PojokTIM – Menjelang tengah hari, Kamis ( 13/6/2024), kantin di selasar gedung Trisno Soemardjo dalam kompleks Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM) semakin riuh. Namun hal itu tidak mengganggu konsentrasi Bambang Widiatmoko menjawab pertanyaan-pertanyaan PojokTIM. Suaranya terkadang meninggi, memberi tekanan pada poin-poin yang penting.

“Saya rajin menghadiri acara-acara sastra di berbagai daerah di Indonesia, termasuk di luar negeri seperti Malaysia, Jepang, Korea, Thailand, dan lain-lain,” ujar Bambang yang pernah menjadi peserta Pertemuan Penyair Nusantara (PPN), Temu Sastra Indonesia (TSI), Munsi, FSIGB, dan 33rd World Congress of Poets di Ipoh, Malaysia serta pembicara di seminar Asosiasi Tradisi Lisan (ATL).

Menyukai dunia sastra sejak remaja dan sempat bergabung dengan Teater Alam pimpinan Azwar AN saat masih kuliah di Yogyakarta, Mas BW – sapaan akrabnya, sudah menerbitkan sejumlah antologi puisi antara lain Pertempuran (1980), Anak Panah (1996) hingga Jalan Tak Berumah (2014). Sementara cerpen-cerpennya terhimpun dalam buku Bupati Pedro, Laki-laki Kota Rembulan (DKS, 2002) dan Eligi Gerimis Pagi (KSI, 2002)

Bukan hanya karya sastra, Bambang juga dikenal sebagai penulis esai yang produktif. Kumpulan esainya diterbitkan dengan judul In Memoriam Titie Sahid, Jejak Kepergian (Aksara, 2012), Jaket Kuning Sukirnanto (2014), Kata Ruang (Leksika, 2015), dan lain-lain.

“Saya dosen MKCU berbagai fakultas di Universitas Mercu Buana dan beberapa tahun menjadi dosen ilmu komunikasi di Universitas Satya Negara Indonesia,” jawab Bambang ketika ditanya kesibukan selain menulis dan menghadiri berbagai undangan seminar.

Dari pengalaman dan relasinya yang luas, Bambang yang juga Ketua Komunitas Sastra Indonesia, memiliki pandangan jauh ke depan terkait revitalisasi TIM dan regenerasi sastrawan. Berikut rangkuman wawancaranya.

Anda sangat produktif, bukan hanya puisi dan cerpen, namun juga esai. Bisa ceritakan kapan Anda mulai aktif menulis?

Sejak tahun 80-an saya sudah menulis puisi, cerpen dan esai. Saya satu angkatan dengan Mas Nanang (Nanang R. Supriyatin, red). Saya mulai menjejakkan kaki di TIM sejak diundang dalam Forum Puisi Indonesia 1987, mewakili Daerah Istimewa Yogyakarta.

Anda kelihatannya sangat terkesan dengan acara Forum Puisi Indonesia 87?

Penyair yang diundang memang pilihan, sudah berkarya dan punya nama di daerahnya. Sebab waktu itu TIM menjadi barometer kesenian di Indonesia. Jadi siapa pun yang pernah pentas di TIM, punya kesempatan untuk lebih berkembang di daerahnya, baik di bidang puisi, tari, maupun teater. Demikian juga penyair yang diundang dalam Forum Puisi Indonesia 87. Hampir semuanya mengorbit dalam jagat kesusasteraan Indonesia.

Bagaimana Anda melihat TIM pasca revitalisasi?

TIM saat ini baru memasuki masa peralihan. Tidak ada yang salah. Tidak perlu ada yang merasa dipinggirkan, baik penyair, cerpenis, novelis, teaterawan. Sebab, mau tidak mau, arahnya ke masa depan. Semua tempat kesenian harus mau berbenah, dan sekarang TIM masih tahap awal menuju ke arah itu.

Anda sering menghadiri acara sastra dan forum-forum kesenian di luar negeri. Bagaimana kondisi pusat-pusat kesenian di sana?

Kalau melihat pusat-pusat kesenian di luar negeri, pasti ada hotel di situ. Kan pengunjung pusat-pusat kesenian berasal dari berbagai negara. Mereka membutuhkan tempat menginap yang dekat dengan lokasi acara. Ketika saya ke Jepang, hotelnya ada di pusat kesenian itu.

Menurut Anda, mengapa kehadiran hotel di TIM diprotes oleh seniman?

Teman-teman yang protes masih berpikir dengan pola kesenian masa lalu. Bisa datang kapan saja, lihat apa saja, bahkan bisa tidur di sini (TIM, red). Paradigma seperti itu harusnya mulai ditinggalkan. Sebab, mau tidak mau, pasti terjadi perubahan.

Tergantung kepada kita, apakah mau mengikuti perubahan, atau memilih diam, stagnan. Jika memilih diam dengan pola pikir masa lalunya, maka akan merasa ditinggal, merasa tidak diperhatikan. Sebaliknya, jika mau mengikuti perubahan yang sedang terjadi, maka kita ikut senang dan bangga. Misalnya, jika proses revitalisasi sudah selesai, ternyata TIM tidak kalah megah dengan pusat-pusat kesenian dunia. Bisa menampilkan kesenian yang lebih mendunia. Karena saat ini masih dalam tahap awal, mestinya kita sebagai seniman, ikut mendukung.

Tetapi dampak dari perubahan ini membawa konsekuensi yang dianggap memberatkan bagi seniman. Misalnya, gedung pertunjukan yang dulunya gratis sekarang harus bayar. Menurut Anda?

Semakin mahal bayarnya, saya semakin setuju.  Kalau gratis, wah (tidak tahu bagaimana kualitasnya). Kalau diajak atau diberitahu ada pementasan ini-itu, saya selalu tanya, bayar tidak? Ketika dijawab gratis, saya langsung menolak. Sebab saya merasa di situ tidak ada penghargaan terhadap seniman. Jangan salahkan ketika dalam sebuah pementasan, ada penonton – padahal sesama seniman – yang asyik berbincang sendiri sementara temannya sedang pentas. Hal ini terjadi karena gratisan. Datang sekedar setor muka, atau ingin dianggap (bagian) seniman. Bukan benar-benar berniat menonton pertunjukan.

Coba lihat pertunjukan-pertunjukan yang berkualitas. Pasti bayarnya mahal. Misalnya kita mau menonton monolog Butet, atau pementasan Bengkel Teater, tiketnya pasti mahal. Cari tiketnya saja susah. Saat pementasan dimulai, penonton menyimak dengan baik. Tidak ada yang bercakap-cakap dengan teman di bangku sebelahnya.

Tetapi banyak seniman di TIM yang baru tahap merintis sehingga belum berani menjual tiket pertunjukan. Wong digratiskan saja tidak ada yang nonton kecuali teman sendiri. Bagaimana menurut Anda?

Kalau merasa masih belajar, jangan dulu ingin pentas di gedung megah. Di Tetaer Besar atau Teater Kecil. Kalau memaksakan diri pentas di situ, tapi digratiskan, yang rugi bukan hanya dia karena tidak mendapat penghargaan (uang), tapi juga seniman dan calon-calon seniman lainnya. Mereka akhirnya tidak mau menjadi seniman karena tidak bisa menghasilkan (uang). Mestinya TIM harus dijaga sebagai tempat pertunjukan berkualitas dengan tarif mahal.

Artinya dengan tempat berbayar seniman diminta bertanggung jawab untuk menampilkan karya terbaik sehingga tiketnya bisa dijual?

Iya, harus begitu. Kita analogikan sepakbola. Yang belum profesional, masih amatiran, main di kampung-kampung, istilahnya tarkam. Setelah pro, mainnya sudah bagus, mereka bertanding di stadion megah. Penonton harus bayar untuk menyaksikan aksinya. Dulu jarang ada anak yang bercita-cita menjadi pemain sepakbola karena dianggap hanya hobi, tidak menghasilkan uang. Tetapi sekarang, banyak anak-anak tertarik karena pemain sepakbola kaya-kaya dan terkenal.

Kesenian mestinya seperti itu. Ketika tiket (pertunjukan) kesenian bisa dijual mahal, itu artinya menghargai pekerja seni, sekaligus menumbuhkan minat berkesenian pada yang lain.

Bagaimana cara mengajak seniman untuk meningkatkan kualitasnya karyanya sehingga kelak tiket pertunjukannya layak dijual?

Dia harus membuka wawasa, melihat kesenian-kesenian di daerah lain, tempat lain. Idealnya, Taman Ismail Marzuki, melalui Dewan Kesenian Jakarta secara rutin mengirim seniman atau grup teater yang memiliki potensi untuk melakukan studi banding ke luar negeri. Setelah pulang, selain menggelar pementasan, merelka juga wajib menyebarkan ilmunya ke seniman atau teater-teater lain. Jangan sampai DKJ menggelar pementasan yang tidak berkualiitas di TIM agar marwahnya sebagai barometer kesenian di Indonesia tetap terjaga.

Bambang Widiatmoko. Foto: Ist

Setelah kualitasnya ditingkatkan, pentas di gedung megah dengan tiket berbayar, problem berikutnya adalah mendatangkan penonton. Bagaimana caranya agar penontonya tidak hanya teman-teman dari komunitasnya, hanya itu-itu saja?

Pertama mereka harus melakukan sosialisasi dan promosi agar dikenal oleh masyarakat. Itu tidak mudah, tetapi tetap harus dilakukan. Kemudian berkolaborasi dengan seniman lain, syukur yang sudah punya nama, atau dari luar negeri. Itu akan menjadi lebih menarik. Dari grup teater luar negeri kita juga bisa belajar kualitas dan manajemennya. Saya lihat manajemen seniman di Indonesia masih lemah.

Apakah seniman perlu manajemen?

Sangat perlu, supaya bisa menata hidupnya, menata kelompoknya, sehingga usia kreatifnya panjang. Kehidupan seniman kita masih banyak yang memprihatinkan karena salah satunya mereka berkesenian tanpa manajemen. Dari kesenian mereka tidak mendapat penghasilan yang layak untuk menghidupi dirinya, dan keluarganya.

Saya pernah diundang sebagai salah satu anggota tim oleh Badan Bahasa untuk memikirkan bagaimana nasib sastrawan di Indonesia. Kami mengusulkan adanya anugerah untuk sastrawan bangsa yang telah senior. Kalau di Malaysia kan ada sastrawan negara.

Tujuannya agar kehidupan para sastrawan bangsa di masa tua lebih tenang. Kita tidak bisa menutup mata, sekarang ini banyak sastrawan usia senja yang kehidupannya cukup memprihatinkan.

Usulan kami kemudian dijawab oleh pemerintah melalui Badan Bahasa bahwa sangat sulit untuk menentukan yang pertama. Sebab level mereka hampir sama. Kita tidak bisa mengatakan Sutadji (Sutadji Calzoum Bachri, red) lebih tinggi dibanding Sapardi Djoko Damono. Atau Sapardi dibandingkan dengan Taufiq Ismail, juga tidak bisa. Berbeda dengan Malaysia. Di sana pada setiap periode nyaris hanya ada satu sastrawan yang menonjol.

Artinya per tahun hanya satu sosok yang diusulkan sebagai sastrawan bangsa?

Iya, tidak bisa semuanya. Pemerintah tidak punya uang untuk memanggung hidup semua sastrawan. Kan bantuannya tidak hanya sekali, tapi rutin setiap bulan atau setiap tahun.

Oleh karenanya saya sangat senang sekali ketika pemerintah, melalui Badan Bahasa, sudah mulai memberikan penghargaan berupa bantuan kepada sastrawan dan komunitas seni. Memang mestinya seperti itu yang dilakukan pemerintah.

Sekarang, program itu sudah memasuki tahun kedua. Tetapi memang pelaksanaanya belum maksimal sehingga ada komunitas yang dapat penghargaan sampai 2 kali. Padahal banyak sekali komunitas sastra yang layak mendapat penghargaan.

(Catatan Redaksi: Penghargaan dari Badan Bahasa sebesar Rp 150 juta untuk komunitas yang telah berkarya selama 50 tahun, dan Rp 50 juta bagi sastrawan yang telah berkarya selama 50 tahun)

Itu kelemahan sistemnya, kurang sosialisasi, atau memang komunitasnya yang enggan mendaftar?

Beberapa komunitas memang keberatan dengan persyaratannya. Sangat ribet. Saya mengalami sendiri ketika mendaftar. Mungkin perlu dipermudah sehingga semakin banyak komunitas atau sastrawan yang mau mendaftar untuk mendapat penghargaan.

Bisa juga sistemnya yang diubah. Panitia yang jemput bola. Tidak perlu sastrawannya yang mendaftar. Banyak sastrawan yang merasa sungkan ketika diberitahu untuk mendaftar. Sudahlah persyaratannnya ribet, kesannya juga “minta-minta”.

Namun, terlepas kekurangan dalam pelaksanaannya, ini merupakan langkah bagus yang sudah dilakukan pemerintah. Kita sebagai seniman, sastrawan, mestinya mendukung sambil mendorong adanya kemudahan persyaratan dan perbaikan sistemnya.

 

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini