PojokTIM – Bagi Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Bambang Prihadi, tidak ada hal yang tabu untuk dibicarakan. Nada bicaranya tegas dan lugas. Tanpa ada kesan ragu-ragu sedikit pun, termasuk ketika membahas persoalan yang masih menjadi kontroversi.
“Masih banyak persoalan-persoalan kesenian yang harus dibenahi. Kalau kita (seniman) berangkatnya dari rasa saling tidak percaya, ya susah,” ujar Bembeng, sapaan akrab Bambang Prihadi, usai acara pemberian Anugerah Sastra dan Kebudayaan kepada sastrawan Taufiq Ismail di gedung Teater Besar kompleks Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) Taman ismail Marzuki TIM), Selasa (25/6/2024) malam.
Direktur Pelaksana Federasi Teater Indonesia periode 2009-2014 itu berharap seniman bergerak membuat banyak inisiatif yang berkelanjutan dengan memanfaatkan keberadaan UU Nomor 5 Tahun 2917 tentang Pemajuan Kebudayan.
“Bukan saatnya lagi seniman hanya menunggu inspirasi, menunggu ide turun dan menunggu seorang pendonor/produser datang Seniman harus bergerak, saling percaya dan bekerjasama,” tegas sutradara terbaik pada Festival Teater Jakarta (2003) dan Festival Teater Mahasiswa Nasional III di Yogyakarta (2005).
Berikut wawancara PojokTIM dengan peraih Art Grant Japan Foundation yang memberinya kesempatan mengikuti Pelatihan Keaktoran Metode Suzuki di markas SCOT, Toyama, Jepang (2015).
Banyak yang mempertanyakan eksistensi Dewan Kesenian Jakarta yang tidak lagi mengadakan acara-acara pertunjukan seperti di masa lalu. Tanggapan Anda?
Saya memahami munculnya persepsi itu. Oleh karenanya saya akan menjelaskan secara runut sejauh yang saya pahami supaya tidak bias.
Saat ini kita sedang memposisikan kembali fokus utama kerja DKJ yang seturut dengan keinginan Ali Sadikin (Gubernur DKI Jakarta periode 1968-1977). Kenapa namanya bukan badan seperti usulan awal? Menurut Ali Sadikin, badan sifatnya eksekutif. Sedang dewan atau council, posisinya merumuskan kebijakan. Kenapa bukan kebudayaan, tapi kesenian? Karena kebudayaan sangat luas, maka DKJ fokus pada kesenian.
DKJ juga bukan hanya melakukan pembinaan karena ada juga proses pengembangan kesenian kontemporer. Pemilihan Jakarta juga didasarkan pada tempat aktifitasnya, meski scope-nya, tatapannya adalah nasional, bahkan internasional. Kira-kira seperti itu kebijakan awalnya, yang disebut policy maker.
Kawasan TIM kemudian diwakafkan pemerintah untuk pemajuan kesenian melalui DKJ, untuk mengelola kawasan dalam kerangka pembinaan dan pengembangan kesenian. Sebagai policy maker, DKJ melahirkan PKJ TIM untuk melaksanakan kegiatan kesenian baik sebagai hiburan maupun seni kreatif. Melahirkan Akademi Jakarta untuk menjadi badan kontrol, pemikir sekaligus penasehat. Termasuk membentuk LPKJ yang kemudian berubah menjadi IKJ (Institut Kesenian Jakarta).
Dalam perjalanannya, dibentuklah Yayasan Kesenian Jakarta yang difungsikan untuk mem-back up dan mencari pendanaan agar Pusat Kesenian Jakarta TIM tidak terlalu bergantung pada pemerintah DKI Jakarta
Jadi dari awal pembentukannya, DKJ memang tidak menggelar kegiatan kesenian?
Setelah dikelola oleh DKJ, kawasan TIM membutuhkan adanya kegiatan yang menjadi barometer, standar, sekaligus menjadi laboratorium kesenian di Indonesia. Maka disusun dan direkomendasikanlah sejumlah kegiatan berkelanjutan. Tapi pelaksananya PKJ TIM, bukan DKJ.
Pasca Ali Sadikin, tidak ada lagi pemimpin Jakarta yang se-visioner dan memiliki kepedulian tinggi terhadap pemajuan kesenian, juga pada DKJ. Di era kepimpinan Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) tahun 80-an, posisi DKJ semakin lemah di mata pemerintah. Bahkan Mochtar Lubis waktu itu sampai mengatakan, “sebenarnya kita (DKJ) dibutuhkan atau tidak oleh pemerintah’.
Setelah reformasi, di bawah kepemimpinan Ratna Sarumpaet – mungkin karena mempunyai kekuatan politik untuk menginterupsi kebijakan Sutiyoso (Gubernur DKI periode 1997-2007) – DKJ memperoleh dana hibah cukup besar. Sayangnya, mohon maaf, mungkin karena melihat banyak kegiatan yang tidak berkelanjutan, DKJ menggunakan dana itu untuk membuat kegiatan sendiri, bukan diserahkan kepada PKJ TIM sebagaimana ekosistem seni yang telah terbentuk sejak tahun 70-an.
Dari sinilah titik awal tumpang-tindihnya, tugas, wewenang dan peran organisasi yang ada di kawasan TIM, yang sebelumnya sudah diciptakan dengan baik. Bahkan PKJ mulai membuat kegiatan sendiri yang bukan merupakan rekomendasi dari DKJ bahkan membuat sendiri Artistic Board. Demikian juga IKJ yang tidak lagi melihat kawasan TIM sebagai satu kesatuan. Yayasan Kesenian Jakarta juga rontok. Demikian juga Akademi Jakarta, tidak sekuat dulu dalam menyuarakan pandangan kebudayaannya kepada pemerintah.
Kondisi demikian makin runyam setelah terjadi pengangkatan karyawan tetap di dalam kepengurusan DKJ. Di sisi lain, PKJ TIiM dibubarkan Gubernur Ahok dan diganti total oleh ASN dari Disbud. Maka selesai sudah ekosistem seni di TIM yang disebut otonom dan independen. DKJ yang merasa bertanggungjawab bagaimana menghidupkan kesenian di TIM yang berkelanjutan, akhirnya makin terkosentrasi menjadi pelaksana kegiatan seni seperti di masa Ratna Sarumpaet. Meski kontradiktif dengan Pergub 2006 dan semangat awal pembentukannya. Di sisi lain juga masyarakat kesenian (pelaku seni) mengamini dan membiarkan. Merasa senang karena ada kegiatan seni yang bagus-bagus yang dilaksanakan oleh DKJ.
Sebagai individu saya juga merasa senang ketika ada kegiatan berkesenian. Tetapi perlu diingat, DKJ sebagai lembaga yang bertanggungjawab pada kebijakan seni dan fokus pada memperjuangkan kesenian di wilayah strategis menjadi jauh dari kodratnya. Atau paling jadi luput dengan aspek non seni yang dapat menopang keberlanjutan kesenian, dan misi jangka panjangnya. Disibukan dengan dana talangan dan banyak hal teknis kegiatan yang rentan fitnah.
Bagaimana awal masuknya Jakpro?
Jakpro masuk tahun 2019 karena ada revitalisasi. Jadi beruntun. Jika sebelumnya sudah masuk birokrat yang DNA-nya bukan kesenian, sejak 2019 masuk pula Jakpro yang beda orientasinya. Alih-alih mengeduksi orang-orang yang tidak memiliki DNA kesenian, DKJ dan lembaga lainnya justru asyik berjalan sendiri-sendiri. Teman-teman seniman pun memberikan reaksi keras, menghantam dari depan. Tapi masuknya Jakpro kan memiliki dasar hukum kuat yakni Pergub. Mestinya, jika ingin mengusir Jakpro (dari TIM), gunakan jalur politik untuk membatalkan payung hukumnya.
Saat ini, dengan kondisi sekarang, di mana posisi DKJ?
Saat ini DKJ dalam posisi rumit, berdiri di antara keinginan masyarakat kesenian dan keinginan Pemda Jakarta. Kita menyadari, saat ini kondisi TIM, juga fungsi organisasi di dalamnya, tidak lagi seperti tahun 70. Maka strategi DKJ adalah tidak konfrontatif, melainkan koperatif dan kompromi. Jika tidak koperatif dan kompromi, kawasan TIM ini bisa jadi tidak ada kegiatan, karena tiga lembaga yang mengurus kawasan TIM bentrok berkepanjangan. Masalahnya bukan pada teknis pelaksanaan, tapi ada pada pergub yang kontradiktif. Yang saya maksud kontradiktif, yang satu disuruh kejar setoran dan yang satu disuruh mengkurasi kegiatan bermutu.
Makanya sekarang ini kita memilih mengedukasi dan negosiasi. Bagaimana pegawai BLUD (Badan Layanan Umum Daerah) di bawah Dinas Kebudayaan dan Jakpro yang notabene birokrat memahami bahwa tugasnya bukan sekedar menyewakan tempat.
Saat ini kewenangan BLUD baru sebatas mengelola secara mandiri hasil penyewaan tempat dan retribusi, belum punya hak menjadi produser atau penyelenggara kegiatan. Bahkan untuk melakukan kerjasama dengan penyelenggaran kegiatan, atau perusahaan sponsor agar ada subsidi silang, juga belum bisa karena belum ada aturannya. Kewenangan yang diberikan kepada BLUD bertahap, sehingga belum memenuhi keinginan kita (seniman) agar pengelolaan TIM diserahkan sepenuhnya kepada BLUD. Selama ini DKJ terus mendorong pemerintah daerah, wali kota, DPRD, agar BLUD diberi kewenangan seperti yang disuarakan teman-teman seniman.
(Sebagai catatan: BLUD PKJ TIM saat ini hanya mengelola gedung Teater Besar dan Teater Kecil, sementara gedung lainnya seperti Graha Bakti Budaya, Gedung Ali Sadikin, Gedung Trisno Soemardjo dikelola Jakpro).
Antusiasme penonton menyaksikan pementasan seni di pelataran TIM. Foto: Ist
Nah, berarti sekarang ada 2 pengelola di TIM. Di mana fungsi DKJ?
DKJ berada di tengah karena BLUD dan Jakpro sama-sama kaki tangan pemda. Kepada BLUD PKJ kami mendorong agar menjalankan fungsi untuk pemajuan kesenian. Kepada Jakpro, kita juga melakukan upaya agar ada pengecualian-pengecualian yang diberikan kepada seniman yang ingin menggunakan gedung-gedung yang mereka kelola.
Karena ingin kembali ke kodrat pembentukannya sehingga tidak mengadakan pagelaran, lalu program apa yang masih dikerjakan DKJ?
Ada 38 program. Dalam nomenklaturnya disebut sebagai program non-pagelaran, dan program citra kawasan. Dalam Keputusan Gubernur Nomor 1007/2022 yang ditandatangani Anies (Anies Rasyid Baswedan, Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022), DKJ dalam posisi sebagai penanggungjawab program citra kawasan bersama BLUD dan Jakpro. Namun DKJ tidak bertanggungjawab secara teknis, hanya men-supervisi. Program itu harus dilaksanakan oleh pihak ketiga seperti komunitas, asosiasi seniman dan penyelenggara even profesional.
Bagaimana dengan lomba-lomba?
DKJ masih melaksanakan kegiatan non-pagelaran seperti diskusi publik, riset, serta sayembara esai, penulisan cerita anak, dan sastra. Tapi pelaksanaannya tetap melibatkan BLUD karena kepala sekretariatnya UP PKJ.
Apa lagi yang dilakukan DKJ?
Kita tengah mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan strategis seperti Perda Pemajuan Kebudayaan, sosialisasi Ingub 45 (Instruksi Gubernur Nomor 45 Tahun 2020 tentang Penciptaan dan Pengembangan Ekosistem Berkesenian di Jakarta), agar seniman tahu bahwa penggunaan GOR Bulungan dan fasilitas lain di luar dinas atau sudin bisa gratis.
Kita juga sedang mengurus (keanggotaan) BPJS untuk seniman dengan partisipasi stakeholders lain. DKJ mendorong sertifikasi bagi pelatih teater, tari, dan lain-lain agar nantinya bisa mendapat honor yang layak dari sekolah atau tempat lain yang menggunakan jasanya.
Yang tidak kalah penting, DKJ akan mendorong ekosisten di kawasan TIM supaya BLUD dan Jakpro mampu mengelola penonton, seperti dulu. Gedung Kesenian Jakarta punya penontonnya sendiri, TIM punya penonton, Bentara punya penonton. BLUD dan Jakpro harus mampu mengelola penonton, termasuk pengelolaan ticketing. Jadi benar-benar mengembalikan kawasan TIM sebagai pusat kesenian, yang diapresiasi oleh masyarakat. Itu yang terus kita dorong sehingga pemerintah tidak sewenang-wenang. Jangan sampai karena sudah membiayai pertunjukan, lalu pemerintah melarang kelompok atau grup penampilnya menjual tiket.
Terkait Jakarta tidak lagi menjadi Ibu Kota yang diikuti dengan pembentukan kawasan aglomerasi, yang tentunya akan bersinggungan juga dengan kesenian dan budaya, apa langkah antisipasi yang dilakukan DKJ?
Bersama teman-teman di luar kesenian, misalnya Lestari yang concern di lingkungan hidup, Koalisi Seni, dan lain-lain, DKJ juga proaktif memberi saran dan mengkritisi agar apa yang dimaui dari Jakarta sebagai kota global tidak mbulet hanya di urusan transaksi ekonomi. Jangan sampai kawasan aglomerasi hanya menyebarkan kekacauan tata ruang, transprtasi, dan masalah-masalah perkotaan ke daerah, sampai Cianjur.
Salah satu saran yang kita dorong adalah menghadirkan titik-titik kesenian di sentra-sentra ekonomi sehingga tumbuh pusat-pusat kesenian alternatif di berbagai tempat, termassuk di kawasan industri seperti Pulo Gadung, Jakarta Timur. Bukan hanya kegiatan-kegiatan musiman, tapi juga venue untuk tumbuhnya kesenian yang berkelanjutan. Dengan demikian status Jakarta sebagai destinasi kebudayaan, Kota Literasi, tidak kaleng-kaleng. Ada banyak komunitas, ada banyak tempat yang menggelar acara kesenian secara rutin.
Itu juga yang sedang didorong DKJ agar BLUD PKJ membuat jadwal kegiatan kesenian di TIM. Nanti DKJ yang melakukan kurasi secara periodik. Dengan adanya jadwal yang diinformasikan setiap bulan, akan membantu masyarakat, termasuk dari luar daerah, yang ingin datang ke TIM.
Apa kabar Federasi Teater Indonesia (FTI)? Apakah masih memberikan penghargaan-penghargaan seperti dulu?
Saya bangga sebagai orang yang pernah ikut dan menemani Mas Radhar Panca Dahana sampai akhir hayatnya sehingga saya tahu semangat yang ingin digapai di balik pendirian FTI. Sebab di tahun 90-an sampai awal 2000-an masih jarang seniman berorganisasi. Terlebih FTI bukan hanya mengadakan pembinaan dan pertunjukan, tetapi juga bersuara kritis baik keluar maupun ke dalam.
Jadi FTI lebih sebagai ekspresi kegelisahan seorang Radhar. Misal, mengapa para seniman yang menyuarakan kemanusian, kebaikan, hidupnya miskin semiskin-miskinnya. Mungkin dengan cara berhimpun, berorganisasi, persoalan-persoalan yang paling mendasar dapat dicarikan solusinya. Sementara keluar, kita juga terus menyuarakan agar pemerintah memiliki kepedulian melalui pengalokasian anggaran dan program untuk seniman.
Tapi kan tidak banyak yang memiliki stamina juang seperti Mas Radhar. Ketika beliau meninggal, FTI pun wassalam. Tetapi saya senang, saat ini terutama pasca pandemi, muncul banyak organisasi dan komunitas kesenian. Semangat itu sesungguhnya yang ingin disebarkan Mas Radhar melalui FTI.
Sekarang muncul ragam dinamika antar seniman di TIM. Menurut Anda, apakah dibiarkan saja sebagai sebuah dinamika yang wajar, ataukan dicarikan solusi agar bersatu sehingga menjadi kekuatan sebagaimana cita-cita Mas Radhar saat mendirikan FTI?
Secara normatif, tentu begitu. Seniman harus bersatu sehingga dapat memperjuangkan kepentingannya. Tetapi kita juga tidak bisa mengingkari adanya kepentingan di balik dinamika yang muncul, di mana kepentingan tiap orang atau komunitas berbeda-beda.
Oleh karenanya yang ingin saya katakan, kita tidak perlu mengglorifikasi masa lalu. Kita cukup ambil yang baiknya saja. Dunia ini bergerak ke depan. Kita lihat kenyataan di depan. Nah, kenyataan kita hari ini ya begini. Revitalisasi TIM sudah terjadi. Jakpro dan BLUD sudah masuk. Jadi tinggal bagaimana kita menyikapinya. Bagaimana agar Jakpro, BLUD mempunyai kebijakan yang mendukung seniman dalam kerangka pemajuan kebudayaan yang diamanatkan undang-undangan.
Kita harus pelan-pelan dalam mengajak mereka karena DNA mereka bukan kesenian. Tidak bisa konfrontatif. Yang ada nanti kita melawan angin. Memang melelahkan mengajak orang yang tidak paham menjadi paham. Butuh waktu. Tapi itu jalan yang masih mungkin kita tempuh. Alhamdulillah orang-orang BLUD sudah mau datang ke acara-acara seniman, mau ikut technical meeting sebelum pementasan acara kesenian.
Jakpro juga sudah mulai paham, sudah mau menurunkan grade-nya, paling tidak Jakpro tidak tekor. Jadi menggunakan sistem subsidi silang.
Bangunan yang akan dijadikan Wisma Seni. Foto: Ist
Apakah itu juga yang akan diterapkan di Wisma Seni yang kabarnya akan dikelola layaknya hotel berbintang setelah Jakpro menggandeng Artotel Group?
Di sinilah yang saya maksud perlunya saling percaya berbasis data, bukan asumsi. Apakah ada hotel berbintang, apalagi bintang 5, yang menempel pada gedung perkantoran? Wisma Seni hanya menempati 4 lantai, dengan ruangan berisi 4 kasur, seperti dormitori. Apa iya, hotel berbintang seperti itu? Jangan lupakan juga fakta, selama 3 tahun bangunan itu mangkrak karena Jakpro tidak punya kemampuan untuk mengelola.
Jangan karena lihat Artotel-nya lantas berpikir (Wisma Seni) akan dikelola layaknya hotel lain dalam jaringannya yang menerapkan tarif Rp 5 juta, Rp 3 juta. Mana mungkin Wisma Seni akan dipatok dengan rate segitu. Artotel dipilih karena owner-nya kolektor lukisan, seniman. Paling tidak dialog tentang pengelolaan Wisma Seni yang basic-nya masyarakat kesenian jadi nyambung.
Jadi tetap akan menjadi Wisma Seni?
Ya iya, tidak mungkin menjadi hotel berbintang. Soal harga belum diomongin, baru tahap bagaimana cara mengelolanya. Terlebih Artotel punya hotel-hotel yang nyeni dan punya konsep art. Berdasarkan hal itu Jakpro menilai (pemilik) Artotel punya kedekatan dengan masyarakat kesenian. Dalam waktu dekat, Artotel akan banyak semua lembaga yangnadandinkawasannTIM untuk diskusi intensife, FGD. Kita akan menyepakati nama, peruntukan dan hal teknis lainnya. Menarikan. Mereka cukup terbuka kok
Apakah mungkin kelak seniman yang menginap di Wisma Seni bisa mendapat harga khusus?
Artotel paham soal itu. Maka konsepnya tetap berbasis kesenian dengan menempatkan seniman sebagai “pemilik”. Tentu akan ada kurasi siapa saja yang bisa mendapat harga khusus. DKJ yang akan melakukan kurasinya.
Oleh karena itu, sebaiknya segala sesuatunya dilakukan tabayyun terlebih dulu, supaya tidak ada mis-informasi. Saya selalu siap jika ada yang ingin berdialog, atau tanya ini-itu sesuai bidang dan kapasitas saya, dengan prinsip bergerak ke depan. Tidak terus berkutat pada nostalgia, tapi juga menyimbangkan dengan kondisi, dengan fakta, yang ada sekarang.