kebijakan saja. So selanjutnya tah ? Sebab pihak pemangku kebijakan tidak hadir diundang dalam acara diskusi tersebut. Artinya ini diskusi hanya sebagai sosialisasi atau mendapat awareness dari berbagai pihak berkepentingan atau stakeholders, itu pun tidak semua hadir.

Ada beberapa tanggapan dari peserta diskusi menyoroti isu yang berkembang saat itu. Salah satunya usulan yang disampaikan oleh Riri Satria, pakar manajemen strategis dan transformasi digital, pencinta sastra, serta sekaligus Ketua Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM).

Riri Satria mengemukakan tanggapan terkait isu yang berkembang tersebut di antaranya adalah: Pertama, kita butuh pressure group yang lebih masif, lebih kuat, serta lebih kuat dengan melibatkan stakeholders yang lebih banyak dan komprehensif

Kedua, paradigma digeser dari mayoritas pemerintah ke ekosistem ABGS, yaitu Academic, Business, Government, serta Society (seniman maupun non seniman). Contoh nyata dari ABGS dilaksanakan oleh Ubud sebagai kota budaya yang sukses menurut Riri Satria.

Ketiga, sastrawan itu adalah aset strategis bangsa yang berwibawa, kompeten, mandiri, berkontribusi untuk pembangunan, penjaga keutuhan NKRI, maka dengan demikian implementasinya harus melibatkan sastrawan sebagai stakeholder utama.

Keempat, semua niat baik dan keinginan tercapai melalui tata kelola yang baik, jika tidak, hanya sporadis, tak terkonsep, tak ada tujuan yang jelas, yaitu dengan menyusun visi misi blue print tata kelola literasi atau sastra melalui Perda khusus

Kelima, membangun infrastruktur berupa perpustakaan dan pendukung digital, creative writing spot. Kita bisa meniru kota Para yang mengintegrasikan semua ini dari hulu ke hilir.

Keenam, mengakui sastrawan sebagai sebuah profesi melalui perda dan memberikan tunjangan dari APBD, sekaligus membentuk asosiasi profesi sastrawan di Jakarta dan menjadi pressure group untuk para staleholders sastra atau literasi di Jakarta

Ketujuh, sastra masuk kurikulum sekolah dengan muatan lokal diiringi dengan pengembangan kompetensi pendidik sastra dan sastrawan

Kedelapan, membersayakan DKJ sebagai ujung tombak literasi di Jakarta dengan membentuk task force khusus.

Kesembilan, adanya perda yang mengatur dana APBD untuk kegiatan sastra atau literasi. Pemerintah atau birokrasi bekerja berdasarkan sebuah sistem. Maka pressure group ini berperan untuk memasukkan semua gagasan ke dalam sistem pemerintahan melalui mekanisme birokrasi.

Menurut hemat saya, inti dari pemikiran Riri Satria adalah, jika semua rencana berupa jangka panjang strategis serta jangka pendek teknis sudah dibuat dengan baik dan matang, maka untuk menjalankan atau eksekusinya dibutuhkan dua hal: leadership yang tinggi serta pressure group lintas bidang namun memiliki pengaruh serta kekuatan atau daya tekan yang tinggi.

Aspek leadership suka tidak suka meripalan ranah Dewan Kesenian Jakarta. Sampai saat ini pressure group yang masih menjadi persoalan. Ini harus diwujudkan supaya semua gagasan baik itu dapat dijalankan dan memberi banyak manfaat.

Pressure group harus melibatkan berbagai pihak lintas bidang, tidak hanya para seniman atau sastrawan semata, melainkan ABCG: academic, business, civil sociey, serta government. Namun semua diikat oleh visi dan idealisme yang sama.

Tata kelola yang dikunci dalam perangkat regulasi yang ada. Jadi ada beberapa kata kunci: tata kelola, regulasi, lalu dikawal, supaya nanti muncul satu hal penting, yaitu anggaran.

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa menurut Riri Satria bahwa pressure group ini berperan membangun sebuah keberpihakan pemerintah alias birokasi kepada sebuah isu terentu yang lalu dimasukkan ke dalam program pemerintah melalui sistem yang ada. Harus ada yang memperjuangkan, dan tentu saja masuk ke dalam definisi ini mengawalnya supaya dieksekusi dengan baik.

Nyatanya sudah masuk program pemerintah saja belum tentu dieksekusi dengan baik. Jadi perlu diperjuangkan dan dikawal bersama! Sekali lagi, itulah peran pressure group.

Semoga semua ide-ide besar tersebut dapat kita wujudkan bersama. Terima kasih tak terhingga kepada Dewan Kesenian Jakarta yang sudah menggagas acara ini.

Kita semua diingatkan oleh Allah SWT dalam surat Ar-Radu ayat 11 bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum jika kaum itu sendiri tidak mengubahnya terlebih dahulu. Harus ada self-started dalam perubahan. Itulah gunanya leadership dan pressure group.

Jakarta, 30 Mei 2024

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini