PojokTIM– Tertib dan disiplin. Kata sifat dan kata nomina itu mungkin terdengar “aneh” bagi sebagian besar seniman. Namun tidak bagi Nanang R Supriyatin. Penyair yang sudah menerbitkan 11 buku antologi puisi tunggal dan lebih dari 100 buku antologi bersama sejak tahun 1982 itu sangat teratur dan patuh mengikuti aturan. Penampilannya pun selalu rapi, jauh dari stereotipe seniman.

“Ibu mengajarkan aku untuk disiplin dalam menjalani kehidupan. Beliau tidak ingin anaknya bergaul dalam lingkungan yang tak jelas dan sangat mendukung aktifitasku sebagai penulis. Kebutuhanku demi masa depan selalu dituruti. Umpamanya, membeli mesin tik. Dulu aku punya mesin tik merk Broders, Olimpic, IBM, hingga komputer,” ujar Nanang, mengawali percakapan dengan PojokTIM.

Nanang dikenal sebagai sosok yang humble dan tidak membeda-bedakan dalam bergaul. Statusnya sebagai sastrawan senior yang telah meraih berbagai penghargaan, tidak membatasinya dalam bergaul, termasuk kepada teman-teman yang baru nyemplung ke dunia seni. Banyak seniman dari daerah yang menghubungi setiap kali datang ke Jakarta, khususnya ketika hendak berkunjung atau berkegiatan di lingkungan Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta.

Bukan hanya dengan teman baru, Nanang juga setia dalam merawat silaturahmi dengan teman-teman lamanya. Hubungannya dengan para penyair jebolan Forum Puisi Indonesia 1987 yang masih eksis seperti Bambang Widiatmoko, Isbedy Stiawan ZS. dan Micky Hidayat tetap terbina hingga hari ini. Beberapa penyair daerah bahkan pernah menginap di rumahnya di kawasan Menteng.

“Aku tidak suka terlibat polemik. Lebih baik menggunakan waktu yang ada untuk berkarya. Jangan sampai keriuhan dalam pergaulan dan komunitas menjadi penghalang kita berkarya, apalagi sampai memutus silaturahmi, kecuali kalau mereka yang memang sudah tidak mau berteman. Aku enjoy saja,” tutur Nanang dengan serius.

Berikut petikan wawancara PojokTIM dengan Nanang R Supriyatin yang dilakukan dalam berbagai kesempatan.

Kapan Anda mulai menulis puisi dan cerpen?    

Aku mulai menulis puisi dan cerpen tahun 1979, sejak remaja. Dimuat di koran Pos Kota dan Pos Film. Tahun 1980-an aku juga banyak menulis esai. Aku bersyukur karena mendapat dukungan penuh dari Ibu. Aku bahkan dibelikan mesin ketik dan diikutkan kursus mengetik selama 3 bulan,  lulus dengan sertifikat memuaskan.

Dari mana awal munculnya ketertarikan pada sastra?

Darah seni mungkin mengalir dari orang terdekat. Ayahku dikenal sebagai dalang dan pemain bass betot. Beliau sering mengajak aku ketika berkumpul dengan teman-temannya sesama pemain keroncong di tempatnya bertugas, kantor PJKA, Manggarai. Dan pamanku, Cuk Sugiyono, adalah seorang pelukis realis. Ia pernah pameran di TIM sekitar tahun 1970.

Tapi Anda memilih berkarir sebagai PNS?

Setelah lusus dari SMAN 16, Jakarta Barat, aku bimbang mau kerja atau melanjutkan sekolah. Tahun 1983 aku sempat mendaftar di LPKJ (sekarang Institut Kesenian Jakarta/IKJ), jurusan Sinematografi. Tapi aku mengundurkan diri karena kondisi keuangan. Tahun 1984 ada peluang bekerja. Pilihannya di Balai Pustaka yang direkomendasi oleh saudara, di Kementerian Perhubungan yang direkomendasi kakak kandungku, dan di Pemda DKI Jakarta, Nah, yang terakhir itulah yang aku pilih karena sesuai dengan keinginanku. Aku akhirnya bekerja di lingkungan Pemda DKI Jakarta, hingga pensiun.

Menjadi pegawai negeri tidak membuat aku berhenti dari dunia menulis. Bahkan pernah mencoba jadi wartawan freelance untuk Tabloid Keluarga, mengelola Buletin Cermin, Buletin Sikap dan terakhir Tabloid Alinea Baru.

Pernah juga menjadi anggota Kine Klub Film Indonesia, di mana setiap bulannya mengadakan semacam FGD (focus group discussion). Ikut main teater dan 3 kali syuting sinetron remaja di TVRI.

Artinya, Anda justru semakin produktif setelah menjadi PNS?

Benar. Menulis menjadi kegemaran yang tidak bisa aku tinggalkan. Aku menulis di sela-sela rutinitasku sebagai PNS. Memang butuh effort lebih karena aku penulis otodidak yang harus berjuang sendiri. Aku tidak malu bertanya pada para senior seperti Arswendo Atmowiloto, Wiratmo Soekito dan Korrie Layun Rampan.

Sebenarnya dalam (genre) kepenulisan, aku termasuk tidak disiplin. Media massa yang bertebaran membuat aku berpacu menulis apa saja. Puisi, cerita pendek, esai, resensi buku – bahkan sekali-kali meliput acara atau wawancara. Saat itu tujuanku menulis, selain mendapatkan cuan, juga ingin eksis dan terkenal. Tapi yang utama adalah silaturahmi sesama penulis.

Tahun 1982 adalah masa keemasanku. Tulisan-tulisanku berupa puisi, cerpen dan artikel banyak dimuat di media cetak. Menakdirkan aku untuk berani masuk ke kantong-kantong sastra. Aku belajar sastra di Gedung PPK, Kuningan. Hampir setiap minggu aku datang. Di sana ada guru tetap yaitu Korrie Layun Rampan dan Slamet Rahardjo Rais. Kami kemudian berhimpun dalam wadah Studi Sastra. Beberapa anggota Studi Sastra yang sampai saat ini masih aktif antara lain Farick Ziat, Herna Soe, Teguh O Wijaya dan Guntoro Sulung.

Aku juga dua kali menjuarai lomba cipta puisi. Pertama sebagai Juara Harapan 2 Lomba Cipta Puisi Spontan di Gelanggang Remaja Bulungan. Kedua, sebagai Juara 2 Lomba Cipta Puisi yang diselenggarakan koran Sinar Harapan. Seingatku, saat itu aku masih Kelas 3 SMA. Undangan sebagai pemenang diantar langsung oleh pegawai koran Sinar Harapan. Ibu yang menerima dan berteriak gembira memanggilku yang sedang main layangan di atas genting.

Aku kembali menjadi Juara 2 Lomba Cipta Puisi yang diselenggarakan Biro Informasi Sastra Banjarmasin, 1983. Di tahun yang sama, aku menjadi juara Lomba Cipta Cerita Pendek yang diselenggarakan Koran Terbit. Hingga saat ini, entah sudah berapa banyak sertifikat sebagai juara lomba cipta puisi dan cerpen. Koran mingguan Swadesi, Penerbit Puspa Swara, Komunitas TISI, hanya beberapa contoh. Termasuk Juara 1 Lomba Cipta Puisi tentang TIM, 2021.

Nanang R Supriyatin saat menerima penghargaan sebagai Juarai 3 Lomba Cipta Puisi tentang TIM, 2022.

Bagaimana peran media di masa itu?

Tahun 1980-an hingga tahun 1990-an, adalah masa subur kepenulisan sastra di media massa cetak. Persaingan kompetitif sangat terasa. Yang tidak produktif, maka akan segera tersingkir. Banyaknya penulis dengan basic beragam, tidak membuat aku minder. Justru aku merasa dipacu. Para penulis bukan sekadar berburu cuan, namun juga nama. Para kritikus dan pengamat sastra ketika itu dianggap sebagai dewa. Pada Forum Puisi 87, Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calsoum Bachri, Abrar Yusra dan lain-lain adalah para penulis yang sangat diperhitungkan. Karena setiap catatannya menjadi semacam pembaptisan.

Kedekatanku dengan banyak penyair membuat aku makin banyak belajar dan terus belajar. Perjuangan, yang kata sebagian orang berdarah-darah, ternyata benar. Saat media cetak berjaya, aku berkarya seolah tanpa jeda. Menyiapkan kertas, amplop dan mendatangi kantor pos untuk sekadar mengirim satu tulisan. Tapi tak jarang aku sowan, datang ke redaksi media untuk mengirim naskah. Beberapa penulis dari daerah juga sering meminta kabar karya yang dimuat di media. Mereka akan bangga jika diinfokan karyanya dimuat di salah satu atau beberapa media cetak.

Kondisinya sangat berbeda dengan saat ini yang didominasi media digital.

Bisa ceritakan sedkit tentang Forum Puisi Indonesia 1987?

Forum Puisi Indonesia 87 digagas oleh Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta yang dilaksanakan di TIM, 3-5 Juli 1987. Forum itu diikuti sekitar 80 penyair se Indonesia. Menurutku itu forum yang sangat fenomenal. Usia peserta forum yang diundang mayoritas di bawah 30 tahun. Sementara nara sumbernya seperti Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, Abdul Hadi W.M. dan Abrar Yusra, memiliki wawasan sastra yang luas.

Hingga saat ini beberapa nama masih produktif dan eksis berkarya, di antaranya Acep Zamzam Noor, Nirwan Dewanto, Isbedy Stiawan ZS, M. Nasruddin Ansyori, Bambang Widiatmoko, R Mulia Nasution, Remmy Novaris DM dan Micky Hidayat.

Forum atau pertemuan sastrawan mana yang paling berkesan?

Aku banyak menghadiri undangan dan mengikuti berbagai pertemuan sastra. Misalnya, mengikuti diskusi dan baca puisi Penyair Muda di Depan Forum (1981, 1983) yang melahirkan Afrizal Malna, F. Rahardi, Eka Budianta, dll.

Aku juga mengikuti Temu Sastra 82: Dua Puluh Sastrawan Bicara, 6-8 Desember 1982. Ada Rendra, Darmanto Jatman, Sutardji Calzoum Bachri, dan Sapardi Djoko DFamono. Dari forum ini muncul nama Nirwan Dewanto, anak muda yang kemudian diperhitungkan.

Aku juga banyak menghadiri undangan sastra di TIM seperti baca puisi malam kemerdekaan (1985, 1986), menjadi peserta Forum Puisi Indonesia (1987). Tahun 1988 aku bersama Wahyu Prasetya, dan M Nasruddin Ansyori baca puisi bertajuk Tiga Penyair Jakarta Baca Puisi di Teater Arena.

Tahun 1996, aku bersama Humam S Chudori tampil sebagai pembela buku kumpulan esai Ayid Suyitno PS. Acara Sidang Esai itu dilaksanakan di PDS HB Jassin. Kemudian tahun 2014 menjadi moderator launching dan diskusi kumpulan puisi karya Marina Novianti, serta launching dan diskusi 5 kumpulan puisi karya Remmy Novaris DM, Endang Supriadi, Pudwianto Arisanto dan Nanang R. Supriyatin.

Di tahun 80-90an, karya sastra, termasuk puisi banyak didominasi kritik terhadap penguasa. Sebagai sastrawan yang juga birokrat, apakah Anda terganggu, atau malah turut menulis karya kritik?

Dalam candaan, aku kadang dibilang penyair birokrat atau penyair flamboyan. Tidak masalah. Ketika kritikus mengritik negara atau penguasa, selama kritiknya bisa dipertanggung jawabkan dan relevan, ya sah-sah saja. Polemik di media massa, yang aku ikuti, masih objektif. Tidak keluar dari jalur. Tahun 1996 aku dan teman-teman di komunitas Sastra Kita Jakarta pernah menerbitkan buku antologi 28 penyair dengan judul Sketsa Sastra Indonesia. Saat itu kritik memang mengalir deras dalam karya. Polemik di beberapa media massa juga tak henti-henti. Anak muda memang harus punya attitude. Harus berani konfrontasi dengan keadaan, meskipun harus aku akui, gagasan itu terkadang salah sasaran. Sebatas emosional belaka.

Bagaimana Anda menjalani proses kreatif yang begitu panjang?

Aku kurang paham apa itu proses kreatif. Aku tak akan bisa menjelaskan secara detail. Seperti juga saat aku ditanya, apa itu puisi. Ribuan penulis, aku yakin akan dengan mudah menarasikan apa itu puisi, apa itu proses kreatif. Ketika salah satu puisiku menjadi juara lomba cipta puisi, apakah itu yang dinamakan kreatif?

Puisi-puisi aku pernah diulas banyak kritikus. Tulisan mereka memang membawa angin segar. Tapi, dari tulisan-tulisan itu, pastilah akan berbeda pendapat. Kreativitas itu, menurutku semacam “status quo. Sebuah ruang yang sulit dipahami. Ia akan menjadi milik kita, tapi di saat yang lain ia tak lagi menjadi milik kita.

Aku lebih percaya pada karya puisi yang tak lekang oleh waktu. Sebuah puisi atau sehimpun karya puisi akan selalu hidup mengikuti zamannya. Aku yakin puisi akan dibaca dan dikenang; justru ketika penyairnya telah mati. Puisi akan selalu hidup dan mencari jalannya sendiri setelah penyair tiada.

Bagaimana pandangan Anda tentang TIM?

Ruh sastra di TIM sangat terasa ketika pertama kali aku menghadiri pembacaan puisi tunggal Yudhistira ANM Massardi (1980), Temu Penyair Indonesia (1981, 1983), atau menghadiri pertunjukkan musik. Penonton selalu banyak meskipun dikenakan tarif masuk. Ruh seni, sastra khususnya, sangat terasa. Seniman yang tampil di TIM sepertinya dikurasi dengan baik. Dewan Kesenian Jakarta sangat berfungsi. Senimannya bergengsi.

Sayangnya seniman yang pernah hidup dan menghidupi TIM, kini seolah-olah dilupakan. Ke mana para seniman yang pernah lantang bersuara itu? Siapa kini seniman yang menjadi juru bicara untuk kelangsungan kegiatan kesenian di TIM?

Silaturahmi dan guyub para seniman yang menjadikannya TIM sebagai rumah kedua, membuat suasana terasa nyaman. Tak ada sekat antara seniman. TIM benar-benar dikelola seniman dengan baik, meskipun manajemen dikelola bersama pemerintah daerah.

TIM yang saat ini sebagian dikelola Jakpro (PT Jakarta Propertindo), telah membatasi kedudukan seniman dan masyarakatnya. TIM terkesan hanya sebagai tempat transit. Masyarakat yang datang ke TIM bukan lagi ingin mempelajari seni, tapi condong pada euforia. Pelajar dan mahasiswa yang hadir ke perpustakaan hanya sekadar kebutuhan sesaat tanpa pingin tahu kualitas penampilan senimannya.

Bangunan gedung hasil revitalisasi dengan tembok-tembok kekar, seolah tanpa estetika, menciptakan imajinasi serta konstruksi keterasingan.

 

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini