PojokTIM – Peran antagonis dan protagonis dalam kehidupan sehari-hari tidak hitam-putih seperti pada naskah drama atau novel. Peran bisa saja berganti, tergantung kondisi dan situasi yang melingkupi, bahkan tanpa mengubah karakter para pelakunya. Seperti David Karo-Karo yang sering dipersepsikan antagonis oleh sebagian temannya, namun pada lingkup lainnya justru dianggap protagonis.

“Mungkin orang melihat aku sebagai sosok yang arogan, biarkan saja. Aku tidak ingin mengubah karakterku hanya untuk menyenangkan orang lain,” ujar David, dalam satu kesempatan di ujung Maret 2025.

Berbincang di area kantin Gedung Trisno Soemardjo kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM) yang telah sepi, David Karo-Karo menjelaskan banyak hal. Bukan hanya terkait sikapnya yang dianggap “keras” oleh sebagian seniman, juga tentang pentingnya kolaborasi antarseniman.

“Kolaborasi antarseniman, dalam konteks ruang pekerja seni, sangat penting. Sejago apa pun seniman, kalau tidak ada yang membantu, tidak akan jadi apa-apa,” ujar David yang juga Sekjen Masyarakat Penggiat Seni Indonesia (MPSI).

Berikut ringkasan perbincangan PojokTIM dengan David Karo-Karo yang dilakukan dalam beberapa kesempatan.

Anda masih sibuk berkarya?

Kesibukanku banyak. Sebagai manusia kita harus terus sibuk. Ketika sibuk, pikiran kita positif. Seniman harus sibuk berkarya dalam kondisi apa pun. Harus bisa mementaskan jika itu seni pertunjukan, harus bisa menerbitkan jika itu karya tulis, atau memamerkan jika itu seni rupa. Jangan sibuk ngurusin orang lain, atau berbicara hal-hal yang tidak produktif.

Apa yang Anda pahami tentang pekerja seni?

Pekerja seni itu cakupannya luas. Orang yang terlibat di dalam seluruh kegiatan kesenian, dari tukang kabel, tukang sampah, tukang listrik, sampai mereka yang menyiapkan panggung dan merapikan bangku, adalah pekerja seni. Sedang seniman hanyalah oknum, manusianya. Oleh karenanya, berbicara tentang seniman, sebatas mereka yang berkarya. Tetapi dalam berbuat, bekerja dan berkarya, seniman tentu melibatkan seluruh elemen di dalamnya.

Ambil contoh penyair. Saat menulis puisi, bisa dilakukan sendiri. Tetapi ketika hendak dibacakan di atas panggung, tentu membutuhkan bantuan pihak lain. Demikian juga ketika hendak diterbitkan menjadi buku, ada juga melibatkan orang lain.

Konteksnya sebatas kolaborasi atau seniman memang memiliki tanggungjawab untuk pemberdayaan pekerja seni?

Dua-duanya. Kesenian harus berkolaborasi.  Dan sebagai pribadi, seniman juga punya tanggungjawab itu. Misalnya, aku berangkat dari keaktoran. Aku tertantang untuk menciptakan ruang keaktoran agar bisa berkolaborasi dengan seni-seni lainnya. Contohnya dengan seni rupa seperti yang aku tampilkan di Tugu Tekad, Gelanggang Senen, Jakarta Pusat, kemarin. Aku bicara tentang teater tetapi dengan cakupan seni rupa, sebagai warna kritik. Kita tidak perlu lagi berteriak, tetapi cukup melalui warna. Teater lebih berekspresi, tapi warna yang bicara melalui seni rupa. Misalnya marah digambarkan dengan warna merah. Demikian juga dalam seni tari, marah diekspresikan seperti apa sehingga kesenian menjadi kaya.

Monolog Negeri Acakadut dibawakan oleh David Karo-Karo pada acara yang digelar MPSI.

Untuk kegiatan pementasan teater, apakah memungkinkan?

Kalau konteksnya mungkin atau tidak mungkin, tidak perlu dijawab karena seniman harus bisa membuat semua hal menjadi mungkin. Harus kreatif. Itu sebabnya aku tidak mau mengajak orang terlibat dalam kesenian, atau turut berkesenian. Sebab kesenian itu panggilan, bukan ajakan. Kesenian lahir dari kegelisahan, renungan. Soal besar-kecil, bagus-tidak, itu relatif. Semua orang punya ukuran, punya perspektif masing-masing.

Apa yang ingin disampaikan dari monolog berjudul Anjing, Tuan dan Pecundang yang Anda bawakan di Teater Luwes Institut Kesenian Jakarta beberapa waktu lalu?

Itu hasil perenunganku selama 5 tahun. Aku merasa, seniman (telah) kehilangan identitas, kehilangan sikap, nilai-nilai  dan martabat sebagai seniman. Seniman tidak lagi berpihak kepada gerakan-gerakan perlawanan. Padahal perlawanan dalam konteks yang luas, termasuk kepada senior, adalah jiwa seniman.

Kalau sekedar ingin menyelamatkan diri sendiri, jangan mewakili seniman. Sebab seniman mestinya tidak berpikir untuk menyelamatkan periuknya sendiri, komunitasnya sendiri, teaternya sendiri. Tetapi turut juga menyelamatkan seni rupa, menyelamatkan tari, film dan kesenian lain.

Bagaimana Anda melihat TIM saat ini?

Aku sering gelisah ketika melihat seniman-seniman muda, khususnya teater, yang sedang berproses, sedang berlatih di TIM, mendapat teguran dari pihak-pihak yang tidak paham kesenian. Para seniman akhirnya takut menggunakan TIM. Itu terbalik. Seharusnya seniman yang menegur pihak yang melarang mereka berkegiatan seni di TIM. Seniman harus melawan, dalam pengertian positif. Ingat, TIM adalah pusat kesenian, tempatnya seniman berproses, berkarya.

Mirisnya, lembaga-lembaga seperti Akademi Jakarta, kurang melakukan tindakan konkret untuk menyelamatkan TIM. Demikian juga DKJ (Dewan Kesenian Jakarta). Padahal mereka wakil para seniman yang diangkat dengan SK Gubernur. Mestinya mereka bisa mengakomodir apa yang menjadi kegelisahan seniman, dan menyampaikannya kepada gubernur. Aku belum melihat hal itu dilakukan oleh mereka secara maksimal.

Bagaimana dengan aturan agar tertib?

Ruang kesenian tidak bisa diatur. Biarkan para seniman berekpresi sebab mood orang berbeda-beda. Saya tidak setuju adanya gedung-gedung tertutup di ruang kesenian. Sebab ruang kesenian haruslah terbuka. Sementara penguasa cenderung tertutup, sehingga tidak akan pernah ketemu dan akhirnya pasti benturan.

Artinya sekarang TIM  tidak lagi menjadi ruang ekspresi yang representatif bagi seniman?  

Tanpa disadari, seniman mulai dikanalisasi, dilokalisir. Dengan memakai orang-orang yang DNA-nya bukan seniman (untuk mengelola TIM), maka kenyamanan TIM sebagai ruang ekspresi makin berkurang. Sejarah TIM dihancurkan, hingga akhirnya TIM sebatas menjadi tempat bisnis, tempat orang jualan. (Jika dibiarkan) lama-lama menjadi mall, bukan lagi tempat berekspresi bagi seniman, apalagi pusat kesenian.

Ini yang harus kita suarakan. Sebab sampai kapan pun TIM harus tetap menjadi ruang kesenian.Tapi bagaimana situasi ini bisa memantik aksi gerakan dari seniman yang ada di dalamnya, itu yang perlu kita rumuskan bersama. Apa yang menjadi hak seniman, harus tetap disuarakan. Seniman harus satu frekuensi dalam menyikapi hal-hal yang prinsip dalam berkesenian.

Apakah seniman perlu melakukan gerakan nyata untuk mengembalikan TIM hanya sebagai pusat kesenian?

Iya dong. Gerakan bukan berarti harus bentrok (secara fisik). Dulu aku melakukan perlawanan melalui karya. Kalau sedang gelisah, aku mengekspresikannya melalui karya. Mau dilarang atau tidak terserah, ini rumah gue. Misalnya aku lihat ada tembok pagar yang tidak tepat berada di ruang kesenian, maka aku “main” di situ, buat artprint. Ketika dilarang, aku akan melakukan perlawanan karena tidak ada dasarnya (melarang ekspresi seni di ruang kesenian). Jika bicara aturan, maka mestinya aturan dibuat bukan untuk mengekang, secara kaku, tetapi mengakomodir semua entitas yang ada di dalamnya.

Satu hal yang Jakpro (PT Jakarta Propertindo, red) lupa, ketika mereka datang, TIM bukan lahan kosong. Lahan ini sudah menjadi ruang berkesenian sejak zaman Pak Ali Sadikin (Gubernur DKI Jakarta 1966-1977, red). Jadi jangan dibalik-balik.

Sikap Anda yang meledak-ledak, sering disalah-pahami orang. Bagaimana Anda menyikapinya?

Bagiku, marah boleh, berteriak (juga) boleh, untuk menunjukkan apa yang menjadi sikap dan cita-cita seniman. Kalau tidak suka, ya aku ungkapkan ketidaksukaanku. Tidak bicara di belakang. Mungkin karena hal itu, orang melihatku sebagai sosok yang arogan. Biarkan saja.

Aku selalu berpatokkan pada ucapan Tan Malaka, tokoh yang gigih dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan menentang kolonialisme, bahwa, “Kita tidak boleh kompromi dengan maling, kita tidak boleh berunding dengan penjahat, kita harus melawan mereka dengan gigih.”

Ucapan itu mencerminkan semangat perjuangan Tan Malaka dan komitmennya untuk melawan penindasan dan ketidakadilan.

Jika kita selalu mengalah, kompromi, atau bahkan meninggalkan TIM, maka nanti seperti dikatakan Bang Tardji (Sutardji Calzoum Bachri); akan banyak investor masuk. Pada akhirnya mereka yang menjadi penghuninya, sementara seniman menjadi gelandangan di rumah sendiri.

Apakah akan sejauh itu?

Ini semua by design. Ada kekuatan global yang ingin menghancurkan keseniann kita, menghancurkan TIM sebagai tempat berprosesnya seniman. Mencegah lahirnya seniman besar seperti dulu.
Kita harus jujur, TIM telah melahirkan orang-orang besar yang mampu mengubah perjalanan Indonesia khususnya di bidang seni dan kebudayaan. Oleh karenanya, kembalikan TIM seperti dulu karena kita tidak butuh ruang-ruang mewah, gedung tinggi. Kita hanya butuh tempat yang dapat mengakomodir kegelisahan seniman.

Tetapi gedung-gedung ini sudah terlanjur ada?

Secara fisik gedung ini sudah ada dan tidak mungkin kita hancurkan. Namun masih ada yang dapat kita jadikan sebagai ruang kreasi yang nyaman. Hal itu tergantung pada peran senimannya. Jangan kalau kita bersuara lantang dianggap tidak mau menerima keadaan saat ini. Sebagai seniman yang berada di rumah yang sama, kita tidak bisa diam saja saat ada kamar lain dirusak oleh orang luar. Itu bentuk tanggung jawab kita sebagai seniman.

Bagaimana dengan rencana pembangunan ruang ekspresi di lahan bekas posko #saveTIM?

Itu memang tuntutan kita. Hanya itu yang masih tersisa. Aku berharap, ruang ekspresi benar-benar menjadi ruang milik seniman untuk berakspresi  tanpa dibelenggu aturan yang ketat.

Apa yang paling Anda rindukan dari TIM?

Aura berkeseniannya, rembugnya, kumpul-kumpul sambil membicarakan kesenian. Saat ini suasana berkeseniannya sudah hilang. Itu yang aku rindukan.

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini