PojokTIM– Bunyi yang datang dari warteg Slawi Ayu ditingkahi teriakan anak-anak usai selesai latihan menari di Selasar Gedung Trisno Sumardjo Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat, cukup riuh. Namun itu bukan musik, meski sama-sama bunyi.

“Kalau (bunyi) wajan tukang nasi goreng, klakson kendaraan di jalan, atau kipas angin, bukan musik tapi nature of souds, ” ujar Ketua Komite Musik Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Muhammad Arham Aryadi kepada PojokTIM, Senin (14/7/2025).

Arham adalah komponis Indonesia yang juga pendiri dan direktur kelompok musik Indonesian Contemporary Gamelan Ensemble (ICGE). Arham menyelesaikan pendidikan sarjana komposisi musik barat di Konservatorium Musik Universitas Pelita Harapan (UPH) di bawah bimbingan Dr. Otto Sidharta dan meraih gelar Magister bidang Penciptaan Seni Urban di Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta (IKJ).

Arham tercatat pernah mengikuti beberapa lokakarya komposisi bersama Slamet Abdul Sjukur (Indonesia), Dieter Mack (Jerman), Carlos Michans (Argentina), Johannes Schollhörn (Jerman), Manfred Stahnke (Jerman), Magnus Andersson (Swedia), Chong Kee Yong (Malaysia), dan anggota Pow Ensamble, Guy Harries (Inggris), Luc Houtcamp, dan Wiek Hijmans (Belanda).

Arham bekerja sama dengan Franki Raden ketika membentuk Indonesian National Orchestra (INO) dan menggelar konser perdana di Melbourne, Canberra dan Sydney, Australia (2011). Ia pernah bekerja sebagai guru musik di Sekolah Vokasi Seni Rupa Sarasvati, dosen di Sekolah Tinggi Seni Musik Cantata (STSMC), guru musik di SMA Avicenna Jagakarsa, pengajar dosen di Universitas Universal Batam, dosen di Universitas Terbuka dan bersama Dr Yola Yulfianti membentuk Dance Circle Lab.

“Saya bukan seniman TIM,” kata Arham sambil tertawa lepas ketika ditanya tentang kondisi TIM pasca revitalisasi.

Dikutip dari berbagai sumber, karya-karya Arham telah ditampilkan di Malaysian Composer Series ke-5 di KLPAC undangan dari Assoc.Prof. Dr. Tazul Izan Tajuddin (2011). Festival Musik Kontemporer Yogyakarta ke-7 (2014). Komisi dari Goethe-Institut Jakarta dan proyek KFW Stiftung Ruang Suara yang dibawakan bersama Ensemble Modern (Jerman) dan konser di Frankfurt, Jakarta, Yogyakarta, dan Bandung (2015).

Komisi dari Ensemble Multilatérale (Prancis) yang dibawakan di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Paris (2017). SMCC Soundbridge Music Festival undangan dari Prof. Chong Kee Yong, konser di DPAC Kuala Lumpur bersama Ensemble Studio C (2017). Komisi dari Departemen Musik Universitas Hongkong bersama Gamelan HKU dalam Sounding Architecture Concert (2018) diundang oleh Dr. Deborah Waugh. Komisi dari Hongkong New Music Ensemble (HKNME) dalam Shadow of Wind Concert di The Hongkong Academy of Performing Arts diundang oleh William Lane (2018). Komisi dari Quatuor Bozzini (Kanada) dan kurator Tony Prabowo, Teater Salihara (2018), dan mendapatkan penghargaan dari Yayasan Kelola untuk Konser Tur Hibah Seni Pentas Keliling bersama ICGE dalam tema konser New Music in Gamelan di Pamekasan dan Bangkalan, Pulau Madura, menggunakan gamelan berusia 300 tahun dari kerajaan Cakraningrat Madura.

Berikut rangkuman wawancara PojokTIM dengan Muhammad Arham Aryadi.

Bisa dijelaskan tentang Indonesian Contemporary Gamelan Ensemble?

Setelah melihat penampilan grup musik gamelan kontemporer Kyai Fatahillah dari Bandung yang didirikan Iwan Gunawan, tahun 2010 saya membentuk Indonesian Contemporary Gamelan Ensemble (ICGE). Tujuannnya supaya Jakarta punya grup musik kontemporer sendiri, sehingga tidak perlu lagi mengundang grup dari Bandung atau daerah lain. Kita harus punya ensemble kontemporer untuk menaungi ekosistem komponis-komponis yang ide dan karyanya banyak bersentuhan dengan gamelan.

Berbeda dengan Kyai Fatahillah yang merupakan ensembel gamelan dari Universitas Pendidikan Indonesia Bandung yang mengembangkan komposisi baru dengan media gamelan Sunda, ICGE beranggotakan komponis-komponis profesional, yang pandai membaca notasi. Bukan hanya notasi barat, namun juga tradisi dan notasi spasial atau notasi baru.

Apa itu New Music?

Kalau orang awam tahunya musik kontemporer. Padahal kontemporer menggambarkan suatu zaman yang belum bisa dinamain. Pada abab 18 sampai 20, kita mengenal aliran musik Barok dengan tokohnya seperti Johann Sebastian Bach, lalu zaman klasik romantik yang dipelopori Wolfgang Amadeus Mozart dan Bethouven, Impresionisme seperti Debussy, dan lain-lain. Untuk abad 21, belum ada penamaan (aliran musik) secara spesifik sehingga disebut musik kontemporer. Untuk musik komposisinya disebut new music, karena tidak mengikuti gaya-gaya musik yang sudah ada. Mengikuti musik yang sudah ada boleh, tapi idenya harus baru.

Kalau dangdut, rock, disebut musik populer dan bagian dari musik industri. Sementara musik seperti yang diusung Mogan Pasaribu dengan Horja Bius-nya dinamakan world music. Sebutan itu datang dari orang Amerika dan Barat terhadap grup musik yang menggunakan alat musik tradisional tetapi tidak (memainkan) sesuai pakemnya atau tidak ada runtutan sejarah dari musik konvensional barat.

Musik saya juga menggunakan gamelan, sehingga bisa juga disebut world music. Tetapi saya lebih suka disebut new music karena lebih pas. Gaya komposisi saya banyak terpengaruh oleh style Perancis seperti Tristan Murail. Saya melakukan riset melalui spektrum.

Bisa dijelaskan lebih lanjut tentang spektrum?

Spektrum adalah kumpulan dari harmonics series atau bunyi di dalam bunyi yang sekarang dapat dilihat dengan menggunakan osiloskop, alat untuk melihat susunan bunyi. Jika kita mendengar nada tertentu, lalu kita cek menggunakan osiloskop, maka akan terlihat susunan dari frekuensinya. Ternyata ada banyak frekuensi turunannya. Jadi, bunyi di dalam bunyi. Saya banyak mengeksplorasi di situ. Ketika Tristan Murail menggunakan extended technique untuk memainkan bunyi sehingga menghasilkan spektrum, saya cukup pukul gamelan sekali sudah menghasilkan spektrum yang kaya. Makanya saya terinpirasi gaya spektralism Perancis.

Hanya saja untuk fokus pada metode kompositoris, saya lebih fokus pada teksturalisme. Salah satu tokoh teksturalisme adalah György Sándor Ligeti. Kenapa musik tekstural? Karena bunyi ada teksturnya. Hanya saja telinga kita tidak dilatih sehingga tahunya cuma enak atau tidak enak (didengar). Padahal musik bukan hanya enak atau tidak enak, tapi bagaimana musik punya kekuatan. Musik klasik kekuatannya pada teori harmoni, musik Barok kuat teknik kontrapung, pertunjukkannya yang megah, dan teknik antar poinnya yang rumit dan ekspresif yang memungkinkan terciptanya tekstur musik kaya dan dinamis. Kekuatan musik impresionisme terletak pada timbre (warna nada),  tekstur dan suasana yang diciptakan.

Lalu sekarang kita mengenal gaya minimalisme, gaya Amerika yang disebut new complex city dengan tokohnya Mathias Spahlinger yang merupakan gurunya komponis Bandung, Dody Satya. Saya juga banyak berkonsultasi saat dia mengajar di Bandung.

Lalu siapa yang disebut komponis?

Menurut Michael Asmara, komponis adalah ketika kita berkarya (di bidang musik). Artinya ketika sudah tidak berkarya, maka tidak bisa disebut komponis. Menurut saya, komponis adalah orang yang membuat karya komposisi, dapat mengekspresikan ekspresi musikalnya. Kalau dia punya ide musikal, tapi tidak bisa realisasikan, tidak bisa ditulis, dilatih, atau dipresentasikan, maka dia bukan komponis. Baru sebatas ide di kepala. Kalau hanya memainkan karya oleh lain maka sebutannya instrumentalis, atau pemain alat musik. Komponis bukan pekerjaan atau title, yang hanya buat satu atau tiga karya lalu selamanya disebut komponis. Tidak begitu. Komponis harus terus membuat karya. Terlebih musik baru tidak ada batasannya.

Bagaimana perkembangan musik tanah air?

Komponis almarhum Slamet Abdul Syukur pernah bilang musik kita tertinggal berapa ratus tahun dibanding di musik dunia. Tetapi pemerintah tidak pernah memikirkan hal itu. Tahunya musik sebatas industri, enak didengar dan menjual. Tidak ada upaya untuk memperkaya bunyi musik, mengekplorasi bunyi dari alat musik tradisi yang kita miliki.

Eksplorasi bunyi?

Ketika akan membuat karya, kebanyakan orang milih instrumennya terlebih dulu. Sementara bagi seorang komponis, imajinasi musiknya sudah ada di kepala, dan baru kemudian mencari instrumennya. Misal saya ingin timbre-nya berbeda dari gamelan, maka saya malet pemukul gamelan saya ganti pakai palu, gergaji, atau kayu sehingga timbre-nya berubah. Contoh lainnya, ricikan bilahnya saya tempeli paku, penggaris, atau penghapus. Dengan  demikian getarannya juga berubah. Lalu saya gunakan alat elektronik untuk merekam dan memanipulasinya supaya timbre-nya berubah.

Kalau lagu adalah bentuk musik paling sederhana. Perkembangan musik sendiri sangat cepat. Sekarang ada poliponik, holiponik yang ditemukan Kokoras Panayiotis, komposer Amerika. Tidak ada lagi musik umum, bunyinya campur-baur. Idenya sangat avant-garde.

Kalau begitu, apa itu musik?

Kalau musik harus bernada, berarti yang ada di Afrika bukan musik. Kalau musik harus teratur, disusun dengan ilmu harmoni, berarti Indonesia tidak punya musik. Sebab musik zaman dulu, seperti gending, tidak ada patiturnya, hanya diwariskan secara lisan.

Kalau ada yang bilang musik harus bisa dinyayikan, (pengertian) itu lebih parah lagi. Musik adalah bentuk ekspresi musikal. Walaupun (menggunakan) panci penggorengan, jika kita susun kompositoris, durasi, lalu dikembangkan berapa kali dipukul, atau dibalik dan diputar, maka itu musik.  Dengan pengertian lebih luas, maka musik adalah ekspresi musikal yang meliputi komposisi, kekuatan, pemikiran, filosofi, dan tekniknya. Bukan soal enak atau ngga enak (didengar).

Apa yang dimaksud dengan musik untuk pendengar dan musik untuk didengar?

Industri musik memproduksi musik untuk pendengar, untuk pasar. Sedang komposer, terutama new music, bikin musik untuk didengar karena yang penting mengekspresi musikalnya. Jadi karya untuk mengekspresikan pemikirannya. Pendengar senang, menganggap enak didengar, silakan. Mengangap aneh juga tidak apa-apa karena tujuannnya memang tidak untuk memenuhi selera pasar.

Banyak yang mempersoalkan pengaruh AI (artificial intelligence) dalam musik. Pendapat Anda?

Kita belum punya kompetensi membicarakan AI. Dengan teknologi saja kita masih ketinggalan. Bikin panggung spasisal of sounds gak bisa, sekarang saja masih pakai pakai sequenscer. Pakai alat puluhan juta. Ribet banget. Saya bikin pakai Max/Msp, tinggal download software dari Ircam aplikasi musik dunia dari pusat musik elektronik di Paris.  Berani ngga orang yang mengaku paham tentang AI bicara di Ircam? Pasti habis dia. Kita belum punya akademisi AI. Paling Patrick Gunawan Hartono, komposer electroacoustic dan seniman intermedia asal Makassar/Jakarta. Saat ini dia mengajar di Goldsmith, London. Patrick pernah manggung menggunakan visual dan bunyi di Melbourne dan Negara lainnya.

Generasi saat ini, generasi saya, tidak harus paham semua hal. Erie Setiawan cukup paham bagian musikologi, Franki Raden di musik tradisi, Otto Sidharta sebagai pelopor musik elektronik di Indonesia, dan Slamet Abdul Syukur yang punya Minimax dari sedikit ke banyak ide. Saya lebih ke spektrum. Semua punya kompetensi masing-masing. Jadi tidak perlu para pemusik mengomentari (penggunaan) AI. Sebab bukan bidangnya sekalipun berhubungan dengan musik.

Bagaimana dengan Pekan Komponis Indonesia?

Pekan Komponis Indonesia adalah program legacy. Sejak gelaran pertama tahun 1979, sudah melahirkan komponis-komponis di wilayah musik baru dan mendapat (panggung) aktuliasasi di mancanegara. Angkatan pertama melahirkan Dody, Franki, Otto,, lalu ada Pak Kompyang yang sering latihan bersama Ensemble Sarasvati di TIM. Generasi berikutnya ada Michael Asmora yang menemukan Yogyakarta Contemporary Music Festival (YCMF). Tetapi ketika Slamet Abdul Syukur meninggal, YCMF selesai juga. Semangatnya tidak ada lagi.

Akhirnya tinggal Pekan Komponis Indonesia yang digawangi Komite Musik DKJ. Kalau menurut Pak Yudana, komponis Bali, Pekan Komponis menjadi satu-satunya wadah bagi komponis-komponis baru yang sedikit berbeda dengan komponis industri, komponis film, dan lain-lain. Komponis yang punya ide ide musikal atau yang punya eksperimen musikal yang berbeda, tidak mengikuti jalan setapak, tapi membuat jalan baru, membutuhkan ruang ekspresi. Hanya Pekan Komponis yang bisa memayungi.

Beda dengan, misalnya Malaysia. Mereka punya Sound Bridge Festival dan The Malaysian Composers Series yang pernah saya ikuti tahun 2019.

Apa tema Pekan Komponis Indoensia 2025?

Tema Pekan Komponis tahun ini tentang Activating the Ecosystem. Komite Musik ingin menekankan pentingnya membangun ekosistem musik yang dinamis dan berkelanjutan, melalui kolaborasi, inovasi, dan peningkatan kapasitas pelaku seni.

Itu juga sejalan dengan cita-cita saya saat bergabung dengan DKJ yakni mengaktifasi ekosistem musik baru di wilayah komposisi. Baru tahun ini bisa terlaksana. Sebab di DKJ bukan hanya menjalankan program, tapi juga mengurusi yang lain.

Kita akan mengangkat literasi, The Literary Muse  dengan menghadirkan Septian Dwi Cahyo yang pernah belajar komposisi dengan Beat Furrer di University of Music and Performing Arts Graz, Austria. Septian mengangkat puisi Sitor Situmorang sebagai karya musik. Kita undang Septian untuk menjelaskan karya-karyanya yang telah dimainkan oleh ansamble ternama termasuk Orkest de Ereprijs, Talea Ensemble, Caroline Delume (Linea), dan lain-lain.

Di hari pertama, kita juga akan mengangkat tradisi sastra lisan dari Ende, Banjarmasin, Pekanbaru, Bandung, dan Jakarta. Kita memiliki ragam sastra lisan (yang dibacakan) untuk ritual penyembuhan atau kematian.

Hari kedua, senior resital series. Kita akan menghadirkan Dody Satya. Ini bagian dari apa yang disebut sebagai regenerasi pendengar. Jadi kita ingin generasi sekarang mendengar karya-karya komponis senior.

Hari ketiga, Contemporary Music for Children. Saya ingin anak-anak bersentuhan langsung dengan musik baru. Supaya mereka tahu bahwa musik tidak harus bernada. Mereka juga harus paham bahwa musik Papua, musik Jawa, sangat kaya.

Siapa yang menjadi peserta Pekan Komponis Indonesia?

Sejak dulu memang sudah melibatkan komponis dari berbagai daerah. Dulu namanya sayembara komposisi. Kita open call, lalu diseleksi. Persoalannya, banyak yang tidak jujur menulis di CV (curriculum vitae). Banyak yang dilebih-lebihkan sehingga sekarang  tidak pakai open call lagi. Kita turun langsung ke lapangan, melihat ekosistem dan mencari tahu komponis-komponis di daerah. Mana yang sedang aktif kita undang, by recomended orang yang memang aktif di ekosistem.

Terkait The Literary Muse, apakah tidak terjebak pada musikalisasi puisi?

Musikalisasi puisi tidak jelek. Kadang saya juga bikin. Tetapi yang akan diangkat dalam Pekan Komponis adalah karya sastra yang dialihwahanakan ke musik. Jadi tidak harus ada vokalnya. Teks kita ubah menjadi musik.

Bagaimana ekosistem New Music di Indonesia?

Parah. Kita tidak bisa mengejar ketinggalan 100 tahun seperti dikatakan Slamet Abdul Syukur. Program yang ada cuma Pekan Komponis Indonesia. Memang ada juga October Meeting di Yogyakarta Kota Bermusik Festival, tidak bisa jadi acuan karena sifatnya lebih ke wilayahan.

Penghargaan terhadap komponis juga tidak ada. Pencapaian musik Abdul Sjukur tidak pernah diapresiasi pemerintah. Makamnya pun berjubel dengan makam lain di pemakaman umum. Padahal musiknya mendunia. Demikian juga yang dialami Tony Prabowo, Bapak Musik Kontemporer Indonesia.

Bagaimana pendapat Anda tentang TIM pasca revitalisasi?

Bagi saya, dulu TIM menjadi barometer kesenian Indonesia, bahkan dunia. Di sini pernah menjadi tempat latihan dan pentas seniman-seniman besar seperti Sardono W Kusumo, Ramadhan KH, Gunawan Mohammad, dan lain-lain. Juga tempat berkumpulnya orang-orang hebat, termasuk kalangan akademisi LPKJ, sekarang IKJ (Institut Kesenian Jakarta).

Menurut saya, fungsi TIM sebagai laboratorium ekspresi kesenian, sudah hilang. Kuratorialnya juga tidak jelas. TIM sudah jadi kawasan industrial sehingga band-band kafe bisa main di sini. Marwah TIM tidak seperti dulu lagi.

Untuk itu, lebih baik balik dulu ke awal. Minimal ada art space. Di Hongkong, tempat keseniannya benar-benar-benar untuk ekosistem kesenian. Ada yang jual vinil, jual lukisan. Pasa saat saya ke sana, ada chinnese orkestra yang dimainkan dan juga pertunjukan oleh orang Iran. Hal-hal seperti itu sekarang tidak ada di TIM. Tidak ada (yang jual) bahan-bahan kesenian, lukisan, dan karya seni lainnya.

Mestinya DKJ sebagai perwakilan masyarakat seni, perwakilan seniman dan akademisi, bisa menyuarakan dan memperjuangkan. Sebab sesuai SK Gubernur Ali Sadikin, DKJ memiliki peran sebagai mitra kerja gubernur untuk merumuskan kebijakan dalam mendukung kegiatan dan pengembangan kesenian di Jakarta. DKJ bertugas mendorong penciptaan karya seni terbaik, meningkatkan apresiasi seni, dan membangun ekosistem kesenian. Sayangnya, peran DKJ juga dibatasi.

Dan yang paling menyedihkan adalah hilangnya peran TIM sebagai laboratorium bagi mahasiswa IKJ. Padahal IKJ, DKJ dan AJ (Akademi Jakarta) lahir bareng di TIM. Saya tidak mau bicara peran pemangku kebijakan lain di TIM yang datang belakangan. Sebab peruntukkan TIM hanya untuk kalangan seni, baik praktisi maupun akademisi, bukan yang lain.

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini