PojokTIM – Raut wajah Mahwi Air Tawar mendadak sumringah. Sambil tak henti menawarkan makanan kecil yang diinginkan PojokTIM, tangannya sigap mengaduk teh manis. Terik siang dan rasa lelah setelah menempuh perjalanan di atas motor selama 1,5 jam untuk menuju kedai kopi “Adakopi” di Jalan Terusan H. Nawi Malik No. 27 Serua Depok, terbayar lunas.

“Saya lihat di foto, Mbak Na terlihat judes,” ujar Mahwi kepada PojokTIM, Senin (5/5/2024). Tawanya meledak. Gaya bicaranya ceplas-ceplos dengan dialek khas Madura.

Keramahan tuan rumah langsung menghilang jarak. Obrolan hangat mengalir tanpa henti.

“Tidak pantas anak nelayan memegang pensil dan buku. Barang ini hanya elok digunakan oleh para pejabat elit desa dan keluarganya,” ujar Mahwi mengulang omongan yang pernah didengar saat kecil, ketika PojokTIM menanyakan hal apa yang paling membekas dan menjadi salah satu motivasinya dalam menulis.

Bukan hanya “bisa” memegang pensil dan buku, Mahwi bahkan berhasil menjadi redaktur Majalah Sastra Horison, majalah tempat tempat “orang-orang menulis”.

Berikut petikan wawancaranya.

Apakah pengalaman masa kecil daerah pesisir Sumenep, mempengaruhi karya-karya Anda? 

Pengaruh di masa kecil sangat kuat terhadap ide-ide dan karya-karya saya. Di daerah saya, di kampung pesisir, sastra – terutama sastra lisan- nyaris setiap hari kita dengar. Ditambah lagi, saya di lingkungan pesantren, di mana syair-syair Arab, setiap hari kita simak, setiap hari kita senandungkan. Itulah yang kemudian mempengaruhi saya secara tidak langsung.

Puisi pertama saya tulis sewaktu Kelas II di MTS. Sebetulnya di pesantren dilarang menulis itu, tapi saya melakukannya. Padahal saya tidak punya alasan melakukan itu. Tapi saya senang sekali ketika bisa menyampaikan apa yang terbesit di benak. Terlebih antara tahun 1998-1999, selama kurang lebih 6 bulan, Madura mengalami peristiwa besar yang begitu kuat menghantui pikiran saya, dan  hanya bisa saya sampaikan lewat tulisan.

Bagaimana Anda mengatasi tantangan dari lingkungan? Apa itu mempengaruhi karya-karya Anda?

Kita (yang) menciptakan ruang. Kita tidak bisa bergantung pada sesuatu di luar diri kita, terutama lingkungan. Walaupun lingkungan sangat mempengaruhi, tapi yang lebih penting adalah bagaimana kita mempengaruhi lingkungan. Bagaimana kita berperan di dalam lingkungan.

Taruhlah misalkan saat ini saya di Adakopi di lingkungan ini, tantangannya sangat berat untuk kegiatan literasi. Mereka merasa privasinya terganggu, terlebih ketika saya mulai mengenalkan puisi-puisi saya. Tetapi kalau menyerah, maka mungkin saya tidak berkarya lagi.

Akhirnya saya mencoba ikut terlibat dalam aktivitas di lingkungan dengan teman-teman di luar dunia kepenulisan. Saya membuka diri selebar lebarnya untuk mereka.Tidak membatasi diri bergaul dengan siapa pun karena semuanya bagi saya adalah sumber inspirasi. Maka tidak ada alasan bagi saya, untuk merasa terganggu dengan lingkungan di mana saya berada.

Sebaliknya, secara perlahan saya lantas mengajak mereka masuk ke lingkungan saya penulis. Menciptakan ruang-ruang diskusi, perpustakaan, sehingga akhirnya orang-orang di lingkungan saya mendukung kegiatan saya sebagai penulis.

Obrolan santai Erna Winarsih Wiyono dari PojokTIM dengan Mahwi Air Tawar. Foto: Ist

Bagaimana kehidupan di pesantren mempengaruhi proses kepenulisan Anda dan pencapaian lainnya?

Peran pesantren dalam membentuk karakter dan proses kreativitas saya sangat besar. Materi pengajaran dan dinamika yang ada di pesantren mempengaruhi saya. Sebagai santri, sejak awal saya diajari tata bahasa, menghafal bacaan lewat sorogan, lewat lirik lagu.  Literatur-literatur juga bisa diakses dan dibaca, terutama literatur-literatur klasik dari Timur Tengah.

Pada akhirnya, di pesantren saya jatuh cinta dengan puisi. Dengan segala macam dinamikanya, termasuk larangan menulis puisi. Tetapi saya telah jatuh cinta sehingga saya tetap menuliskannya saat di rumah. Lalu saya berpikir bagaimana caranya agar puisi saya dibaca orang. Dari situ saya mulai mengirim puisi ke media cetak. Ketika di SMP ternyata sudah ada puisi saya yang dimuat di Suara Merdeka, koran harian yang cukup bergengsi dan tidak semua orang bisa menembusnya. Tapi saya tahunya puisi saya dimuat di Suara Merdeka setelah kuliah.

Dari mana sumber ide-ide tulisan Anda?

Saya menulis dari sumber yang paling dekat yaitu Madura. Kenapa pilihan saya Madura, padahal sebelumnya sudah ada beberapa sastrawan ternama yang melakukannya? Karena sangat dekat dengan keseharian saya, dengan hidup saya. Terlebih (kehidupan) masyarakat pesisir belum di-explore ke dalam karya sastra Indonesia. Kalau saya menulis tentang urban, tentang masalah-masalah yang umum, tentu tidak menarik bagi pembaca. Maka lahirlah cerpen saya, puisi-puisi saya. Tidak hanya Madura tentu saja, tema-tema lokal ketika itu saya suguhkan. Ternyata karya saya diterima oleh media dan menjadi bahan ulasan. Bahkan cerpen saya pertama di Kompas cukup menarik perhatian.

Bagaimana Anda menjaga semangat dan tekad untuk terus mengejar passion sebagai penulis, terutama di tengah keterbatasan yang mungkin pernah dihadapi?

Membaca tentu saja, lalu kemudian bergaul, berinteraksi dengan teman-teman penulis juga. Menjelang tidur saya membaca paling tidak satu buah puisi, bangun tidur saya harus menulis apa pun kalimat itu. Pernah berlatih selama bertahun-tahun 100 kata. Tidak mesti menulis lalu dikirimkan ke sana ke mari. Karena bagi saya kerja menulis itu “istimewa” maka saya harus menjaga keistimewaan itu, memperlakukan dengan istimewa juga. Seperti halnya kita menghargai dan memperlakukan ilmu pengetahuan, di mana ketika membaca kita harus bersinggungan dulu dengan penulisnya secara ruh. Itu yang saya jaga hingga hari ini dalam menciptakan proses kreatif dan terus menulis.

Apa saja pengalaman Anda di Majalah Horison?

Selama di Majalah Horison, saya di bagian puisi dan cerpen. Dalam waktu satu sampai tiga hari saya biasa membaca 100-an puisi yang dikirim melalui email. Dari situ saya belajar disiplin dan kehati-hatian dalam membaca teks, dan melakukan penyuntingan.

Dari situ saya juga mengetahui betapa banyak (orang) di Indonesia yang ingin menjadi penulis, dan ingin dimuat di Horison. Padahal dalam setiap edisinya hanya beberapa karya saja yang dimuat. Bagi saya ini menarik karena kita harus memperlakukan teks-teks mereka dengan baik walaupun tidak lolos. Kita tetap komunikasi, dan kadang membantu proses editing dengan penulisnya.

Dari pengalaman saya selama di Horison, perkembangan sastra Indonesia cukup berkembang, cukup pesat. Terutama secara artistik bahasa. Yang ditulis oleh teman-teman dari timur cukup menarik bagi saya, misal dari Flores, dari Maluku. Mereka, terutama anak-anak mudanya,   produktif sekali berkirim karya ke Horison.

Bahkan sampai hari ini, saya baca di Indonesia, selalu ada penulis muda yang baru tumbuh. Itu cukup membahagiakan bagi saya. Hanya sayangnya, pertumbuhan sastra kita tidak diiringi oleh hadirnya kritikus dan dokumentator yang baik.

Dengan pengalaman yang begitu luas, bagaimana cara Anda memberikan dampak positif dan inspirasi kepada para penulis pemula melalui pelatihan menulis yang akan diadakan?

Kita memberi edukasi pada mereka, salah satu, melalui adakreatif_id, Adakreatif adalah lembaga nirlaba yang bergerak di bidang literasi, seni dan budaya. Didirikannya adakreatif untuk turut ambil bagian dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, kreativitas, dan memfasilitasi minat dan bakat anak-anak muda.

Adapun program-program adakreatif berasal dari kegiatan rutin yang dijalankan oleh Adakopi. Seiring perkembangan dibuat struktur khusus yang melanjutkan program-program tersebut. Program yang dimaksud antara lain kelas menulis, bincang kreatif, dan belajar kepada pesohor

Ada pesan inspiratif buat pembaca PojokTIM?

Hanya ada dua cara yang harus dilakukan penulis agar tetap eksis. Pertama, membaca. Kedua, menulis,

Tidak terasa penghujung senja pun tiba, menutup obrolan.

Sebagai catatan tambahan, Mahwi Air Tawar, lahir di pesisir Sumenep, Madura, 28 Oktober 1983. Sejumlah cerpen dan puisinya dipublikasikan di Kompas, Jawa Pos, Suara Pembaruan, Suara Merdeka, Bali Post, Horison, Jurnal Cerpen Indonesia, Jurnal Sajak, dan lain-lain. Cerpen dan puisinya juga termuat di sejumlah antologi bersama, di antaranya 3 Penyair Timur (2006, puisi), Herbarium (2006, puisi), Medan Puisi, Sampena the 1  International Poetry (2006, puisi), IBUMI: Kisah-kisah dari Tanah di Bawah Pelangi (2008, puisi), Sepasang Bekicot Muda (2006, cerpen), dan Robingah, Cintailah Aku (2007, cerpen). Salah satu cerpennya yang berjudul Pulung terpilih sebagai cerpen terbaik dalam lomba yang digelar oleh STAIN Purwokerto dan terkumpul dalam buku  Rendezvouz di Tepi Serayu (2008-2009), Jalan Menikung ke Bukit Timah (TSI II, cerpen), Ujung Laut Pulau Marwah (TSI III, cerpen), Tuah Tara No Ate (TSI III, cerpen), Perayaan Kematian (2011, cerpen). Kumpulan cerpen pertamanya, Mata Blater (2010), mendapat penghargaan dari Balai Bahasa Yogyakarta, 2011

.

 

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini