PojokTIM – Perubahan di segala bidang sebagai dampak kemajuan teknologi merupakan keniscayaan. Daripada sibuk mengecam dan menyalahkan, lebih baik berdamai dengan memanfaatkan sisi positifnya dan membuang sisi negatifnya.

“Kehadiran teknologi, seperti AI (Artificial Intelligence), selalu memiliki dua sisi, seperti pisau bermata 2. Jadi kembali kepada diri kita mau menggunakan sisi yang mana. Bagi saya, perkembangan teknologi dalam seni rupa berarti peluang, bukan ancaman,” ujar Ketua Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Danny Yuwanda kepada PojokTIM di ruang kerjanya, Rabu (16/7/2025).

Kiprah Danny bukan hanya sebagai akademisi yakni dosen di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Kesenian Jakarta (FSRD IKJ). Danny juga pernah mengaplikasikan keahliannya di bidang Kriya Kayu (Art Craft) di dunia kerja dengan menjabat manajer produksi di PT Perintis Dinamika Multiniaga serta konsultan arsitek dan interior pada PT Quarta Graha Adikarsa.

“Mas nyaman nggak tidak duduk di kursi itu?” tanya Danny ketika menjelaskan tentang ergonomi, ilmu yang mempelajari interaksi antara manusia dengan elemen-elemen lain dalam suatu sistem kerja, termasuk peralatan, lingkungan, dan tugas-tugas yang dilakukan. Tujuannya adalah untuk merancang sistem kerja yang sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan manusia, sehingga dapat meningkatkan kenyamanan, efisiensi, dan keselamatan dalam bekerja.

Berikut petikan wawancara PojokTIM dengan Danny Yuwanda.

Bidang apa saja yang pernah Anda dikerjakan di luar kampus?

Saya banyak mengerjakan desain artwork untuk interior, karena spesialis saya di bidang kriya kayu yakni seni kriya, seni membuat kerajinan kayu dengan keterampilan tangan yang mengutamakan keindahan dan nilai guna.

Saya juga membuat lukisan dengan motif relief dimensi. Menggunakan cat campuran, antara cat air dan cat minyak. Secara warna, saya suka warna berlapis sehingga tampak memiliki dimensi kedalam. Saya juga suka dengan gradasi warna di mana prosesnya cukup rumit yang tidak sekali jadi. Menggunakan warna dasar putih,prosesnya diawali warna muda, lalu tunggu sampai kering, sebelum dilayer lagi.

Pernah pameran?

Saya pernah pameran tunggal di Yogyakarta tahun 2018 serta pameran bersama karya patung dan kriya di galeri-galeri Jakarta dan Yogyakarta. Pameran terakhir saya di Yogyakarta awal tahun 2025 bersama Undagi dengan tema Cakra Manggilangan.

Apa tantangan di bidang seni rupa, terutama kriya kayu?

Tantangannya banyak dan berat dengan semakin tingginya persaingan medan Seni rupa di Jakarta, apalagi di wilayah Yogyakarta. Craftmanship di Yogyakarta dan Solo memiliki ide-ide yang sangat liar. Mereka juga ulet dalam berkarya, sangat detail dan halus pengerjaannya. Benda-benda yang harfiahnya hanya elemen estetis, memiliki konsep yang sangat jeli.

Bagaimana perkembangan seni ukir?

Seni ukir merupakan bagian dari kriya kayu karena biasanya bikin bentuk atau motif. Seni ukir kita sangat dipengaruhi budaya Jawa dan China. Khususnya Seni ukir di Yogyakarta dan Solo biasanya terkait dengan elemen estetis yang berhubungan dengan budaya Jawa seperti bentuk mahkota, cakra, serta elemen-elemen keraton baik Solo maupun Yogyakarta. Sedangkan pengaruh China kuat di Kudus dan Semarang. Hal itu dapat kita temui pada bangunan klenteng di mana dapat kita temui gambar swastika, naga, awan yang seperti megamendung, dan juga motif-motif batik.

Apakah seni lukis juga bagian dari seni rupa?

Seni melukis termasuk akar seni rupa bersama seni grafis, seni patung, seni keramik, dan seni kriya. Seni lukis Dengan dasar pengertian yang sama, seni lukis adalah sebuah pengembangan yang lebih utuh dari menggambar, termasuk seni murni yang memiliki banyak cabang seperti lukis kaca, lukis cat minyak, dan cat air. Lalu seni grafis yang meliputi cetak tinggi atau linocut, cetak saring, cetak sablon, dan cetak datar.

Seni kriya yang juga merupakan seni murni menggunakan bahan-bahan seperti seni keramik dan seni patung dalam wujud 3 dimensi. Selain kayu, logam, tekstil, kulit, batu yang biasa digunakan untuk patung. Ada juga kriya dengan bahan khas misal dari kulit telur atau pecahan kaca.

Bagaimana ekosistem seni rupa di Jakarta?

Sekarang semakin banyak art fair dengan beragam cabang Seni rupa seperti pameran lukisan, pameran patung, dan lain-lain. Namun kebanyakan (beraliran) kontemporer, menggunakan mix media. Misal kita bikin relief atau patung, ada unsur kinetik yang bisa bergerak seperti pada patung dengan objek binatang, seperti ikan, atau angsa. Unsurnya di luar tradisi. Berbeda dengan beberapa daerah lain yang kebanyakan masih mempertahankan budaya seni tradisi.

Apakah ada “pintu masuk” bagi orang awam untuk memahami seni rupa?

Biasanya diawali dengan membaca pengantar pameran, caption-nya, kemudian visualnya. Namun saat kita melihat langsung, bisa saja punya persepsi sendiri. Tidak apa-apa karena pada dasarnya, semua karya seni memiliki banyak tafsir.  Kalau saya melihat sebuah karya seni, selain bentuk, juga saya lihat warnanya. Biasanya warna digunakan untuk menggambarkan suasana atau pesan yang ingin disampaikan penciptanya. Contohnya, warna merah secara psikologi bertanda hati-hati, butuh perhatian, dan juga simbol kemarahan.

Apa program Komite Seni Rupa DKJ?

Komite Seni Rupa DKJ selain advokasi juga mewadahi semua jenis seni rupa, termasuk grafiti dan mural. Jakarta Biennale,  misalnya, merangkul semua komunitas. Fokus kita masih pada pameran-pameran agar karya mereka go public. Tahun 2024 kemarin, kami menggelar 50 tahun Jakarta Biennale selama sebulan. Kita merangkul semua komunitas karena konsepnya lumbung komunitas. Banyak sekali karya yang dipamerkan, diatur oleh kurator yang sudah berpengalaman.

Untuk program 2025 ini kami juga membuat serial video dalam konteks sejarah seni rupa. Sejarah para pendiri ekosistem kesenian tahun 70-an seperti Nahar, Roesli, Oesman Effendi dan Zaini.

Ada juga pelatihan menulis kreatif, spesialis kuratorial dan kritik seni. Untuk pelatihan seni lukis, tidak kami lakukan. Paling-paling kami mendukung komunitas yang membuat pelatihan seperti yang dilakukan Deskov Sketcher, komunitas sketsa dan seni rupa yang aktif di Jakarta.

Bagaimana dengan seniman yang tidak bergabung dalam komunitas?

Bagi seniman yang tidak bergabung dengan komunitas tentu harus lebih giat datang ke galeri, menawarkan karya-karyanya. Atau menggunakan sosial media seperti Instagram untuk mempromosikan karyanya. Mungkin saja menarik perhatian bagi galeri atau kolektor tertentu. Tapi biasanya dia harus memiliki karya yang bagus dan berkarakter. Contohnya, lukisan saya yang dibuat di atas kanvas dari potongan-potongan kayu limbah, dijejer. Karyanya berbentuk repetisi, dari panel satu ke panel berikut mengandung cerita.

Apakah masih ada yang mau membeli lukisan?

Sekarang sudah banyak kolektor muda. Mereka bukan hanya emerging seniman, tapi juga kolektor.

Kolektor-kolektor itu mempunyai galeri pribadi?

Sebagian punya galeri sendiri. Tapi galeri pribadi atau kolektor yang punya galeri, biasanya menggandeng seniman. Namun mereka akan mengajak seniman yang karyanya disukai, misalnya karena warna lukisannya menarik serta memiliki karakter kuat. Bagi seniman freelance, yang ingin memamerkan karyanya bisa memanfaatkan galeri umum seperti Bentara Budaya, Galeri Cipta I dan Cipta II. Semua jenis karya seni rupa bisa dipamerkan di situ.

Lagi pula memamerkan karya tidak perlu di galeri besar, Galeri bisa dimanapun seperti ruang-ruang kolektif, coffee shop, stasiun MRT, bahkan di jalan dan ruang-ruang publik lainnya.

Apa tidak malah menjatuhkan citra karya seni?

Kita melihat ruang publik sebagai lab. Jadi tidak harus di sekolah formal. Kita juga pernah menggelar pameran di stasiun MRT Dukuh Atas BNI. Kita pilih tempat itu karena mobilitasnya tinggi, tempat transit penumpang. Kita mengajak seniman perempuan, membawa gaya berkaryanya masing-masing. Salah satu pelukis perempuan, Dian Harigelita, memamerkan lukisan cat air. Kualitasnya sangat bagus. Dia melukis perempuan MInang yang digambarkan sebagai perempuan kuat. Ada juga mural, patung wayang yang bercerita tentang perempuan Jawa, lukisan abstarak dan hiperrealitas.

Pameran itu disambut antusias oleh pengguna MRT. Traffic-nya tinggi. Sambil menunggu kereta, mereka melihat-lihat lukisan. Beberapa orang yang kita tanya, memberikan respon sangat baik.

Banyak yang khawatir nantinya jika bisa bikin lukisan pakai AI sehingga posisi pelukis terpinggirkan. Tanggapan Anda?

Yang kita perlukan adalah menjaga keseimbangan antara sisi positif dan negatifnya dari setiap teknologi. AI memiliki sisi positif, di mana orang yang tidak bisa menggambar bisa merealisasikan konsep gambar dengan bantuan AI. Untuk peruasahaan agency periklanan, AI juga membantu menekan budget ketika membuat iklan, film pendek, atau materi lain untuk promosi.

Sisi buruknya, kreatifitas orang bisa diukur melalui AI. Gaya animasi Gibli dari Jepang bisa dibuat dengan bantuan AI. Tinggal menulis perintah di aplikasi AI. apakah mau karakter seperti Doraemon, Flintstones atau tokoh Marvel, sudah langsung jadi dalam waktu sangat singkat.

Tapi apa lantas kita menilai itu sebagai karya seni? Sebagian mungkin beranggapan demikian, namun bagi yang lain itu pencurian karena dihasilkan dari jutaan gambar atau karakter yang sudah ada.

Nah, dari pada waktu kita dihabiskan untuk perdebatan tanpa akhir, menurut saya lebih baik kita bersikap bijak. Kemajuan teknologi kita terima, termasuk dalam seni. Bukankah kita juga menerima kehadiran cat yang dihasilkan oleh teknologi sehingga kita tidak perlu membuat ramuan sendiri untuk mendapatkan warna tertentu? Kita juga tidak pernah mempermasalahkan hadirnya kuas “ajaib” yang bisa mengeluarkan warna sendiri. Namun demikian yang manual, seperti menggambar secara manual, juga harus dipertahankan. Seniman harus mampu memanfaatkan teknologi tanpa kehilangan esensi dari keterampilan alaminya.

Apa pesan untuk perupa Generasi Z yang kini dimanjakan dengan kemajuan teknologi?

Kami rajin memberikan konten sejarah seni rupa kepada Gen Z. Lukisan-lukisan terkenal yang ada sekarang tidak dibuat instan. Para senimannya berjuang, dari galeri ke galeri. Ini menurut saya perlu diajarkan kepada generasi sekarang agar tidak terlena. Baru bikin satu lukisan, bahkan dengan bantuan AI, lalu diunggah di Instagram atau Twitter dan merasa sudah menjadi pelukis. Terlebih ketika lukisannya tadi mendapat banyak pujian. Dengan adanya pemahaman yang benar tentang seni rupa, dan mempelajari sejarahnya, mudah-mudahan generasi muda yang tertarik pada bidang seni rupa, memiliki semangat untuk terus belajar dan berkembang tanpa ketergantungan pada teknologi.

Bagaimana Anda melihat TIM yang sekarang?

Hampir semua cabang kesenian ada di TIM. Demikian juga ekosistemnya. Namun saat ini, ruang-ruang ekspresinya sangat terbatas karena dipegang oleh perusahaan yang orientasinya pada keuntungan. Padahal mestinya TIM menjadi tempat yang bebas, menjadi rumah bagi seniman.

 

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini