PojokTIM –Kepulan asap dari tungku yang memenuhi tenda di samping Masjid Cut Meutia, Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat, seperti penggugah selera makan Adri Darmadji Woko. Semangkuk tongseng dan nasi tandas. Sesekali sastrawan kelahiran Yogyakarta, 28 Junl 1951 itu mengelap wajahnya yang berkeringat.

“Jika ke TIM, saya selalu turun di sini (Stasiun Gondangdia). Dulu sempat langganan tongseng  di warung depan, tapi sekarang rasanya tidak nikmat lagi. Jadi saya pindah (langganan) ke sini,” ujar Adri ditemani Bambang Widiatmoko dan Nanang R. Supriyatin, Kamis (13/6/2024).

Bagi Adri, kawasan Cikini adalah tempat bermainnya sejak remaja. Saat SMA hingga kuliah di Faklultas Hukum Universitas Jakarta, Adri sudah menjadi bagian dari komunitas sastra yang berkiprah di Taman Ismail Marzuki (TIM) yang berada di Jalan Cikini Raya.

“Saya berkegiatan di TIM sejak 197. Jadi saya kenal semua sastrawan yang pernah berkiprah di TIM,” ujar alumnus Sekolah Tinggi Publisistik (STP) yang pernah menjadi wartawan/redaksi di sejumlah media antara lain: Sonata,  Puteri Indonesia, Halo, Kartini, Pertiwi, Panasea, Kartika, hingga Puan Pertiwi.

Selesai makan, kami pindah ke TIM karena ingin melihat Pameran Sastra Jakarta 2024 yang dihelat Dinas Perpustakaan dan Kearsipan DKI Jakarta di Gedung Ali Sadikin. Berikut wawancara singkat PojokTIM dengan penggagas Komunitas Negeri Poci (1993) dan penerima Anugerah Kebahasaan dan Kesastraan dari Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan  (2015) tersebut.

Bagaimana Anda melihat TIM saat ini?

Saya sudah kehilangan TIM. Apa yang saya bayangkan tentang TIM, sudah hilang semua. Ibaratnya, di kepala saya sudah terbayang suara Tetty Kadi yang merdu. Ketika di angkot ada pengamen menyanyikan lagu Tetty Kadi sambil genjrang-genjreng tidak karuan, maka bayangan suara merdu itu jadi hilang. Demikian juga ketika menonton pementasan teater yang sekarang, karena saya sudah pernah menonton ketika dipentaskan oleh seniman-seniman beneran, seperti Arifin C. Noer, WS Rendra, Putu Wijaya, dan yang lain.

Itu sebabnya sekarang saya jarang ke sini (TIM). Tidak ada keinginan mau nonton teater atau pameran. Ketika ada acara di Teater Besar pun  saya tidak datang. Semua terasa hambar dan asing. Masuk ke TIM sama saja masuk ke tempat lain.

Selain bayangan yang tidak sesuai kenyataan, hal apa lagi yang menyebabkan timbulnya perasaan kehilangan itu?

Salah satunya karena berdirinya bangunan-bangunan beton ini. Ke mana-mana mata memandang terbentur dinding. Tidak ada lagi suasana kesenian. Hal lainnya, ketika datang seperti sekarang, saya tidak merasa menjadi bagian dari komunitas, atau orang yang berkegiatan di TIM. Tidak lagi merasa menjadi seniman. Sudah seperti pengunjung lain, yang tidak dikenal dan tidak mengenal siapa–siapa.

Mana yang paling membekas, suasananya atau kegiatannya?

Saya merasa asing dengan suasana dan juga kegiatannya. Dulu semua orang yang beraktivitas di TIM saling mengenal. Persahabatan yang terjalin di antara penyair, sastrawan, sangat kuat. Selama 50 tahun berkegiatan di TIM, sampai 2018, saya mengenal semua penyair, sastrawan, pemain teater, yang punya nama-nama besar itu. Sekarang mereka sudah tidak ada, baik meninggal dunia ataupun tidak aktif berkesenian lagi. Orang-orang baru yang sekarang berkegiatan di TIM tidak mengenal saya, dan saya pun tidak mengenal mereka dari dekat.

Terkait kegiatannya, sekarang jarang ada kegiatan spontan di TIM. Dulu hampir setiap hari ada kegiatan kesenian, entah pameran lukisan, atau panggung seni. Ada juga yang berlatih teater, baca puisi dan kegiatan lain sehingga suasana kesenian di TIM benar-benar hidup. Sekarang saya tidak menemukan suasana itu.

Tumbuhnya komunitas-komunitas sastra di daerah apakah berpengaruh terhadap pudarnya marwah TIM yang pernah menjadi pusat kesenian nasional? 

Marwah TIM hilang bukan karena tumbuhnya komunitas-komunitas sastra di daerah. Sejak dulu di daerah sudah ada komunitas-komunitas semacam itu. Saya juga memulai jalan kesenian dari Tegal. Kemudian aktif di Gelanggang Remaja Bulungan, membina kelompok remaja untuk masuk ke dunia sastra melalui program Remaja & Seni dan Kelompok Sastra Bulungan/Kelompok Poci Jakarta. Demikian juga di gelanggang remaja Jakarta Barat, gelanggang remaja Jakarta Utara, gelanggang remaja Jakarta Pusat (Senen). Itu saya tekuni dari tahun 1972 sampai 1979, sebelum akhirnya saya masuk ke dunia pers.  Apa yang dilakukan oleh seniman-seniman muda sekarang, sudah saya lakukan sejak dulu.

Adri Darmadji Woko. Foto: ist

Jadi apa yang paling Anda rindukan?

Tidak ada. Sudah tamat. Saya merasa sudah bukan masanya saya lagi. Saya berusaha melupakan harapan yang pernah tersemai. Terlebih kehidupan kesenian sekarang benar-benar tidak dihargai. Tidak memiliki marwah lagi. Dulu orang baca puisi, paca cerpen, di Teater Arena, Teater Tertutup, Graha Bakti Budaya. Apakah sekarang PDS HB Jassin, DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) mau memfasilitasi penyair baca puisi di Teater Besar atau Teater Kecil? Malah disuruh baca puisi di emperan. Itu ‘kan yang terjadi. Makanya saya enggan (baca puisi di TIM). Terakhir baca puisi di TIM, tiga tahun lalu di Hari Puisi Indonesia.

Bagaimana Anda melihat regenerasi yang digembor-gemborkan pengelola PDS dan lembaga-lembaga yang menaungi TIM?

Ya harus begitu. Regenerasi memang harus terjadi. Tapi sejauh mana generasi pengganti ini benar-benar paham tentang kesenian, tentang orang-orang sebelumnya yang telah meletakkan pencapaian-pencapaian tertinggi di bidangnya sehingga karya berikutnya, yang diciptakan oleh generasi sekarang, bisa melebihi. Nyatanya belum ada yang pencapaiannya melebihi Rendra, Sutardji. Tidak ada yang baru, kebaruan. Malah terjadi banyak pengulangan.

Mestinya lembaga-lembaga itu mempersiapkan regenerasi dengan benar, bukan sekadar ganti orang tua ke orang muda. Pengetahuan dan kemampuannya harus juga disiapkan. Mana mereka mau tahu sejarah sastra, sejarah teater di Indonesia. Jika tidak disiapkan dengan baik, mereka akan menjadi generasi yang terputus dari akarnya.

Anda sangat aktif menulis. Sudah berapa antologi puisi yang diterbitkan?

Sejak tahun 1970-an saya sudah menulis. Buku kumpulan puisi saya yang pertama diterbitkan oleh DKJ tahun 1974. Setelah itu lahir belasan antologi termasuk seri antologi Dari Negeri Poci. Buku kumpulan puisi tunggal antara lain Sanghyang Jaran (2017), Cadar Fajar (2019), Hong (2021), Poe (2022), Mata Gerimis (2023)

Sampai sekarang masih menulis?

Masih, saya simpan di smartphone, dan kadang diposting di Facebook. Sekarang tidak harus ke TIM. Berkarya bisa dilakukan di mana saja.

 

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini