PojokTIM – Wajah Nuyang Jaimee mendadak semringah ketika membahas dunia sastra, dan kesbukannya mengajar teater di sekolah. Bukan hanya di Jakarta, namun juga sejumlah sekolah di Bekasi dan sekitarnya.
“Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan mengajari siswa mengenal seni peran, mengenalkan karya sastra. Daripada hanya mengeluh soal kualitas pelajaran dan pengajaran sastra, rendahnya minat baca siswa, lebih baik kita (seniman) terjun langsung ke sekolah,” ujar Nuyang Jaimee usai menghadiri acara penyerahan buku hibah Misteri Proses Kreatif karya Putu Wijaya di auditorium PDS HB Jassin, Gedung Ali Sadikin, komplek Taman Ismail Marzuki (TIM)) Cikini, Jakarta Pusat, akhir pekan kemarin.
Di kalangan seniman yang biasa berkegiatan di TIM, mantan kontributor Harian Umum MADINA dan Bulettin WARTA PDS. HB. Jassin itu dikenal sebagai pribadi yang riang, lincah dan berani. Kiprahnya di dunia seni terentang jauh. Proses keseniannya, khusunya teater bermula di awal 2000-an di Taman Ismail Marzuki, Gelanggang Remaja Jakarta Timur dan Gelanggang Remaja Jakarta Pusat/Planet Senen (GRJP). Pada 2002 mengikuti pementasan teater di berbagai tempat, termasuk pentas teater keliling 13 kota di Jawa dan berakhir di Bali dalam Jakarta Art Festival 2004.
Nuyang bergabung dengan beberapa komunitas seni dan sastra sejak tahun 2004, menandai kiprahnya di dunia penulisan sastra yaitu puisi dan cerpen secara serius. Beberapa puisi dan cerpennya masuk di berbagai koran cetak dan majalah, juga media-media online.
Nuyang mendirikan lembaga Cakra Budaya Indonesia (CBI/2014), disusul kemudian menggagas gerakan Keluarga Besar Penyair Seksih (KBPS/(2017), dan lain-lain. Nuyang juga mendirikan sekaligus membina kelompok Teater Cakra Indonesia (TCI/(2020), dan membuat sebuah group terbuka untuk semua kalangan seniman dan pencinta seni, Kampung Seni Jakarta (KSJ/2023).
“Melatih teater di sekolah saya niatkan sebagai pembinaan dan pengabdian,” tegas alumnus FISIP Universitas Jayabaya itu.
Kemampuan bersyairnya terhimpun dalam antologi tunggal berjudul Pendoa Yang Lupa Nama Tuhannya yang di-launching 1 Desember 2023 di PDS Sastra HB Jassin. Gejolak jiwanya tercurah melalui 20 puisi, terutama yang dicipta saat aktif dalam gerakan #SaveTIM.
Kesibukan Nuyang bertambah dengan seringnya dipercaya menjadi mentor dan pengajar dalam berbagai workshop kesenian di sekolah dan lembaga, baik pemerintah dan swasta. Juga sebagai juri dalam lomba teater, pembacaan puisi, penulisan puisi dan cerpen, termasuk sebagai juri Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) di lima wilayah di Jakarta. Terakhir 2024 ini untuk tingkat Jakarta Pusat, Timur, Selatan dan Barat.
Berikut kiprah, pandangan dan harapan-harapan Nuyang Jaimee yang dirangkum PojokTIM dari berbagai kesempatan.
Apa arti puisi bagi Anda?
Puisi menjadi tempat untuk bicara semua kegelisahan dan pergolakan batin yang dalam, di mana semua ekspresi bebas keluar tanpa batas. Melalui puisi saya bisa teriak, melolong, menangis, tertawa, marah, dan protes. Sebab puisi bukan sekedar proses mengungkapkan pikiran dan isi kepala. Dalam puisi saya menemukan makna dan kebijaksanaan yang mengantarkan saya dalam perenungan yang lebih mengerucut pada sebuah pemahaman universal.
Puisi adalah sebuah keniscayaan dari hati paling sepi, langkah paling sunyi dan kata tanpa suara. Namun begitu puisi memberi keriuhan pada pikiran-pikiran saya serupa aksara-aksara yang bebas berterbangan di kepala dan saling bertubrukan menciptakan serangkaian paragraf-paragraf yang memiliki kekuatan metafisis dan memberi kesadaran baru, menggugah hati dan jiwa saya.
Puisi juga mampu menembus kesadaran kosmik yang teramat dalam, membersihkan kotoran-kotoran pemikiran, energi negatif dan daya-daya rendah di luar kosmiknya dan semua hal di alam semesta manusia dan seluruh isinya karena sifatnya yang tak terbatas menyentuh apa saja di sekeliling dirinya. Karena sifatnya yang mampu mensterilisasi tersebut sehingga bagi saya puisi menjadi sebuah ruang tempat tumpahnya seluruh perasaan, imajinasi, sekaligus pemikiran yang teramat sakral.
Bisa diceritakan proses di balik lahirnya antologi Pendoa Yang Lupa Nama Tuhannya?
Buku Pendoa Yang Lupa Nama Tuhannya sebenarnya bukan kumpulan puisi pertama saya. Jauh sebelumnya saya sudah mengumpulkan puisi-puisi yang berserak di berbagai media dan berniat menerbitkan dalam antologi berjudul Surat, berisi sekitar 70 puisi pilihan. Namun karena beberapa faktor, antologi itu batal saya terbit. Takdir mengantarkan buku Pendoa Yang Lupa Nama Tuhannya menjadi buku puisi pertama yang saya terbitkan.
Proses kreatif yang terhimpun dalam Pendoa Yang Lupa Nama Tuhannya menuntun saya pada pemahaman tentang sebuah perjuangan dan keikhlasan dengan cara yang begitu sederhana.
Terkait judulnya, memang saat menjelang dan setelah peluncurannya terjadi banyak perdebatan tentang apakah ini puisi sufi, religi dan atau bahkan puisi atheis, karena ada yang menuduh saya atheis.
Pada intinya secara sadar atau tidak dalam kehidupan kita sering melihat begitu banyak pendoa yang lupa nama Tuhannya, ada pemimpin yang lupa, tokoh masyarakat, birokrat, tokoh agama, politikus, wakil rakyat, atau bahkan bisa jadi kita sendiri juga adalah bagian dari si pendoa yang lupa nama Tuhannya.
Namun begitu, pada akhirnya semua puisi-puisi saya, saya serahkan kembali kepada penikmatnya untuk menginterpretasikan sesuai daya nalar dan daya kritis mereka. Karena setiap orang punya pendekatan yang berbeda dalam memaknai sebuah puisi sesuai pengalaman batin dan kehidupannya masing-masing. Saya tidak akan mengintervensi pembaca, karena bagi saya, setelah karya dilepas ke publik, maka dia bisa bermakna apa saja, tergantung ruang, waktu dan penikmatnya.
Kapan pertama kali Anda mengajar seni teater di sekolah?
Saya lupa persisnya, tapi antara akhir 2015 atau awal 2016. Kebetulan saya punya kenalan guru, pejabat dinas pendidikan, juga penggiat dan pekerja seni. Awalnya mereka melihat saya melatih teater di sanggar, juga menyutradari, dan pentas di panggung. Mereka juga melihat dari berbagai postingan saya di media sosial yang mungkin digunakan sebagai referensi ketika meminta saya menjadi pelatih teater, monolog dan sesi sastra lainnya di sekolah.
Saya menerima dan melakukannya dengan senang hati, karena prinsip saya, berbagi itu sama dengan menambahluaskan. Demikian juga dengan ilmu. Ilmu yang kita miliki, sedikit apa pun itu, menjadi lebih banyak jika diajarkan. Mengajar teater di sekolah juga bentuk kepedulian saya terhadap anak-anak, sebagai generasi penerus bangsa.
Jadi ketika melatih di sekolah saya niatkan untuk pengabdian, mengabdikan ilmu yang telah saya pelajari selama berpuluh tahun dari para guru-guru dan senior saya.
Anda melatih per kegiatan atau tetap?
Ada yang tetap yakni mengisi jam ekstrakurikuler, ada juga diminta melatih untuk keperluan event atau acara sekolah, semisal malam apresiasi seni di sekolah. Atau melatih untuk persiapan lomba. Pernah juga diminta bantu teman ngedrill (melatih secara marathon) siswa. Dengan waktu yang pendek, misal hanya 4 kali pertemuan, anak yang tadinya tidak tahu apa-apa kita beri pemahaman dasar sekaligus latihan akting, sampai bisa main teater.
Ketika melatih siswa yang belum tahu tentang teater, kesulitan apa yang sering Anda rasakan?
Begini, kalau kita berlatih di sanggar, pada dasarnya mereka datang dengan kemauannya, mereka sudah punya keinginan, sudah memiliki keiklasan, untuk berlatih. Mau latihannya seperti apa kita jalani dengan riang, tanpa beban.
Nah, untuk siswa sekolah kebetulan saya mengajar kebanyakan untuk siswa SMP dan SMA, kadang ada unsur terpaksa karena extra kulikuler itu sebagai tambahan penilaian untuk rapot sekolah. Jadi sekolah mewajibkan setiap siswa untuk mengikuti ekstrakulikuler. Ada banyak pilihan, seperti olahraga, rohis, seni dan lain-lain. Nah, kadang teater menjadi pilihan terakhir. Ada juga yang ditunjuk oleh sekolah untuk mengisi acara seni, bukan atas kemauan siswa.
Bisa jadi anak-anak sebelumnya tidak menyukai atau mengenal teater dan masuk latihan teater karena terpaksa karena kewajiban tadi, sehingga kadang antusiasme mereka masih kurang. Bisa dipahami jika awalnya mereka tidak antusias ketika diajak latihan. Kurang ada keiklasan, masih suka manja, tidak ada semangatnya. Maklum anak-anak remaja usia 15-16 tahun, masih banyak dramanya. Oleh karenanya, saya sendiri yang harus bisa berimprovisasi. Sebab jika pun dipaksa, hasilnya pasti tidak sesuai harapan kita. Salah satu cara yang biasa saya gunakan untuk membujuk mereka yang malas-malasan adalah dengan game-game yang menarik. Ketika mereka sudah riang, sudah bersemangat, baru saya sisipkan materi latihan.
Bagaimana untuk sampai tahap siswa menyenangi latihan teater, tidak lagi menganggap sebagai beban?
Tentunya saya pantang menyerah, justru ini adalah tantangan buat saya. Tugas saya sebagai seniman dan aktivis kesenian adalah bagaimana mengenalkan kesenian dan teater itu ke anak-anak dan mereka bisa menyukainya dan latihan dengan senang dan antusias. Sebenarnya ini menjadi tugas kita bersama. Tugas para seniman dan aktivis seni lainnya. Peduli kepada pendidikan seni anak-anak di sekolah.
Biasanya saya ajak anak-anak dialog dan memberikan pemahaman tentang pentingnya belajar kesenian, atau mengenal seni dalam hal ini seni teater. Jika mereka memahami seni teater, dan bihkan paham ilmunya, maka mereka bisa menerapkan seni teater itu dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari di dunia yang kongkret, yang nyata. Bahkan mereka bisa mengambil manfaat seni teater untuk bekal mereka nanti di dunia pekerjaan. Sebab kesenian mengenalkan kita dan memberikan kita pelajaran tentang segala kompleksitas dari kehidupan itu sendiri.
Dari mulai cara bersikap, berpikir, cara melihat dan menyelesaikan sebuah masalah dengan cerdas, cara bicara, gestur dan bahasa tubuh, menghadapi persoalan bahkan bagaimana kita mengolah kesehatan tubuh, dsb. Semua kita pelajari dalam dunia teater yang semua itu jadi pembelajaran yang bermanfaat kita praktekan di kehidupan sehari-hari yang begitu kompleks di tengah masyarakat. Meski kelak tidak menjadi seniman teater tapi ilmu dari teater akan berguna di berbagai aspek kehidupan kita.
Oleh karenanya, yang saya ajarkan bukan sekedar berakting di atas panggung, mimik wajah, ekspresi, vokal, diksi, artikulasi, intonasi, bahasa tubuh, bedah naskah, psyikologis tokoh dan pemeranan dan hal-hal elementer lain tentang teater, tetapi juga character building dan membangun behaviour anak-anak tersebut agar lebih positif, apresiatif dan punya orientasi yang jelas, tegas dan percaya diri terhadap masa depan yang akan mereka bagun ke depan.
Saya ingin anak-anak penerus bangsa ini, lebih terbuka, aware, memiliki kepedulian dengan lingkungannya, kemanusiaan, dan tentu saja tidak buta terhadap kesenian karena dari sanalah bermula pemahaman kehidupan dibangun.
Saya optimis apa yang kita lakukan dengan ikhlas akan berbuah kebaikan yang manis. Alhamdulillah sampai saat ini saya masih bisa mengabdi dan mengajar teater di sekolah-sekolah di Jakarta.
Kabarnya Anda juga mengajar teater di perusahaan swasta dan BUMN?
Benar, saya pernah memberi pelatihan di sejumlah perusahaan. Salah satu contoh misalnya Pertamina (Persero). Saat itu Pertamina ingin mensosialisasikan program baru perusahaannya, dan mereka ingin mempresentasikan program tsb melalui tontonan yang menarik, segar dan lebih hidup tidak menjenuhkan, yaitu dengan cara dibuat alur cerita dan tontonan drama pendek dan pemainnya adalah semua karyawan perusahaan.
Saya melatih para karyawannya yang sudah terpilih untuk ikut dalam pentas drama tersebutdan terdiri dari beberapa kelompok. Setiap kelompok memainkan naskah yang sudah mereka buat bersama. Pendekatan mereka bervariasi, ada drama modern, ataupun menggunakan unsur tradisi dan budaya lama seperti drama si Pitung, Ken Arok, Nyai Dasima, dan lain-lain.
Kelonpok-kelompok terssbut berasal dari berbagai cabang di daerah. Latihannya di kantor Pertamina Pusat di Tanjung Priok.
Ternyata salah satu kelompok drama karyawan Pertamina yang saya latih lolos hingga tingkat nasional. Bahkan kabarnya ikut diperlombakan sampai ke tingkat Internasional sebagai grup Presentasi Program Perusahaan dalam bentuk drama terbaik bersaing dengan berbagai perusahaan lain. Hal itu merupakan suatu kebanggaan bagi saya mereka berhasil lolos sampai ke lomba internasional.
Apa obsesi terbesar Anda, khususnya yang berkaitan dengan seni budaya?
Pertama tentunya ingin melahirkan banyak karya, bukan sebatas buku puisi, namun juga menggelar pementasan yang melibatkan banyak komunitas dengan segmen lebih luas. Membentuk komunitas-komunitas sastra di kalangan pelajar. Saya tidak ingin terjebak dalam menara gading, bergelut dengan ego. Saya pernah mengalami fase ketika harus mencari dan belajar sendiri melalui berbagai kegiatan, otodidak dan dari media bacaan, Sulit sekali menemukan guru yang memiliki nama besar, yang benar-benar mau turun gunung ke kantong-kantong yang lebih kecil untuk menurunkan ilmunya kepada generasi penerus. Tentu saja ada banyak faktor kenapa itu terjadi dan akan sangat luas jika dibahas.
Oleh karenanya, sekarang saya ingin menularkan ilmu pada siapa saja yang membutuhkan, sekalipun dalam lingkup terkecil.
Obsesi lain saya adalah menandai sejarah setiap seniman-seniman besar, sastrawan, penyair yang telah memberikan kontruibusi besar dalam perjalanan kesenian, kebudayaan dan kesusasteraan tanah air, melalui kolaborasi lembaga Cakra Budaya, Penyair Seksih, Teater Cakra dan Kampung Seni Jakarta dan komunitas lainnya di Jakarta dan sekitarnya, membuat sebuah perayaan yang lebih tematik, bukan sekedar mementaskan atau membacakan karyanya. Tapi dengan program acara yang hasilnya lebih berkesinambungan dan bisa menjadi catatan sejarah, data, dan kontribusi yang kongkret dalam dunia seni dan kesusasteraan Indonesia. Untuk program ini kita tunggu tanggal mainnya.
Komunitas Penyair Seksih. Foto: Ist
Terkait komunitas Keluarga Besar Penyair Seksih, bisa dijelaskan sedikit apa yang melatarbelakangi dan mengapa menggunakan kata seksih?
Saya memang sering ditanya soal itu, bahkan oleh anggota keluarga penyair seksih. Katanya, mengapa pakai kata seksih, bukankah konotasinya negatif atau kurang baik?
Terhadap pertanyaan-pertanyaan seperti itu, saya selalu jawab, kita wajib percaya bahwa semua adalah mahluk Tuhan yang paling seksih. Penyair Seksih adalah sebuah gerakan, di mana kita mengkampanyekan secara berkesinambungan dalam rangka mengubah image kata seksi yang berkonotasi negatif, kita bangun ulang menjadi lebih positif.
Pada prinsipnya kita harus bangga dan percaya diri bahwa kita semua adalah manusia-manusia seksih, siapa pun. Bukan soal gender, laki-laki atau perempuan. Juga tidak tergantung tatus sosial, dan pangkat atau jabatan.
Dengan begitu seksih di sini bukan mengacu kepada bentuk fisik, tubuh dan penampilan luar, tapi seksih yg berorientasi pada segala hal yang bersumber dari yang lebih agung, yang lebih bersih, murni, yang lebih peka dan lebih terasah dengan pembelajaran dan pemaknaan tentang hidup dan kehidupan yaitu hati, jiwa dan pikiran.
Tentu saja semua terepresentasikan dalam sikap, perilaku, mental dan intelektual, cara berpikir, memandang, dan bersikap yang terangkum dalam karya dan kreatifitas yang dibuat.
Anda aktif di berbagai komunitas seni dan sastra. Bagaimana pendapat Anda dengan maraknya komunitas-komunitas seni di Jabodetabek saat ini?
Menurut saya itu bagus. Komunitas lahir karena kepentingan dan tujuan yang sama. Kegelisahan yang sama. Sekarang banyak komunitas khususnya seni sastra dan teater lahir karena beberapa faktor. Salah satunya karena kurangnya perhatian pemerintah dalam hal pembiayai kegiatan seni sastra. Akhirnya mereka membentuk komunitas sebagai wadah untuk mengakomodir ide, gagasan dan kreatifitasnya dengan cara gotong-royong, tanggung renteng, dan kekeluargaan di komunitas yang mereka bangun. Pelan-pelan mereka berusaha masuk untuk mendapat perhatian pemerintah secara bergantian dengan komunitas lain.
Banyak komunitas yang tidak memiliki anggota, hanya pengurus saja. Menurut Anda?
Menurut saya sah-sah saja. Zaman sekarang kan sudah canggih. Komunitas cukup digerakkan oleh beberapa orang saja. Lalu saat eksekusi dan membuat kegiatan akan melibatkan banyak orang. Mengajak berbagai unsur seni, juga pelaku seninya. Jadi sesungguhnya itulah anggotanya. Tidak perlu menjadi anggota tetap. Jika setiap komunitas mampu membuat gerakan-gerakan serupa maka fungsi komunitas akan lebih relevan dengan zamannya, sebagai penggerak yang menggerakkan ekosistem berkesenian. Lebih konkret. Bukan sebagai pengumpul orang-orang saja sebagai anggota tanpa gerakan. Kita ambil positifnya saja.