PojokTIM – Diskusi Meja Panjang ke-7 dengan tema Literasi Sastra di Sekolah yang diadakan Dapur Sastra Jakarta (DSJ) berlangsung semarak. Terlebih dalam sesi tanya jawab. Peserta dari kalangan pelajar, praktisi pendidikan hingga sastrawan dan budayawan tetap antusias mengikuti diskusi hingga akhir acara.
Diskusi hasil kerjasama DSJ dengan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan serta PDS HB Jassin di Lantai 5 Gedung Ali Sadikin, kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM), Jumat (28/6/20224) tersebut menghadirkan dua narusmber yakni Ujang Kasarung dan Pudji Isdriani K, serta Acep Syahril sebagai narasumber pembanding. Perbedaan sudut pandang antar narasumber dan juga pembanding membuat diskusi yang dipandu Rini Intama menjadi lebih menarik.
“Setelah 42 tahun lebih menjadi pendidik, saya belum puas dengan kondisi sastra di sekolah. Masih jauh dari harapan saya,” ujar Ujang Kasarung yang baru saja merilis buku kumpulan puisi tunggal ke-9 berjudul Tolong Simpan Kenangan Kita.
Menurut Ujang, ada tiga faktor yang menyebabkan literasi sastra di sekolah tidak bisa berkembang yakni kurikulum yang gonta-ganti, kurangnya media pembelajaran (termasuk buku bacaan di perpustakaan sekolah), dan kompetensi guru sastra.
“Belum lagi materi yang ada dalam buku pelajaran. Siswa disuruh mempelajari puisi lama, gurindam, pantun dan lain-lain. Tidak ada pengenalan karya sastra atau sastrawan zaman sekarang. Sementara saat berada di luar kelas mereka bertemu karya-karya yang berbeda jauh dengan yang diajarkan di sekolah,” tambah Ujang.
Untuk mengatasi gap itu, Ujang mengajarkan sastra kontemporer di luar jam sekolah kepada siswa-siswa pilihan (anpil). Sayangnya setelah mereka bisa berkarya, dan ingin dibukukan, terbentur anggaran karena dana bantuan operasional sekolah (BOS), tidak dapat digunakan untuk mencetak buku.
Suasana diskusi Literasi Sastra di Sekolah. Foto: ist
Tidak Terpaku Kurikulum
Pudji Isdriani yang menjadi pembicara kedua sependapat bahwa literasi sastra di sekolah dalam kondisi yang memprihatikan. Namun demikian, Pudji menekankan agar guru tidak terpaku pada kurikulum.
“Bagi guru, jalan terbaik adalah berdamai dengan kurikulum. Ketika kurikulum sudah di tangan guru, maka terserah mau diapakan,” ujar Pudji yang terakhir mengajar di SMAN 26 Jakarta.
Terlebih saat ini kegiatan belajar mengajar telah bergerak menuju dikuranginya sistem penyampaian ceramah, dan berpindah ke arah digunakannya banyak media.
“Hal itu sangat membantu tugas guru di kelas,” kata Pudji.
Menurut Ketua Masyarakat Sastra Jakarta itu, pihak luar sekolah, khususnya para pemerhati dan pelaku seni, termasuk sastrawan, mestinya tidak hanya menyalahkan kurikulum, sekolah, guru dan fasilitas perpustakaan baik sarana prasarana maupun koleksi bukunya.
“Cobalah berkunjung ke sekolah dan buat acara seperti pelatihan menulis, pementasan teater, atau bekerjasama dengan sekolah untuk menerbitkan buku karya siswa dan guru. Itu lebih konkret dan bagian dari solusi mengatasi kondisi saat ini,” saran Pudji.
Peran orang tua, demikian Pudji, juga sangat penting. “Bagaimana anak bisa gemar membaca di sekolah jika orang tuanya tidak pernah mengenalkan pada buku, alih-alih mengajar anaknya membaca,” tutur Pudji.
Bertindak sebagai pembanding, Acep menyebut Gerakan Literasi Nasional berdasarkan Permendiknas Nomor 23 Tahun 2015, sudah sangat terlambat karena hanya mengadopsi apa yang dilakukan Finlandia berpuluh tahun lampau.
“Gerakan literasi di sekolah justru menjadi lahan korupsi baru. Belanja buku bukan dilaksanakan dengan tujuan memperkaya bacaan anak di sekolah, tapi ajang mencari keuntungan berjamaah dan berjenjang melalui cashback. Sehingga meski pun rak di perpustakaan sekolah penuh dengan buku, minat baca siswa tetap rendah,” tegas Acep, penggiat sastra dan kebudayaan dari Indramayu, Jawa Barat.
Hal itu terjadi, menurut Acep yang juga pernah mengajar sastra di berbagai sekolah, karena pengadaan buku tidak ditindaklanjuti dengan program yang dapat mendorong siswa giat membaca dan menulis sastra.
Selsa, penggiat literasi dari Temanggung mengeluhkan sulitnya mendapat rekomendasi dari dinas terkait ketika akan mengadakan kegaitan di sekolah.
“Tidak perlu minta izin atau rekomendasi ke dinas. Langsung kerjasama saja dengan pihak sekolah. Bisa sekolah yang mengundang atau penggiat literasi yang mengajukan komunitasnya untuk mengadakan kegiatan literasi sastra di sekolah,” jawab Pudji.
Sementara Ketua DSJ Remmy Novaris DM berharap diskusi tentang literasi di sekolah dapat membuka wawasan semua pihak yang berkepentingan.
“Dari diskusi ini kita tahu bahwa besaran anggaran pendidikan yang mencapai 20 persen dari APBN, juga gerakan literasi bangsa yang dicanangkan sejak 2015, belum menampakkan hasil seperti yang kita harapkan bersama, terutama di bidang sastra,” ujar Remmy yang juga owner penerbit Teras Budaya.