PojokTIM – Di tengah denyut Ibu Kota yang terus berubah, Giyanto Subagio mencuat sebagai penyair yang membangun reputasinya dari jalanan ke panggung sastra nasional. Ia bukan datang dari universitas atau lembaga sastra ternama, melainkan dari ruang-ruang pinggiran – trotoar Pasar Senen, terminal, stasiun kereta, taman-taman kota, dan warung kopi.  Dari sanalah puisi-puisi Giyanto Subagio diberi nyawa.

“Saya belajar menangkap denyut kehidupan rakyat dari bawah,” kata Giyanto Subagio, akhir pekan lalu.

Giyanto Subagio dan lebih akrab dipanggil Edo, lahir di Kampung Mangga Dua, Jakarta Pusat dengan latar budaya Betawi, Jawa, Sunda, dan China. Melalui akulturasi budaya yang dijumpai setiap saat, puisi-puisi Edo lahir sejak awal 1990-an dan turut menghiasi berbagai media massa, serta telah dibukukan dalam antologi tunggal Kasidah Bayang-Bayang (2016). Puisinya juga terpilih dalam puluhan antologi puisi bersama, di antaranya Trotoar (1996), Antologi Puisi Indonesia (1997), Nuansa Tata Warna Batin (2002), Malam Bulan (2002), dan Bisikan Kata Teriakan Kota (2003).

Puisinya yang berjudul  Ode Perkampungan Nelayan terpilih menjadi Juara II Lomba Cipta Puisi Hari Nusantara (2000). Puisi lainnya, Aphrodite masuk nominasi 50 Lomba Cipta Puisi Bentara Budaya Bali. Puisinya juga masuk 100 puisi terbaik Lomba Cipta Puisi Al Qur’an.

Edo bergabung dengan sejumlah komunitas sastra seperti Komunitas Planet Senen, Masyarakat Sastra Jakarta, Kebun Ilalang dan Masyarakat Kesenian Jakarta. Namanya termuat dalam Kamus Pintar Sastra Indonesia, Ensiklopedia Sastra Modern Indonesia, Leksikon Sastra Jakarta, serta Apa & Siapa Penyair Indonesia.

Dari Senen, Edo kemudian banyak melanjutkan kegiatan di Taman Ismail Marzuki, Cikini Jakarta. Namun demikian, perpindahan ruang kreatif dan pergaulan, tidak membuat puisinya berubah arah. Edo justru membawa semangat dan denyut nafas rakyat kecil ke tengah diskursus intelektual di ruang yang lebih besar.

“Saya tidak ingin tercerabut dari tanah tempat saya tumbuh. Di TIM, saya bukan berubah, tapi menegaskan pijakan,” tegas Edo.

Berikut rangkuman wawancara PojokTIM dengan Giyanto Subagio yang puisi-puisinya banyak dibacakan di ruang terbuka, di atas kendaraan umum dan di tengah pasar.

Sejak kapan Anda aktif di komunitas Planet Senen?  

Saya belajar menulis dari lingkungan terdekat. Dari persoalan-persoalan yang hadir di sekitar saya. Setelah itu saya berusaha mencari komunitas untuk memperluas pergaulan. Namun saat itu terkendala jarak. Ada komunitas sastra tapi sekretariatnya di Tangerang, sementara saya tinggal di Jakarta Pusat. Akhirnya saya bergabung dengan komunitas Planet Senen. Itu pun termasuk tersesat karena  maksud hati ingin mencari komunitas sastra, ketemunya sanggar teater. Planet Senen adalah sebuah komunitas seni yang berpusat di Gelanggang Remaja Planet Senen, Jakarta Pusat.

Kami sering menggelar acara-acara seni, seperti pembacaan dan musikalisasi puisi, serta pentas seni untuk berbagai tujuan, termasuk penggalangan dana bagi korban bencana alam. Salah satunya ketika kami pentas seni untuk menggalang dana bagi korban bencana Merapi dan Mentawai. Dan setiap tanggal 28 April, Komunitas Planet Senen juga menggelar acara pembacaan dan musikalisasi puisi karya Chairil Anwar serta ziarah ke makamnya.

Saya mengalami pergaulan intelektual di Gelanggang Remaja Planet Senen. Jujur saja, karena sering diskusi sambil ngopi sama Aspur Azhar, pemikiran dan ideologi kesenian saya akhirnya sangat dipengaruhi oleh beliau. Namun saya tetap mencari wilayah pengucapan yang baru,  yaitu idiom dan metafora dengan tema sosial, religius dan profetik.

Bisa ceritakan tentang komunitas Seniman Senen?

Di kawasan Senen juga ada perkumpulan Seniman Senen yakni komunitas akar rumput yang menjadi rumah bagi para seniman, baik teater, sastra, penyair urban, pelukis jalanan, pengamen dan anak-anak gelandangan. Ada nama-nama besar yang tercatat pernah menjadi bagian dari Seniman Senen seperti Chairil Anwar, Asrul Sani, Harmoko, dan Misbach Yusa Biran. Saya menjadi bagian dari kelompok Seniman Senen generasi terkini bersama Aspur Azhar, Acep S. Martin, Imam Ma’arif, Aswin Sopyan , Tio Samudra, dan lainnya.

Pada 28 April 2008, Seniman Senen menggelar acara Lampion Sastra bekerja sama Dewan Kesenian Jakarta di Gelanggang Remaja Senen. Kami mendirikan panggung terbuka di depan Patung Tekad Merdeka yang dihadiri Harmoko, Misbach Yusa Biran, Deddy Mizwar, Gerson Poyk, Nani Wijaya, Toga Tambunan, dan pelukis Amrus Natalsya dan bahkan beberapa seniman Lekra yang secara politik pernah berseberangan.

Nah, pada malam itu, dikukuhkan Komunitas Planet Senen (KoPS)   bertepatan dengan hari kematian Chairil Anwar. Komunitas Planet Senen digagas oleh Irmansyah, Imam Ma’arif, Widodo Arumdono, Ahmad Sekhu, Ipoer Wangsa dan saya.

Anda juga turut mendirikan Sanggar Sastra Mentaya Estetika?

Bersama Aspur Azhar, Imam Ma’arif serta Aswin Sopyan, saya terlibat aktif mendirikan Sanggar Sastra Mentaya Estetika Jakarta. Mentaya  Estetika pernah menjadi grup teater terbaik di wilayah Jakarta Pusat dalam Festival Teater Jakarta. Saat itu Mentaya Estetika membawakan naskah Malam Jahanam karya Motinggo Busye dengan sutradara Aditio Samudra.

Mentaya Estetika juga pernah pentas teatrikal puisi Nyanyian Iblis karya Aspur Azhar yang diambil dari buku Syair-syair Taman Araf. Kami pentas keliling di beberapa sanggar, lembaga kesenian, dan beberapa kampus seperti Universitas Indonesia, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Krisnadwipayana Jakarta Timur, serta PDS HB Jassin dan Oncor Studio milik aktor Ray Sahetapy.

Setelah itu Anda mulai masuk ke TIM?

Sebenarnya sejak pertengahan 90-an saya sudah sering hadir di TIM dalam acara-acara peluncuran buku sastra, baik puisi, cerpen maupun novel. Termasuk saat peluncuran buku antologi Puisi Indonesia 1997 di PDS HB Jassin. Barulah pada awal tahun 2000-an, saya aktif di berbagai kegiatan di TIM. Menjalin relasi dengan banyak penyair dan seniman dari berbagai latar belakang, seperti Endo Senggono (Kepala  PDS HB Jassin saat itu), Slamet Rahardjo Rais (Ketua Komunitas Masyarakat Sastra Jakarta), Agus Jolly (pelukis dan seniman performance) dan lainnya.

Namun Anda mengalami transformasi dalam tema, dari sosial ke sufistik?

Ada yang bilang begitu. Katanya saya penyair yang menapaki jalan sunyi, jalan spiritualitas. Sebagai perenung yang mencari makna dalam bayang-bayang terang Ilahi. Namun sebenarnya, keduanya, antara tema sosial dan sufistik, berjalan seiring dalam puisi-puisi saya.

Di era 80 sampai 90-an kita mengenal banyak penyair jalanan, proletar. Namun saat ini banyak penyair yang tampil flamboyan. Menurut Anda apa penyebabnya?

Situasi dan kondisinya yang berbeda. Dulu penyair jalanan punya tempat. Bahkan di awal tahun 1990, Dewan Kesenian Jakarta meluncurkan buku kumpul puisi para penyair jalanan, yang biasa mengamen di bus kota dan kereta api. Mereka diberi panggung dan karyanya dibukukan. Mereka juga punya tokoh seperti Abi Nusantara, Ketua Komunitas WC Umum, dan Dodi Miller. Keduanya menghidupi jalan raya dengan puisi.

Sekarang tidak memungkinkan lagi. Kebijakan pemerintah untuk membersihkan jalanan dari pengamen, berimbas kepada komunitas penyair jalanan. Tidak tahu bagaimana kondisi di daerah, tetapi di Jakarta sudah tidak ada penyair jalanan. Padahal, penyair jalanan bukan (sekedar) mencari uang dari membaca puisi. Ada yang ingin disuarakan, seperti kritik sosial yang tidak dapat dipublikasikan melalui media massa saat itu.

Oleh karenanya, kehadiran media sosial juga turut menggerus eksistensi penyair jalanan. Sebab kritik yang ingin mereka sampaikan, bisa di-publish di medsos yang memiliki jangkaun audiens lebih luas.

Anda cukup mengenal banyak penyair tanah air, bagaimana awalnya?

Itu hasil pergaulan. Dulu Senen menjadi pusat para seniman, lalu pindah ke TIM. Nah, kebetulan saya berada dan berkegiatan di 2 tempat itu sehingga sering bertemu dengan para seniman, baik yang di Jakarta maupun dari daerah.

Waktu itu greget komunitas masih kuat, meski swadaya. Sehingga pertemuan penyair dan sastrawan sering diadakan. Termasuk ketika Komunitas Sastra Indonesia mengadakan even pengadilan puisi dengan terdakwa karya Wowo Hesti Prabowo, lokomotif gerakan penyair buruh.

Apakah pengadilan puisi masih relevan untuk saat ini?

Masih perlu, sebagai kajian dan pertanggungjawaban penyair atas karyanya. Itu sebenarnya isu yang sangat seksi tetapi sudah jarang dilakukan karena sekarang orang enggan berpolemik. Ketika kita punya pemikiran berbeda, tafsir berbeda terhadaap puisi tertentu, lantas dikaitkan dengan hal-hal di luar puisi. Dulu antar komunitas juga saling bersaing, namun bersaing dalam menawarkan wacana dan isu-isu kesenian. Sekaraang adem ayem saja.

Perlu ada isu-isu besar untuk membangkit ghirah penyair?

Harus, karena saat ini kita kelebihan penyair tapi minim kritikus. Banyak buku puisi yang terbit, namun setelah launching tidak dibicarakan lagi. Selesai begitu saja.

Apa perbedaan komunitas 90-an dengan sekarang?

Komunitas 90-an masih punya ideologi, walaupun terbatas secara finansial. Sekarang berbeda. Generasi sekarang lebih gampang mencari komunitas sastra, salah satunya lewat media sosial. Persoalannya, tidak semua komunitas sastra memiliki ideologi, dan mau memperjuangan isu-isu yang diusung. Mereka lebih sibuk menggelar kegiatan-kegiatan yang sifatnya sekedar ada, sekedar tampil.

Puisi-puisi perlawanan, apakah juga masih perlu?

Puisi lahir dari kegelisahan seniman, penciptanya. Jadi situasi di sekitarnya turut berpengaruh terhadap lahir karya seseorang. Kondisi sekarang berbeda dengan era Orde Baru. Narasi yang bertebaran diproduksi oleh kelompok-kelompok kepentingan, sehingga tidak bisa melahirkan isu tunggal sebagai pengikat perlawanan. Yang ada malah saling serang di antara kita karena sudah disusupi kepentingan dari luar kesenian. Kita butuh Wiji Thukul yang puisinya mampu menjadi pengikat gerakan reformasi dengan satu kata: lawan!

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini