PojokTIM – Bagi Anggota Komite Seni Rupa dan Komisi Simpul Seni Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Aquino Hayunta, dunia aktivisme dan kesenian saling bertemali. Hanya beda pada pola penyampaiannya. Dalam aktivisme, aspirasi disampaikan melalui advokasi gagasan dan pemikiran dan kadang lewat demonstrasi dan aksi-aksi jalanan.

“Di kesenian, aspirasi disampaikan lewat pengungkapan ekspresi dan dalam bentuk yang relatif bisa diterima oleh lebih banyak pihak, baik melalui pementasan teater, film, atau musik. Jadi isu-isu yang saya perjuangan tetap sama, hanya medianya yang berubah,” ujar Aquino  kepada PojokTIM, di kantor DKJ, Selasa (31/7/2024).

Sebelum terjun ke dunia kesenian, Aquino adalah aktivis demokrasi yang peduli pada isu-isu demokrasi, gerakan kemanusiaan, pelanggaran HAM, dan pendidikan seksual. Bagi Aquino, beda pendapat terhadap isu apa pun hal yang lumrah sebagai manusia merdeka.

“Yang terpenting, komunikasi antar seniman, antar pemegang mandat dan kebijakan tetap dihidupkan. Perbedaan perspektif, perbedaan cara memecahkan masalah, hendaknya tidak menjadi tembok penghalang komunikasi karena tujuannya sama yakni pemajuan kesenian dan kebudayaan,” harap Anggota Simpul Seni DKJ tersebut.

Untuk mengetahui sepak terjang dan pemikirannya, berikut rangkuman wawancara PojokTIM dengan Aquino Hayunta.

Anda masih aktif pada isu-isu demokrasi dan gerakan kemanusiaan?

Background saya memang aktivis hak asasi manusia (HAM). Saya pernah jadi relawan kemanusiaan untuk mendampingi keluarga korban kekerasan negara seperti dalam kerusuhan Mei 1998. Saat itu banyak tempat di Jakarta yang rusak dibakar karena kerusuhan. Banyak juga korban meninggal dunia. Saya ikut di sebuah organisasi relawan (Tim Relawan untuk Kemanusiaan – TRK) yang mendampingi keluarga korban, menghitung jumlah korban, dan mempertemukan para keluarga korban hingga akhirnya kita mendirikan paguyuban keluarga korban kerusuhan Mei 1998. Melalui TRK itu kami menuntut keadilan kepada negara. Setelah berjuang selama bertahun-tahun, TRK bubar pada tahun 2008.

Di antara waktu itu, saya tetap aktif mengumpulkan data-data pelanggaran HAM di seluruh Indonesia dan setelahnya bekerja di Jurnal Perempuan yang mengangkat isu kesetaraan gender. Setelah itu lanjut bekerja di Hivos (organisasi kerjasama internasional dengan kantor pusat di Den Haag. Belanda, red) yang menyalurkan dana dari masyarakat sipil Belanda ke sektor HAM, gender dan budaya. Dari situ lah saya kecemplung seni dan budaya.

Masih mengadvokasi korban pelanggaran HAM?

Masih terus bergerak pada isu demokrasi. Saat ini sedang mengusahakan pembangunan monumen Semanggi, di depan Universitas Atmajaya. Kalau di Universitas Tri Sakti sudah ada (monumennya). Kita sedih ketika lokasi yang menjadi salah satu titik tragedi dalam perjalanan demokrasi bangsa kita, tidak memiliki penanda. Sekarang jadi lahan parkir. Padahal setiap tahun menjadi lokasi tabur bunga, bukan hanya oleh aktivis prodemokrasi, namun juga mahasiswa aktif yang dilakukan secara turun menurun sejak dulu.

Kita ingin di situ ada penanda. Rencananya monumen itu berupa patung karya Dolorosa Sinaga yang berjudul The Grief. Model patungnya saat ini sudah jadi, dan sedang dipamerkan di Galeri Nasional. Kami sedang mencari dana untuk membangun patung tersebut di Atma Jaya.

Ada pembelahan kehendak di tengah masyarakat. Satu sisi menuntut penuntasan pelanggaran HAM berat lewat jalur hukum. Lainnya berpendapat isu HAM hanya dijadikan gimmick menjelang konstestasi politik tanpa ada upaya serius untuk menuntaskannya. Ada juga yang menyarankan agar dilakukan rekonsiliasi agar tidak menjadi duri dalam perjalanan bangsa ke depan. Menurut Anda?

Sebenarnya pola penyelesaian terhadap pelanggaran HAM berat punya tolok ukur belajar dari penyelesaian pelanggaran HAM di Afrika Selatan. Kami paham tidak mungkin bisa mengejar seluruh pelakunya, apalagi mengadilinya satu persatu karena pelaku sudah menyebar, sebagian bahkan memiliki posisi kuat dalam peta politik Indonesia.

Jadi salah satu cara yang bisa ditempuh adalah rekonsiliasi nasional seperti model Afrika Selatan.  Oleh karenanya, sebelum dilakukan rekonsiliasi, harus ada pengakuan dari para pelaku dan permintaan maaf dari negara yang diikuti dengan dibuatnya aturan-aturan untuk mencegah tragedi serupa terulang di masa mendatang. Prinsipnya, tidak ada rekonsiliasi tanpa pengungkapan pelaku dan korban pelanggaran HAM oleh negara.

Apa kabar Koalisi Seni?

Saat ini Koalisi Seni sedang rapat untuk memilih ketua yang baru. Anggotanya sudah 300 orang lebih, tersebar di seluruh Indonesia. Mereka yang bergabung dalam Koalisi Seni sepakat untuk menjalankan advokasi seni. Tidak ngomong soal estetika, praktek berkesenian, tapi murni gerakan seni. Bagi saya, sudah saatnya seniman punya posisi tawar yang kuat.

Selain di Koalisi Seni di mana saya anggota biasa, bersama teman-teman saya juga mendirikan organisasi Sahabat Seni Nusantara. Fokusnya pada networking, memelihara jejaring dengan berbagai komunitas seni untuk berbagi pengetahuan melalui diskusi. Sahabat Seni lebih banyak melakukan diskursus wacana, berbeda dengan Koalisi Seni yang merupakan gerakan kesenian.

Anda turut mengawal lahirnya UU Pemajuan Kebudayaan?

Hanya karena saat itu saya kebetulan bekerja di sekretariat Koalisi Seni. Jadi bukan seperti teman-teman lain yang aktif berproses di DPR.

UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan telah diundangkan selama 7 tahun lebih. Menurut Anda apakah implementasi di lapangan sudah sesuai, sudah ada dampak positifnya?

Karena saya pernah mengawal berbagai undang-undang, termasuk UU Anti-Pornografi, di mana saya salah satu pengaju keberatan di MK, dan UU Pemilu terutama yang terkait kuota keterwakilan perempuan, menurut saya UU Pemajuan Kebudayaan sudah dilaksanakan dengan cukup baik.

Mungkin implementasinya belum 100 persen sesuai yang dikatakan UU. Masih banyak Peraturan Pemerintah (PP) yang belum dibuat. Tapi sudah sangat lumayan kalau dibandingkan implementasi UU lainnya. Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) sudah berhasil dibikin, dan akan diperbaharui tahun ini. Juga realisasi dana abadi kebudayaan, dana Indonesiana, serta perubahan pola pengambilan keputusan dari top down menjadi bottom up, meski belum menyeluruh.

Mungkinkah pembelajaran seks kepada anak dilakukan lewat seni?

Justru sangat mungkin. Kenapa saya akhirnya pindah ke sektor seni, karena seni bisa bicara banyak hal dan mudah diterima orang. Saat ini orang sudah capek melihat demo, sementara tujuannya tidak tercapai. Seperti anjing menggonggong tapi tidak dikasih makan juga. Kalau lewat seni, orang lebih terbuka, lebih senang, tidak ada yang merasa diceramahi, dituntut, namun pesannya tersampaikan.

Begitu juga dengan isu pendidikan seksual lewat kesenian. Selama ini film, teater, tari, banyak berjasa dalam menyampaikan isu-isu sex education. Novel Perempuan di Titik Nol adalah contoh karya yang mengangkat isu gender dan persoalan seksualitas. Perempuan di Titik Nol sudah beberapa kali dipentaskan dan menjadi bahan diskusi dan dijadikan media pembelajaran di mana pembaca atau penontonnya banyak mendapat pemahaman.

Apa program Simpul Seni?

Tugas utama kami adalah berjejaring. Apa yang saya lakukan di Koalisi Seni sebenarnya diulangi di Simpul Seni. Kalau dulu berjejaring dengan anggota, mengaktivasi anggota, termasuk yang di daerah, mendorong mereka membuat acara, diskusi, dan lain-lain. Nah, itu juga yang dilakukan Simpul Seni.

Kita ingin mengenal dan terhubung dengan pemangku kepentingan seni, dengan sanggar seni, tahu berapa jumlahnya, apa saja yang mereka butuhkan, lalu apa yang bisa dilakukan DKJ. Jika DKJ memiliki informasi jumlah komunitas dan kebutuhannya, tentu tidak kita simpan. Kita bagikan ke Dinas Kebudayaan, DPRD, badan-badan lain yang memiliki tugas atau bersinggungan dengan upaya-upaya pemajuan kesenian. Itu yang dikerjakan Simpul Seni.

Apakah ekosistem yang ada di TIM saat ini, cukup untuk menumbuhkan komunitas seni yang mandiri?

Masih banyak persoalan di TIM, terutama koordinasi antar lembaga yang masih perlu diperjuangkan. Saya tidak mengatakan komunikasinya buntu, karena faktanya sudah ada komunikasi, bahkan sudah baik.

Tapi setiap lembaga punya standar dan mandat masing-masing. Mandat Jakpro, harus mengembalikan biaya investasi dan mendapat keuntungan dari usahanya. Meski di kabar terakhir, katanya Jakpro yang di TIM tidak diharuskan menghasilkan keuntungan, cukup biaya operasional tertutup.

Kalau mandatnya DKJ, bisa dikatakan kebalikan dari Jakpro. Memberikan ruang seluas-luasnya buat komunitas agar bisa menggunakan semua fasilitas di TIM.

Nah, mengkonsolidasikan mandat ini yang masih proses. Selama proses ini berjalan, maka banyak komunitas yang belum bisa kita fasilitasi dengan baik. Misalnya, jadwal penggunaan gedung yang bentrok, proses kurasi yang masih terlalu lama. Proses kurasi yang ideal munurut saya tidak lebih dari seminggu. Idealnya orang yang mengajukan proposal sudah tahu diterima atau tidak dalam jangka paling lama satu minggu. Jika tidak diterima, dia bisa segera mencari alternatif.

Jadi sebenarnya TIM punya potensi besar untuk menumbuhkan komunitas. Tapi kita belum 100 persen bisa memenuhi kapasitas itu.

Ada pesan yang ingin disampaikan kepada komunitas dalam ekosistem TIM?

Kita mesti kompak, menjadi komunitas besar seni. Dengan begitu suara kita akan didengar. Ketika menghadapi masalah, suara kita sama. Kita harus bisa sepakat hanya fokus pada masalah, bukan orang. Hendaknya kita bisa memiliki identifikasi masalah yang sama, walaupun strategi pendekatannya berbeda-beda.

Kita memiliki tujuan sama, memajukan kesenian di Jakarta, agar pembiayaan kesenian masuk dalam rencana pembangunan. Membangun Jakarta ya membangun seni budayanya. Oleh karenanya, hendaknya kita punya pandangan yang sama meski cara memecahkannya boleh saja berbeda-beda. Yang penting antarkomunitas tetap bisa ngumpul, diskusi, dan berbagi inofrmasi, yang ujungnya karya.

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini