PojokTIM – Tidak banyak orang dengan multi talenta. Dari yang sedikit itu, Putra Gara adalah salah satunya. Berangkat dari jurnalis, bakat menulisnya merambah dunia fiksi melalui novel, cerpen, puisi hingga naskah drama dan biografi. Kini Gara tengah menekuni kesibukan dunia barunya sebagai pelukis.

“Sebenarnya sedang kurang enak badan. Tapi karena hari ini penutupan pameran lukisan untuk memperingati 50 tahun Sanggar Garajas, jadi saya paksakan hadir,” ujar Putra Gara di Balai Budaya kawasan Menteng Jakarta Pusat, Jumat (9/8/2024).

Dalam pameran lukisan yang sudah berlangsung sejak 1 Agustus 2024 itu, Gara mengusung dua lukisan bertema politik yang diberi judul Mahkamah Keluarga dan Celeng Pantau Demokrasi. Meski pesta demokrasi bertajuk Pemilihan Presiden yang menjadi pemantik ide telah berlalu, Gara meyakini tema lukisannya tetap relevan selama masih berlangsung politik tanpa moral dan etika, tanpa kepastian hukum sehingga konstitusi dapat diubah sekehendak penguasa.

“Saya hanya ingin menandai suatu peristiwa yang sangat memalukan dalam perjalanan demokrasi kita,” ujar Gara, yang juga ketua Dewan Kesenian Kabupaten Bogor.

Proses kreatif dan pergulatan pemikiran Putra Gara di jalan kesenian terentang lumayan panjang. PojokTIM mewawancarai penulis novel Samudra Pasai itu dalam beberapa kesempatan. Berikut rangkumannya.

Selain melukis, apa kesibukan Anda sekarang?

Masih di kesenian, menulis, jurnalis. Kebetulan kemarin diminta menjadi wakil Bu Halimah Munawir di Obor Sastra. Salah satu kegiatannya mengadakan workshop di sekolah dan wisata literasi. Setelah membekali dengan ilmu kepenulisan, kita ajak siswa ke tempat-tempat yang memiliki sejarah seperti Museum Fatahillah dan Taman Ismail Marzuki. Sambil berwisata mereka diberi tugas menyerap, mencerna, dan menulis apa yang dilihat. Istilahnya meng-copypaste apa yang mereka lihat ke dalam tulisan.

Menurut Anda, efektifkah pengajaran sastra dengan model sastrawan masuk sekolah?

Kita lihat perjalanannya. Jika dari 10 siswa yang ikut pelatihan literasi, ada 1 siswa yang kemudian memiliki minat menulis, berarti sudah lumayan efektif. Kita tidak berharap mereka menjadi sastrawan atau penulis semua. Kita hanya ingin mereka tahu bahwa menulis, literasi, itu penting. Literasi induk dari kreatifitas.

Oleh sebab itu konsep pengajaran literasi di sekolah kita dikombinasikan antara tulisan dengan visual karena sekarang era digital. Bahkan porsi (pelajaran) visual sampai 60 persen. Sebagai penanggungjawab materi visual, saya mengajarkan tentang membuat konten video meliputi opening, isi, ending dan durasi.

Belakangan ini komunitas seni semakin marak. Seberapa bergunanya komunitas di era digital seperti sekarang ini?

Bicara komunitas tentu bicara tentang kenyamaman. Saya tidak anti-komunitas. Persoalannya, yang saya lihat, komunitas yang ada, isinya itu lagi itu lagi. Kenapa tidak bergabung, satu baju, satu wadah besar saja. Sebab yang harus digerakkan kreatifitasnya, produktifitasnya, bukan brand komunitas.

Terkait dengan maraknya organisasi berbasis komunitas, silakan saja sepanjang berguna bagi anggotanya, syukur juga bagi masyarakat. Jangan sampai selesai berkegiatan, selesai juga aktifitas kreatif anggotanya. Hanya euforia sesaat. Seolah-olah sudah menjadi seniman ketika ikut dalam euforia itu. Padahal seniman punya tugas untuk mempertanggungjawabkan kualitas karyanya, bukan hanya larut dalam euforia kegiatan.

Ketika kita nongkrong bersama Affandi, kita tidak lantas menjadi pelukis kalau tidak melukis. Kita nongrong sama Taufiq Ismail  atau Suradji Calzoum Bachri, kita bukan penyair kalau tidak menulis puisi. Jadi, ini juga koreksi untuk diri saya, minimkan euforia, perbanyak karyanya.

Putra Gara bersama 2 lukisan yang diikutkan dalam pameran 50 Tahun Sanggar Garajas di Balai Budaya. Foto: Ist

Masih sering ikut pameran lukisan?

Sering karena seni rupa bagian dari produktifitas saya dalam berkarya. Seperti sekarang, ikut berpartisipasi dalam rangka ulang tahun Sanggar Garajas yang ke- 50. Kebetulan saya pernah ikut ngumpul di Gelanggang Remaja Jakarta Selatan (Garajas) yang didirikan oleh Mas Dimas Pras, saat kunjungan Ratu Elisabeth dari Inggris tahun 1974.

Di Sanggar Garajas, awalnya saya mengikuti proses pelatihan seni rupa. Setelah itu ikut belajar menulis prosa. Saya mulai mengenal cara membuat novel setelah membaca Ali Topan Anak Jalanan karya Teguh Esha. Juga saya membaca Wiro Sableng karya Bastian Tito saat masih bentuk jilidan, sebelum dicetak di Senen.

Lukisan Anda sepertinya fokus dengan tema politik?

Tidak juga. Ada alam, kebudayaan, dan lain-lain. Tema politik hanya usaha untuk mendokumentasikan peristiwa. Sayang kalau dibiarkan lewat begitu saja. Tidak hanya lewat lukisan, banyak juga puisi saya yang bicara tentang kritik, walaupun gara-gara itu (akun) Facebook saya sampai 4 kali diblokir.

Saya memang memecah diri terkait kesenian saya. Saya mencoba masuk ke semua ruang kesenian yang pernah saya pelajari.

Anda juga melukis tokoh novel. Dari mana idenya?

Konsep kolaborasi untuk menelurkan karya bersama bukan hal baru. Salah satu yang fenomenal adalah poster perjuangan yang dibuat oleh maestro pelukis Affandi, dengan kalimat kutipan penyair Chairil Anwar yang berbunyi “Boeng Ayo Boeng”.

Sayangnya seni rupa sastra tidak menggeliat sebagaimana mestinya. Dalam arti masih temporer, seperti ketika ada event tertentu. Contohnya saat saya melukiskan tokoh dalam novel Padmi Tari Gamyong, di mana saya melukis figur Padmi dengan latar belakang penari Gamyong.

Saya berharap alihwahana dari teks ke gambar bisa lebih membumi. Sebab, pada dasarnya, melukis kolaborasi dengan karya sastra tidak beda dengan melukis apa pun. Ini lebih kepada menuangkan saripati sastra ke dalam bahasa gambar. Perenungan dan pengendapannya lebih ekstra karena terkait karakter dan sifat cerita.

Karakter dan sifat cerita itulah yang harus mampu ditangkap oleh perupa atau pelukis, sehingga melahirkan karya yang selaras dan se-ruh dengan karya sastra tersebut. Tentu tidak mudah karena terkait dengan garis dan warna. Sehingga karya sastra tersebut terwakili dari pola lukis yang dibuat. Ritme itu harus didapat dari pengamatan, perasaan, dan memahami alur cerita dari karya sastra.

Apa tantangan lainnya?

Tidak semua perupa mampu memeras saripati sastra menjadi wujud rupa. Karena ini bukan copypaste, tapi mencari yang non-kasat mata (deskripsi) menjadi nyata (gambar).

Menarik membahas seni rupa sastra. Karena bisa dijadikan semacam genre baru dari seni rupa itu sendiri. Masalahnya, berapa banyak perupa atau pelukis yang mau susah-susah memeras otak untuk membaca karya sastra, lalu dituangkan dalam gagasan nyata, dari endapan yang telah dilakukan.

Bagaimana jika terjadi salah interpretasi pelukis terhadap isi atau tokoh novel?  

Pada dasarnya setiap karya, baik sastra maupun seni rupa yang dihasilkan dari interprtetasi karya sastra, tak ada yang salah. Semua memiliki sudut pandang tersendiri. Hanya saja mungkin beda kapasitasnya. Di situlah nilai atau poinnya. Karena semua tergantung dari kapasitas personal pelaku seni.

Saya sendiri tidak terlalu memperhatikan tanggapan penikmat sastra maupun lukisan. Bukannya tidak menghiraukan, atau tidak mau dikritik, tetapi tiap penikmat karya memiliki sudut pandang sendiri. Jadi, poin besarnya adalah bebaskan diri dalam berkarya, meski tetap harus ada kredo dan koridor yang kita buat untuk menjadi rujukan.

Masih menulis novel?

Saya sedang menulis cerita bersambung di media lokal Aceh. Ceritanya tentang mantan kombatan GAM (Gerakan Aceh Merdeka), yang kembali ke Aceh pasca perjanjian damai. Jadi sambil melukis ya nulis novel dan lainnya.

Saya terbiasa bekerja dua bidang dalam satu waktu. Di meja kerja saya ada laptop dan di sebelahnya terdapat kanvas. Kalau sedang lelah menyusun kata-kata, saya lari ke kanvas, menorehkan warna. Ternyata itu seperti terapi. Selama saya menorehkan warna dan garis pada kanvas, ide menulis bisa datang lagi sehingga tinggal balik ke laptop.

Saat ini saya sedang menyelesaikan buku biografi tokoh politik di kabupaten Bogor. Ada yang sedang proses editing. Juga biografi Ratna Sarumpaet. Kemarin sempat ke Balige (Sumatera Utara), ke tempat kelahirannya untuk mendokumentasikan tempat-tempat menarik yang berhubungan dengan beliau melalui tulisan.

Anda termasuk yang pernah “tidur” di TIM. Menurut Anda, bagaimana kondisi TIM saat ini?

TIM menjadi salah satu rumah saya zaman masih berproses. Saat itu TIM menjadi tempat yang asyik untuk berkarya. Tahun 80 sampai 90-an, masih ada seniman yang pasang tenda di pojokan TIM. Makan, minum dan tidur di situ. Kondisinya jauh berbeda dengan sekarang.

Tapi jujur, saya sebenarnya senang dengan kondisi sekarang. Sebab seniman tidak harus kumuh. Jadi menurut saya revitalisasi TIM bagian dari upaya memanusiakan seniman. Hanya saja, regulasinya yang harus dikoreksi. Kembalikan TIM seperti dulu bukan berarti kembalikan kekumuhannya, tapi fuingsi dan perannya sebagai tempat seniman berkaya.

Kalau seniman harus menyewa (gedung seharga) sekian puluh juta untuk sebuah pementasan, loh seniman kan perlu latihan berbulan-bulan, (lalu) siapa yang bayar? Bagaimana perupa yang sedang berproses bisa pameran jika gedungnya dikenai biaya ratusan juta.

Jadi kembalikan fungsi TIM dengan cara menyediakan ruang yang memudahkan seniman berkarya dan berekspresi. Kita hormat pada PDS HB Jassin yang memberikan ruang cukup nyaman bagi seniman untuk berkegiatan. Kita sebagai seniman merasa diorangkan, merasa ada yang mengayomi dan menghargai. Mestinya BLUD PKJ TIM, dan juga PT Jakpro bisa melakukan hal serupa.

Ada pesan untuk seniman muda yang masih berproses?

Kurangi nongkrongnya, perbanyak karyanya. Jangan larut dalam euforia-euforia kegiatan komunitas lalu merasa sudah menjadi seniman besar. Seniman dipandang karena karyanya. Jika sekedar hau-hau tanpa memiliki karya, lebih baik intropeksi diri. Kecuali ikut komunitas untuk belajar, menyerap ilmu dan pengalaman lalu direfleksikan dalam sebuah karya, itu saya apresiasi. Kalau sekedar jalan ke sana ke sini tanpa melahirkan karya, sangat disayangkan.

Lebih baik jadi seniman kamar dulu. Merenung, atau melakukan refleksi pola mpu zaman dulu. Sebab berkarya tidak bisa lepas dari akarnya yakni perenungan. Kontemplasi sangat penting karena merupakan induk dari cipta yang akhinya melahirkan karya-karya besar. Tanpa kontemplasi, karya yang dihasilkan hanya jadi buih-buih seremonial yang tidak mengandung arti.

 

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini