PojokTIM – Gayanya tetap anggun. Langkahnya mantap ketika menghampiri meja tempat Ketua Umum Taman Inspirasi Sastra Indonesia (TISI) M Oktavianus Masheka, Isson Khairul, Arief Joko Wicaksono dan Nanang R. Supriyatin berkumpul. Obrolan ringan pengantar sore kian meriah setelah Ewith Bahar, demikian pemilik buku kumpulan puisi Impromptu Terzina itu, menimpali percakapan.

Ewith ternyata tidak “sedingin” kesan pertama. Ceritanya mengalir lancar setelah “ditabuh” dengan topik yang disukainya, termasuk rencana kerjasamanya dengan TISI untuk menggelar peringatan hari lahir Chairil Anwar, 26 Juli 2024, di Perpustakaan Nasional.

“Saya tergabung dalam 400 komunitas sastra internasional,” ujar Ewith ketika PojokTIM mengalihkan topik pembicaraan, Senin (6/5/2024).

Tidak banyak penyair yang memiliki jaringan seluas Ewith. Sanggup mengikuti berbagai kegiatan yang diselenggarakan komunitas internasional dengan rupa tema dan bahasa.

Berikut pengalaman Ewith Bahar yang dibagikan kepada PojokTIM.

Buku-buku Anda sudah diterjemahkan ke berapa bahasa?

Kalau tidak salah sudah 25 bahasa. Inggris, Portugal, India, Italia, Meksiko, dan lain-lain. Ini salah satu keuntungan ketika kita masuk dalam komunitas internasional. Selain karya-karya saya dimuat di berbagai media-media asing, saya juga sering mendapat undangan menulis.

Bagaimana proses awal Anda masuk ke komunitas penyair dan penulis internasional? Ini pertanyaan klasik tapi pasti berguna bagi penyair lain ingin merambah luasnya dunia.

Awalnya saya diajak bergabung dengan komunitas penulis yang ada di Meksiko. Ternyata itu pintu masuk saya ke komunitas internasional. Dari sana saya diajak bergabung dengan komunitas penulis India, lalu Spanyol dan lain-lain. Kalau tidak salah, sekarang saya tergabung dalam 400 komunitas internasional. Kami saling support untuk mengenalkan karya di negara-negara anggota komunitas. Tadi saya baru saja menerjemahkan puisi saya karena diminta oleh penulis dari Spanyol.

Anda menerjemahkan ke Bahasa Portugal?

Saya terjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, lalu dia yang menerjemahkan ke Bahasa Spanyol.

Artinya kita harus emmiliki kemampuan Bahasa Inggris yang baik sebelum masuk ke komunitas internasional?

Ya, itu kan basic. Ketika kita mengadakan pertemuan (secara online) juga menggunakan Bahasa Inggris.

Apa saja kegiatan di komunitas internasional?

Pastinya yang berkaitan dengan karya kita, karya para penulis dari berbagai negara. Terkadang ada yang mengadakan kegiatan penerbitan buku bersama dengan tema tertentu. Tantangannya adalah untuk setiap tema kita dituntut mencari referensi dan riset. Misal tema yang ditentukan adalah menulis tentang Dante Alighieri, penyair besar Italia abad pertengahan. Atau tentang Scheherazade, tokoh cerita legendaris 1001 malam. Untuk bisa menuliskan puisi dengan tema-tema itu banyak referensi yang harus kita miliki. Tentang psikologi masyarakatnya misalnya, atau latar belakang secara spesifik mengenai tokoh-tokoh yang akan dituliskan. Bisa jadi puisinya hanya 20 baris tapi dalam proses penciptaannya harus membaca dari banyak sumber. Saya sudah terlibat dalam sekitar 50-an proyek antologi puisi internasional yang diselenggarakan berbagai negara. Jarang yang temanya bebas, kebanyakan dengan tema terikat. Mulai dari lingkungan sampai isu-isu kemanusiaan. Keuntungan tidak langsungnya dari kondisi ini, kita jadi terus belajar dan sibuk hunting bahan bacaan sana sini.

Kembali ke soal terjemahan. Apakah ada dana bantuan dari pemerintah?

Pemerintah sebetulnya punya budget untuk menyokong ini, tapi sosialisasinya kurang sampai. Padahal proyek terjemahan adalah hal krusial kalau kita menginginkan karya anak bangsa dikenal dan dibaca dunia.

Maka selama ini saya berupaya sendiri saja. Bukan buku full, tapi puisi demi puisi. Karena kalau full satu buku, biayanya besar. Sementara untuk karya-karya tunggal puisi, bisa kita akali melalui relasi baik. Menjalin relasi secara pro aktif dengan para penulis luar, dan menawarkan barter translation adalah mekanisme yang selama ini saya lakukan. Kadang dapat terjemahan juga dari proyek antologi yang diselenggarakan oleh negara tertentu. Bulgaria misalnya. Dalam proyek antologi yang mereka buat, kita menyerahkan puisi dalam satu bahasa internasional, yaitu Inggris, lalu dalam penerbitannya, puisi kita akan tampil dalam dua Bahasa, Inggris dan Bulgaria. Dan pembiayaan membayar penerjemah menjadi porsi penyelenggara.

Bersikap pro aktif dalam hal ini bagi saya perlu, karena saya ingin memperkenalkan Indonesia dan membuat mereka menengok dan sadar bahwa kita ada. Kalau saya nunggu didukung pemerintah mah lama. Karena keaktifan saya menjalin relasi dan mencari link, saya pernah diminta menyampaikan pidato (secara daring) dalam K.M Anthru International Literary Prize di India tahun 2021.

Selain itu saya saat ini juga diangkat sebagai Sekjen (Secretary General) sebuah Komunitas Sastra internasional, Poetry Literature World Vision, yang anggotanya sekitar 12.000 orang dari berbagai negara. Dan tiga tahun berturut-turut menjadi anggota organising committee Panorama International Literature Festival, sebuah festival sastra yang penyelenggaraannya merupakan kerjasama antara India dan Italia.

Ewith Bahar. Foto: Ist

Anda juga dikenal sebagai penulis puisi tiga baris atau terzina. Bahkan buku kumpulan puisi Impromptu Terzina terpilih sebagai Buku Terbaik 2023 oleh Yayasan Hari Puisi Indonesia. Bisa cerita prosesnya?

Dalam berkarya, saya suka menantang diri saya sendiri. Misalnya dalam puisi terzina. Selama ini, kita hanya mengenal puisi empat baris atau pantun yang dua baris. Kalau di luar negeri, puisi tiga baris cukup dikenal Jadi saya tertantang untuk menulis puisi tiga baris dengan style yang sudah saya tetapkan yaitu memiliki rima akhir, seperti ABA.

Ini tentu lebih sulit karena harus memilih kata yang tepat, yang memiliki bunyi akhir yang sama. Padahal untuk mengungkapkan satu tema atau peristiwa tertentu dengan tiga baris saja sudah sulit.

Tetapi Anda berhasil menciptakan 228 puisi terzina …

Target saya 1000 puisi terzina. Jadi sebenarnya belum sesuai target.

Apakah ke depan masih akan menulis puisi tiga baris untuk menuntaskan target itu?

Karena sudah diterbitkan, saya tidak belum terpikir untuk melanjutkan puisi terzina. Apalagi saya sedang tertarik dengan tema kematian. Bukan puisi gelap. Saya ingin menyampaikan dari sudut berbeda. Bahwa kematian itu sesuatu yang indah.

Saya mendapat pengalaman ketika ibu saya koma, dan bangun kembali. Kejadian ini berlangsung sampai 3 kali. Saat sadar, ibu saya menceritakan perjalanan ke suatu tempat yang indah, ada cahaya putih dan sebagainya. Persis seperti yang ada dalam buku-buku yang pernah saya baca. Padahal ibu saya tidak pernah membaca buku-buku itu.

Jadi saya yang tadinya masih tanda tanya, apa benar ada alam sesudah kematian, mulai mempercayai karena pengalaman ibu saya. Nah, dari situ saya ingin menggambarkan tentang alam kematian dengan lebih “menyenangkan”. Tidak lagi menakutkan.

Hingga malam, ketika menyudagi perbincangan dan meninggalkan pelataran Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat, Ewith Bahar tetap enerjik tanpa kehilangan fokus. Menyetir mobil sendiri, pulang ke Bintaro, masih dengan keanggunannya.

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini