Oleh: Fikar W.Eda
kutulis ini, karena aku tak tahu.
BADUY adalah guru yang digugu. Dihormati dan ditiru. Menjaga keseimbangan dunia dalam dan dunia luar. Merawat sumber mata air. Merawat hutan. Menanam benih, panen dan dimakan secukupnya. Mengolah madu. Bertelanjang kaki. Berjalan kemanapun pergi. Tanpa televisi, listrik dan internet. Gadis diajar menenun, bertabur motif alam.
Lalu para pemilik Rahim, pulang ke Baduy. Menempuh jalan pulang setelah berkelana di tikungan global, hingga tak jelas yang mana punggung dan lambung. Semuanya samar.
“Ajari Aku Baduy” teriak pemilik Rahim lantang. Datang satu rombongan dari negeri-negeri jauh dan setengah jauh. Menumpang dua HIACE sewaan. Memulai perjalanan menuju Ciboleger, gerbang menuju Kanekes, Baduy Luar. Menginap satu malam. Besoknya, selepas sarapan, bergerak menempuh perjalanan tak mudah. Mendaki, kadang menurun. Berkelok di beberapa tanjakan. Lelah. Beberapa kali istirahat. Menghalau haus, dengan kelapa muda. Bertemu masyarakat Baduy Luar. Menjenguk sampai dapur. Diterima senyum tulus perempuan Baduy. Bermain dengan anak-anak Baduy , ditemui sepanjang perjalanan menuju perbatasan Baduy Luar dan Baduy Dalam.
Seorang gadis kecil, Alis namanya. Ramah dan pandai berkomunikasi , sedikit malu-malu. Senyuman, ceritanya, inspirasi bagi puisi pemilik Rahim. Gadis cilik itu, tak kenal bangku sekolah, memiliki adab sangat baik. Hari-harinya membantu ambu, berjualan souvenir khas Baduy.
Para pemilik Rahim, sedang pulang. Kali ini ke Baduy. Mereka berkali-kali berteriak, “Ajari Aku Baduy.” Lahirlah 88 puisi. Mengekspresikan pengalaman puitik tentang kehidupan serta hubungan spiritual masyarakat Baduy dengan alam. “Ajari Aku Baduy” kata pemilik Rahim, lahir setelah “Palung Tradisi” terbit 2019, “Temanten” 2022, dan “Membaca Joga: Umbul Pasiraman” 2023.
Mereka pemilik Rahim, berkhidmat dalam Perempuan Penyair Indonesia (PPI), sepenuhnya sadar pulang ke tradisi. Pesan Presiden PPI, Kunni Masrohati, perempuan, ibu, adalah palung tradisi. Dia yang melahirkan dan menjalankan tradisi tersebut. Perkembangan zaman selalu membuat nilai-nilai luhur dalam tradisi terancam dan hilang, bahkan tradisi itu sendiri. Perempuan atau ibulah yang harus merawat dan menjaganya.
Perempuan-perempuan dalam PPI diharapkan berada di garda terdepan merawat tradisi, kembali kepada tradisi dan menuliskannya dalam puisi. “Upaya kecil menjalankan fungsi sebagai penerima warisan dan mewariskan kembali kepada anak-anaknya melalui jalan sastra ini semoga berarti bagi negeri tercinta, Indonesia,” kata Kunni.
Jalan pulang itu adalah jalan kembali ke tradisi, masuk ke dalam panorama kebudayaan yang berkembang di masing-masing suku dan daerah di Indonesia. PPI kali ini memilih Baduy pulang ke Baduy. Memiliki khasanah tradisi sendiri, yang membedakannya dengan kelompok masyarakat lain.
Tradisi, kata Poppy Savitri –pernah menjabat Direktur Tradisi Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, dan kemudian menjabat Direktur Edukasi Ekonomi Kreatif, Bekraf, pada 2017– didefinisikan sebagai kebiasaan turun-temurun dari kelompok/komunitas/masyarakat tertentu berdasarkan nilai budaya kelompok/komunitas/masyarakat bersangkutan. Tradisi memperlihatkan bagaimana pewarisnya bertingkah laku, berkarya, mencipta, mengekspresikan perasaannya, dan beberapa hal lain yang terkait dengan keutuhan pewarisnya. Dalam tradisi terdapat konvensi yang menjadi pedoman atau anutan. Pelanggaran terhadap konvensi berarti pelanggaran terhadap tradisi. Berani melanggar tradisi berarti berani melanggar ketentuan atau kepercayaan yang berlaku dan pelanggarnya akan mendapatkan sanksi sosial.
“Ajari Aku Baduy” itu artinya kita belajar merawat keseimbangan alam. Lihat dalam “Pesan Alam,” ditulis Agatha Putri Cahyaningsih . Bahwa Baduy hidup selaras dengan alam tanpa merusaknya. Memelihara hutan dan isinya, menjaga tradisi yang murni. Tanpa polusi. Berharap ini tetap abadi. Alam dirawat penuh kasih sayang. Selayaknya Agatha menyampaikan penghormatan dan terima kasih.
Ana Ratri juga mengesankan kemurnian alam Baduy , dalam “Tanah Itu Bernama Baduy,” Air mengalir sejuk melalui bambu, tanahnya harum oleh tumbuhan khas. Upacara Kawalu dan Seba sebagai bagian dari penghormatan terhadap alam dan leluhur, disiapkan dengan hati yang khusyuk. Tanah murni tidak tersentuh kepalsuan dan basa-basi.
Kawalu, upacara penyucian diri, membersihkan diri dari hawa nafsu. Mengharapkan rasa aman, damai dan Sejahtera. Upacara Seba, masyarakat Baduy turun gunung menuju pusat kota, bertemu pejabat negara, membawa hasil bumi. Ada Lagi upacara Ngalaksa, bersilaturahmi dengan kerabat dan tetangga, dengan membawa hasil panen dan membuat makanan laksa.
Pada sebagian kita, hidup tanpa teknologi adalah “bencana.” Semuanya macet. Dunia gelap gulita, tanpa internet, tanpa telepon dalam genggaman. Tapi tidak dengan Baduy. Mereka memiliki cara tersendiri tetap bahagia, selalu memiliki hiburan, serta senyuman dalam kehidupan sehari-hari. Mereka tetap punya cara tetap hidup tenang, meski tanpa teknologi, kata Asmariah Supriadi menyinggung “Tiada Arti Teknologi.”
Kecepatan dalam kehidupan mereka bukan berasal dari mesin atau teknologi, melainkan dari hati dan pikiran yang eling (selalu sadar) akan tradisi dan ajaran leluhur. Ini menggambarkan kehidupan yang lebih bermakna karena terhubung dengan spiritualitas dan kebijaksanaan leluhur.
Nilai Sejarah, spiritualitas dan budaya bisa dinikmati pada “Batik Simbut” karya Devie Komala Syahni. Setiap helai batik Simbut diciptakan penuh makna, merajut cerita dan meninggalkan jejak sejara. Menunjukkan bahwa batik Simbut bukan hanya kain biasa, tetapi memiliki nilai historis yang kuat. Batik Simbut, hasil tangan terampil Perempuan Baduy, menggunakan bahan-bahan alami; beras ketan, dan air gula, bercorak daun talas. Ini mencerminkan kearifan lokal dan keterampilan tradisional yang diwariskan secara turun-temurun.
Batik Simbut, berwarna sangat khas, biru dan hitam, konon simbol kedamaian semesta. Ini menunjukkan bagaimana setiap elemen dalam batik tersebut memiliki makna dan filosofi yang dalam, mewakili keharmonisan alam dan kehidupan. Pembuatan batik ini bukan hanya pekerjaan biasa, tetapi juga ritual spiritual yang melibatkan doa dan harapan untuk kehidupan yang baik. Batik Simbut adalah warisan budaya yang kaya akan makna sejarah, keterampilan, simbol kedamaian, dan doa.
Puisi “Pulang ke Baduy” oleh Geva lagi-lagi menegaskan kerinduan akan suasana damai, alami, dan tradisional di Baduy. Dilukiskan “seperti embun sejuk, pelangi di musim panas, dan gerimis yang turun di tengah hari. Ia juga merindukan suasana teduh di bawah pelepah bambu yang dianyam di atas huma.”
Elemen tradisional Baduy, seperti tongkat jengjeng, sarung biru dongker, dan gelang tolak bala juga menjadi titik perhatian, sebagai simbol-simbol budaya yang melindungi dan memperkaya kehidupan masyarakat. Mesin tenun yang riuh menggambarkan kesibukan masyarakat dalam menjalani kehidupan sehari-hari. “Pulang ke Baduy” adalah panggilan untuk kembali ke sesuatu yang berarti, walaupun itu hanya dapat diabadikan melalui mimpi.
Baca juga “Seba Baduy” karya Jauza Imani. //Jejak langkah tertinggal di jalan beraspal/Tanpa lengkung dan garis-garis sol Sepatu/Hanya telapak kaki yang berujar tentang kesetiaan/Dan peluh yang luruh penanda patuh: terimalah seba yang dibawa dari tradisi dan hati…//
Kita merasakan suasana upacara Seba sebagai tradisi yang kaya dengan nilai kesetiaan, kesederhanaan, dan penghormatan terhadap alam dan pemimpin. Interaksi budaya, estetika ritual, dan simbolisme yang kuat dalam masyarakat Baduy.
Ketulusan diwujudkan dalam bentuk fisik (tanpa sepatu) menandakan keselarasan antara identitas budaya dan ekspresi fisik. Langkah kaki ini bukan sekadar gerak, tetapi sebuah “tanda” yang mengkomunikasikan kesetiaan kepada tradisi, menunjukkan betapa nilai budaya meresap dalam tubuh dan tindakan masyarakat Baduy. Menanam dan memanen padi bukan sekadar kegiatan agraris, tetapi sebuah ritual yang penuh nilai spiritual. Padi simbol kehidupan dan keberkahan. Aktivitas ini dianggap bentuk seni yang hidup (living art) yang melibatkan ritme dan keteraturan dalam bercocok tanam. Kegiatan ini bukan hanya bertujuan praktis, tetapi juga merupakan ekspresi budaya yang sarat makna, di mana keindahan alam dan nilai kerja kolektif terpadu dalam sebuah praktik agraris.
“Ajari Aku Baduy” kata Kunni Masrohanti. Adalah ekspresi keinginan yang mendalam, untuk memahami, belajar, dan terhubung dengan filosofi hidup masyarakat Baduy. Ini bukan tentang pemahaman dasar atau sekadar pengetahuan simbolis (a, b, alif, ba), tetapi tentang koneksi yang lebih dalam yang tidak bisa diukur atau dijelaskan hanya dengan kata-kata. Meski tinggal di “rumah yang sama,” ada jarak batin yang memisahkan mereka. Baduy diibaratkan sebagai “hati yang rimba,” penuh kedalaman dan misteri.
Menyimpan kagum dengan kekuatan dan ketabahan masyarakat Baduy yang hidup dalam harmoni dengan alam, menapaki cadas tanpa alas, dan tetap teguh menjalani kehidupan. Ketulusan hati mereka dalam menjalani hidup sederhana, dan kita merasa malu, tidak cukup mampu memahaminya. Itulah alasan, agar diajari tentang misteri dan makna kehidupan Baduy yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata; bagaimana kehidupan mereka, seperti memintal kapas menjadi benang, menenun, dan melipat kain di pinggang kiri—semua simbol yang mencerminkan tradisi dan nilai-nilai mereka.
Jika terdengar lantang ungkapan “dijadikan Baduy,” adalah ekspresi keinginan untuk memiliki kebijaksanaan, kesederhanaan, dan kedamaian hidup yang dimiliki masyarakat Baduy.
Semangat ini direfleksikan Mita Katoyo dalam “Pulang ke Baduy.” kain ikat kubebat di kepala/ada kenang merajalela/meresap rindu tanah di sana//
Kain Ikat sebagai Simbol Identitas. Simbol keterikatan dengan budaya Baduy. Kain ikat ini bukan hanya aksesori, tapi lambang identitas dan kenangan yang melekat erat dengan tanah kelahiran atau budaya yang dicintai. Kenangan akan tanah Baduy sangat kuat dan mendalam, hingga menguasai perasaan. Merasa dekat meski secara fisik mungkin jauh dari tanah tersebut.
Selanjutnya puisi Nia Kurnia “Cerita Alis”…//Suatu hari, seorang gadis Baduy bercerita/menjelaskan apa yang ia lihat dan rasa//Seorang ibu menciumi gadis kecil/bernama Alis itu, lalu ia meminta ibu menulis angka/pada selembar kertas untuk ia catat dalam gawainya/untuk mengabari suatu hari nanti.//Sebelum pergi, sang ibu menciumi/kening Alis dan menangisi/lalu menitipkan sebuah topi.
Alis adalah simbol dari perpaduan antara keinginan untuk maju dan menghargai budaya asal, serta keinginan untuk berbagi kisah dan inspirasi dengan orang lain.
Sosok Alis juga inspirasi bagi Resti Nurfaidah dalam “Nyanyian Alis.” Gadis yang hidup di lingkungan alam dan tradisi, dengan segala kelincahan dan keceriaannya. Perbukitan, rerimbunan, dan jembatan tua, menunjukkan suasana yang alami dan tradisional. Taman di tengah alam, tampaknya menjadi latar kehidupan Alis. Peri lincah dan ceria, raut wajah cantik alami, dengan lengkung pelangi di dahi dan tulang pipi yang tinggi.
Masih tentang agdis Baduy yang menenun dalam “Kain Tenun Yang Memikat” karya P Nuraeni: Seorang gadis sibuk menenun/Kain dirajut dalam alat yang sederhana/Satu kain cukuplah seminggu/Menunggu hasil untuk jadi rupiah//Dalam kain tenun itu/Kulihat aura cantik sang penenun/Kulihat kesabaran memintal waktu/Kulihat tangan terampil berukir seni//…
Proses pembuatan kain tenun, dilakukan seorang gadis, penuh ketekunan. Memantul kecantikan dan kesabaran sang penenun. Ini bukan sekadar pekerjaan, tetapi juga seni yang membutuhkan keterampilan dan penuh kesabaran.
Rini Intama dalam “Seribu Bintang Langit Kanekes” mengantarkan kita //Dalam pelukan tanah adat yang luhur/Menyingkapkan rahasia berjuta tahun silam/Dongeng dan mitos berdiam dalam kepala kita/Mengunyah semua pesan kebijaksanaan/Dalam napas hidup yang Sahaja//Teranglah langit kanekes/Seribu bintang mengelupasi kegelapan/Menyatukan doa bumi/Dan harapan yang tak pernah kering//Di sini kita mengunjungi kisah peradaban//.
Menyiratkan nilai-nilai luhur diwariskan leluhur di tanah Kanekes. Tanah ini menyimpan rahasia dan kebijaksanaan dari berjuta tahun silam yang diwujudkan dalam bentuk dongeng, mitos, dan pesan-pesan bijak yang ditanamkan dalam kehidupan masyarakatnya. Juga cermin cara hidup sederhana dan bersahaja,khas masyarakat adat Kanekes.
Kanekes bukan sekadar wilayah adat, tetapi juga sebuah peradaban yang kaya dengan cerita, kebijaksanaan, dan warisan budaya yang sangat berharga.
Lalu kekuatan dan ketabahan memancar dari “Kaki Kecil Kokoh” milik Teti Marlina.//Jalan dihadapanku/naik, turun, naik lagi, turun lagi/kaki kokoh itu berjalan santai/tegap beban di pundak tak menyulitkan//mata itu bercahaya pancarannya/menjadi rasa yang/ tak akan lupa//Kaki kaki berjalan menapaki/jalan setapak/takjub akan indahnya tanah ini//kampung yang tenang/sampai kapan//.
Ya, sampai kapan? Kekuatan batin dalam menghadapi tantangan hidup, menghargai keindahan dan ketenangan alam, berapa lama akan bertahan. Mengingat perubahan begitu deras, di luar.
Ulandari Fitri, datang dari Gayo berkasih dengan gadis Baduy, dalam “Beru Gayo Berkasih Gadis Baduy.”…//Seperti batu asah tak sekalipun bersuara/Pada ketajaman pedang/Seperti langkah tak sekalipun bersuara/Pada langkah kaki untuk pulang//…
Menyimpan kekaguman pada gadis Baduy; romantis, senyuman merona, rambut panjang, dan tutur kata lembut. Membuat terpesona, meskipun hanya dari kejauhan. “Buah tangan yang kutitipkan” menunjukkan pemberian kenang-kenangan, simbol perasaan yang ingin ditinggalkan atau dirasakan meskipun terpisah.
“Takdir Badui” karya Veronika Sri Wahyuningsih, diletakkan di bagian akhir “Ajari Aku Baduy,” menawarkan perspektif mendalam tentang hubungan erat antara masyarakat Badui dengan alam, tradisi, dan ritual mereka, yang tercermin melalui aktivitas sehari-hari, seni pertunjukan, serta ritus agraris. Dari perspektif antropologi seni, puisi ini mengungkapkan nilai-nilai budaya Badui yang dihidupi dalam praktik artistik dan ritual kolektif.
Bulan perak mengintai dari sela-sela dahan pohon durian, membiaskan/bayangan burung kangkok yang bertengger, menunggu /laron yang/terbang tersesat hilang dari kawanan/Tak terusik oleh celoteh bocah-bocah Badui yang bermain engklek/di pelataran/Perempuan Badui saling berbincang, usai seharian menenun//…
Malam makin kelam, tak terdengar lagi riuh bocah, berganti lantunan/pantun diiringi angklung dari tetua yang berjaga hingga menjelang pagi/Mereka akan menari ngalage esok hari, penanda huma akan menjalankan tuahnya/Ratusan lelaki Badui bersiap dengan tombak kayu atau bilah bambu/Seperti barisan malaikat yang menabur kebaikan, mereka menebar/bibit padi dan rempah di tanah leluhur yang subur Makmur//Menanti tak harus terdiam, teramat banyak yang mesti dilakukan/Merawat bulir padi titipan Dewi Sri di rahim bumi, hingga bertunas/dan menunggu takdir singgah di leuit beratap daun sagu kirai, saat/musim panen padi//Membiarkan tanah yang usai melahirkan kehidupan, lelap di bilik peristirahatan//.
Badui menyatu dengan ritme alam. Bayangan burung kangkok dan aktivitas laron menandai bahwa alam dipandang sebagai bagian integral kehidupan. Bentuk estetika lingkungan, di mana masyarakat Badui tidak hanya tinggal di alam tetapi juga memahami dan menghayati tanda-tanda alam sebagai bagian dari kebudayaan mereka.
Bermain engklek oleh anak-anak dan perempuan yang berbincang setelah menenun adalah contoh bagaimana seni dan budaya mengalir dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Badui. Ini ekspresi sosial yang membangun identitas bersama. Lantunan pantun yang diiringi angklung oleh tetua hingga dini hari menciptakan ruang estetika mendalam, di mana musik tradisional (angklung) dan sastra lisan (pantun) menjadi sarana mempertahankan memori kolektif dan nilai-nilai luhur.
Tarian Ritual Ngalage, merayakan keberkahan lahan, sarat makna. Tarian ini tidak hanya hiburan, tetapi untuk menegaskan hubungan harmonis dengan tanah leluhur. Menghubungkan para peserta dengan dunia spiritual dan alam. Menjadi bagian dari sistem kepercayaan, di mana manusia berinteraksi dengan tanah untuk keberkahan.
“Para lelaki yang menebar bibit dan rempah di tanah leluhur” adalah gambaran bagaimana aktivitas agraris di Badui dianggap sakral. Penanaman padi yang dianggap sebagai titisan Dewi Sri menunjukkan penghormatan mereka terhadap dewi kesuburan. Proses menanam dan memanen padi memiliki dimensi artistik dan ritualistik, dimana setiap tahapan bercocok tanam dihormati sebagai tindakan yang mengundang berkah.
Puisi itu disudahi dengan “usai melahirkan kehidupan” dan dibiarkan lelap, adalah waktunya istirahat. Sebab tanah harus menjaga kesuburannya,
“Ajari Aku Baduy” dari perspektif antropologi seni mengungkapkan bagaimana seni, ritual, dan kepercayaan masyarakat Badui membentuk struktur sosial dan spiritual mereka. Setiap elemen, mulai dari alam, permainan anak, musik, tarian, hingga pertanian—menunjukkan bagaimana keindahan dan spiritualitas terjalin erat dalam kehidupan masyarakat Badui, menciptakan harmoni yang penuh makna dengan alam dan leluhur mereka.
Seni tidak hanya dilihat sebagai hasil estetika, tetapi juga sebagai ekspresi dari nilai-nilai, norma, identitas, dan relasi sosial yang ada dalam masyarakat. Antropologi seni juga menelaah bagaimana seni berfungsi dalam proses komunikasi simbolik, mempertahankan tradisi, dan kadang menjadi sarana untuk perubahan sosial. Para pemilik Rahim meneguhkan semua itu, menemukan jalan pulang; tradisi. Berguru kepada Baduy, “Ajari Aku Baduy.” Kelak dari Rahim itu lahir kehidupan baru. Begitulah puisi.[]
*) Disampaikan dalam diskusi buku “Ajari Aku Baduy” di Lantai 14 Dewan Kesenian Jakarta, TIM, Minggu, 10 November 2024.