PojokTIM – Suksesnya sebuah pertunjukan seni budaya tidak hanya ditentukan oleh penampilnya, tetapi juga orang-orang yang bekerja di belakang panggung. Oleh karenanya apresiasi juga harus diberikan kepada para pekerja seni menyiapkan panggung, menarik kabel, memasang lampu, dan lain-lain.
Demikian dikatakan Ketua Umum Masyarakat Pekerja Senin Indonesia (MPSI) Mujib Hermani, di Posko SaveTIM, kompleks Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) Taman Ismail Marzuki (TIM), Kamis (9/5/2024).
“MPSI didirikan untuk memperjuangkan kesejahteraan buruh, terutama pekerja seni. Pemerintah harus mengakui keberadaan mereka sehingga diberi hak yang sama dengan pekerja di sektor lain.” ujar Mujib.
Sore di Posko SaveTIM terasa sejuk. Sinar matahari terhalang apartemen yang menjulang di belakangnya. Semangat Mujib semakin menyala ketika membahas nasib pekerja seni. Juga tentang komuniats budaya, dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta (DKJ) yang baru disahkan.
Berikut petikan wawancara PojokTIM dengan Mujib Hermani, aktivis yang memiliki kiprah panjang dalam gerakan buruh, sosial dan budaya.
Sampai di mana perjuangan MPSI untuk pekerja seni?
Banyak yang sudah kita perjuangkan. Salah satunya, 200 pekerja seni anggota MPSI sudah terdaftar sebagai peserta BPJS di mana iuran tahun pertama ditanggung oleh Dinas Kebudayaan Provinsi Jakarta. Dengan adanya BPJS, teman-teman pekerja seni lebih nyaman dalam bekerja karena sudah dilindungi seperti pekerja di sektor lain.
Untuk yang masih menempuh pendidikan, MPSI juga memperjuangkan alokasi Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS), dan bantuan sosial lainnya di daerah masing-masing. Hal ini sesuai semangat awal pendirian MPSI yakni memperjuangkan kesejahteraan pekerja seni. Makanya saya tidak mau menggunakan nama seniman. Pekerja seni itu semua orang yang hidup dari dunia seni budaya.
Tapi MPSI menggelar pertunjukan dan kegiatan seni budaya, bukan sebatas bertindak sebagai pelindung pekerja seni?
Itu sudah pasti. Prinsip MPSI, kesejahteraan harus sampai ke pekerja. Dapurnya harus ngebul. Kan sederhana saja, pekerja seni bisa mendapat duitnya kan harus ada event, ada pertunjukan, melahirkan karya. MPSI membuat itu. Intinya, sesuai slogan MPSI: Mari Berkawan Kita Berbagi.
Apakah MPSI memiliki struktur atau perwakilan di daerah?
MPSI sudah memiliki pengurus daerah di 18 provinsi dan 56 pengurus kabupaten/kota. Ke depan jumlahnya akan terus bertambah karena kehadiran MPSI memberi manfaat bagi pekerja seni di daerah.
Apa rencana kegiatan terdekat MPSI?
MPSI akan membuat kegiatan untuk mengisi Hari Buku Nasional tanggal 17 Mei, kita lanjutkan sampai 19 Mei 2024. Setelah itu, tanggal 20 dan 21 Mei ada peringatan reformasi. Kita adakan tribute 25 tahun puisi Kongres Kodok-nya Saut Sitompul. Tanggal 21 digelar pentas seni budaya dan pertunjukan musik Dompak Sinaga.
Kemarin sempat ada aspirasi akan melakukan judicial review terhadap UU DKJ ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sekarang UU DKJ sudah disahkan, apakah aspirasi tersebut tetap akan dilaksanakan?
Kan keinginan teman-teman (seniman) sudah dimasukkan dalam undang-undang yaitu adanya Dana Abadi Kebudayaan yang bersumber dari APBD Provinsi Daerah Khusus Jakarta. Jadi untuk apa lagi mengajukan gugatan ke MK? Ini juga menjadi pelajaran bagi kita semua, kenapa aksi-aksi (demo) sekarang banyak yang gagal mencapai tujuan. Sebab yang didemo adalah peraturan yang sudah disahkan. Meskinya sebelum menjadi aturan, menjadi undang-undang, dikawal, beri masukan. Kemarin kita mempunyai aspirasi perlu adanya dana abadi, sesuai kekhususan Jakarta. Kita sampaikan aspirasi kita sebelum undang-undangnya disahkan. Usulan kita kemudian didengar dan diakomodir.
Nantinya akan ada aturan turunan dari UU Daerah Khusus Jakarta, entah berbentuk perda, atau pergub. Nah, mari kita kawal agar tidak melenceng dari semangat pembentukan dan poin-poin yang ada dalam undang-undang.
Bagaimana dengan frasa Pasal 31 ayat 1 huruf (a) yang memberi prioritas pemajuan kebudayaan Betawi dan kebudayaan lain yang berkembang di Jakarta?
Tidak apa-apa. setiap daerah tentu punya prioritas memajukan kebudayaan daerahnya. Bahkan saat ini, di Jakarta sudah ada perda tentang kebudayaan Betawi. Nah, itu yang perlu direvisi karena dulu saat perda itu dibuat belum ada UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Akibat DKI menjadi satu-satunya daerah yang tidak memiliki perda Pemajuan Kebudayaan sebagai turunan dari UU Pemajuan Kebudayaan karena merasa sudah ada perda tentang kebudayaan Betawi.
Revisi terhadap perda kebudayaan Betawi disesuaikan dengan UU Pemajuan Kebudayaan dan juga UU DKJ. Terlebih perda kebudayaan Betawi dulu nempel di UU tentang Pariwisata, lalu sekarang nempel di UU Pemajuan Kebudayaan. Dengan adanya UU DKJ, maka perda kebudayaan Betawi harus direvisi. Isinya kurang lebih sama dengan perda sebelumnya, namun perlu memasukan frasa pemajuan budaya lain yang berkembang di Jakarta sebagaimana amanat UU DKJ.
Berapa besaran Dana Abadi Kebudayaan?
Kita belum tahu karena turunan UU DKJ belum ada. Masih digodok. Sekarang kita punya tugas ikut mengawal pembuatan aturan turunannya, terutama terkait besaran Bana Abadi Kebudayaan yang akan dialokasikan dari APBD. Misalnya 10 persen dari besaran APBD Jakarta yang mencapai Rp 85 triliun. Meski terdengar naif, ya harus diperjuangkan. Bahwa nantinya ada kompromi, itu soal lain. Tapi harus tetap kita kawal.
Bagaimana seniman bisa mengakses dana itu?
Kita tunggu dulu aturannya. Tetapi yang jelas, karena ini dana APBD yang harus ada pertanggungan jawab, maka komunitas seniman yang ingin mendapatkan manfaat dana abadi harus memiliki legalitas. Itu kan syarat dasar.
Terkait komunitas, apakah sekarang jumlah komunitas seni yang berinteraksi di TIM sudah terlalu banyak?
Justru kalau dibanding tahun-tahun 90-an, sekarang tidak ada apa-apanya. Dulu setiap sudut ada komunitas, dan mereka punya lapak masing-masing.
Bayang-bayang sinar matahari sudah tidak terlihat. Orang-orang yang sedang berlatih drama di selsar TIM, sayup-sayup terdengar, di sela kepulan asap kopi.