PojokTIM – Wajah Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Fadjriah Nurdiarsih tetap semringah meski telah seharian berkegiatan. Langkahnya enerjik, sambil sesekali menyapa teman-temannya yang ditemui usai menjadi pembicara dalam acara Peluncuran Festival Sastra HB Jassin di Aula PDS HB Jassin, Gedung Ali Sadikin, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jumat (4/7/2025) .
“Jadi wawancaranya?” sapa Mpok Iyah, sapaan akrab Fadjriah Nurdiarsih, kepada PojokTIM.
Sebelum menjadi anggota DKJ, Fadjriah Nurdiarsih berkiprah sebagai editor bahasa di sejumlah media, cetak dan stasiun televisi. Di sela kesibukannya, Mpok Iyah tetap menyempatkan diri mengasah kemampuan di bidang sastra hingga lahirlah buku kumpulan cerpen Rumah Ini Milik Siapa? Antologi yang terdiri dari 20 cerpen itu diluncurkan pada 22 Januari 2021.
Fadjriah Nurdiarsih memang dikenal gigih mengangkat isu-isu Betawi. Bukan hanya sibuk menyalahkan pihak lain, Mpok Iyah terjun langsung mencari akar masalah dari munculnya stereotipe negatif orang Betawi, terutama yang berhubungan budaya membaca dan menulis. Fadjriah Nurdiarsih pun berhimpun dan berdiskusi dengan tokoh-tokoh Betawi untuk mengubah stigma yang terlanjur menempel dan dianggap lumrah.
“Saya berusaha mencari tahu melalui diskusi-diskusi terbatas yang menghadirkan para pakar di bidangnya. Setelah tahu permasalahannya, kita bisa mengurai dan meluruskan, jika memang faktanya tidak seperti yang dipahami oleh orang luar,” ujar Mpok Iyah.
Berikut petikan wawancara PojokTIM dengan Fadjriah Nurdiarsih di kantor DKJ, Kompleks Taman Ismail Marzuki.
Apa yang mendorong Anda bergabung dengan DKJ?
Saya sudah lama tahu tentang DKJ, tapi sebelumnya tidak pernah berpikir akan berkiprah di DKJ, apalagi menjadi anggota Komite Sastra. Kalau secara karier, saya memang dekat dengan sastra karena kuliahnya di Jurusan Sastra Indonesia di Universitas Indonesia (UI). Setelah lulus pun sering kali berhubungan dengan kata-kata.
Awalnya menjadi editor di Komunitas Bambu. Bukan hanya mengurusi saltik (salah ketik) dan kata-kata, tapi juga memikirkan apakah naskah itu layak diterbitkan atau tidak, bagaimana strategi promosi, dan kapan mau diterbitkan.
Setelah itu berkiprah di RCTI tahun 2009-2010, lalu bekerja di Tempo.co selama 5 tahun (2011-2015), dan terakhir dari 2015-2023 bergabung di Liputan6 SCTV, dengan posisi terakhir sebagai Editor Bahasa. Tapi selama berkarier di media, saya tidak pernah lepas dari dunia sastra, sesuatu yang sudah saya akrabi sejak kuliah. Saya sudah ikut menulis dalam 2 buku antologi puisi dan menjadi pendiri Yayasan Baca Betawi bersama Rahmad Sadeli (kini almarhum), pemilik TBM Pustaka Betawi. Saya menikmati acara baca puisi dan pernah melakukan baca puisi bersama teman-teman Baca Betawi di Ancol, Car Free Day, Condet, dan tempat-tempat lain.
Setelah menjadi pengurus Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB), saya bikin buku kumpulan cerpen Rumah Ini Punya Siapa? pada 2021 yang diterbitkan oleh Pustaka Kaji. Buku antologi itu berisi karya-karya saya yang sudah pernah dimuat di sejumlah surat kabar seperti Pikiran Rakyat dan Femina, tetapi sebenarnya banyak juga karya baru.
Mungkin hal-hal itu yang pada akhirnya mendorong saya bergabung dengan DKJ, khususnya di Komite Sastra.
Anda sangat concern dengan isu-isu Betawi?
Saya suka diskusi tentang literasi Betawi. Pertama bergabung dengan Perkumpulan Betawi Kita, sebagai pendiri bersama JJ Rizal, Roni Adi, dan Gusman Natawijaya. Kami banyak membahas isu-isu Kota Jakarta, termasuk etnis Betawi.
Kalau ada yang bilang etnis Betawi kaum main otot, bukan main otak, maka stigma itu yang coba kita hapus melalui berbagai diskusi. Sejak 2018, Betawi Kita sudah menyelenggarakan 40 diskusi dengan mengangkat berbagai tema. Misal ketika membahas siapa sih orang Betawi, maka kami menghadirkan narasumber yang kompeten di bidang itu. Demikian juga saat membahas hubungan orang Betawi dengan tanah, dengan air. Menariknya, kami patungan untuk membiayai kegiatan diskusi, tidak mengandalkan bantuan pihak lain, sehingga kami bisa leluasa membahas persoalan yang diangkat tanpa terbebani pesan sponsor.
Ada yang berpendapat, Betawi itu bukan suku, tapi budaya. Tanggapan Anda?
Budaya adalah identitas suatu masyarakat atau suku. Kalau Betawi dibilang bukan suku, lihat data kependudukan. Dalam catatan BPS (Badan Pusat Statistik), sejak 1930 sudah dicatat adanya etnis Betawi di Jakarta. Memang, kebudayaan Betawi sangat khas, multikultur. Bisa dibilang Betawi adalah adonan dari berbagai kebudayaan yang ada di Jakarta di masa lampau.
Sebagai orang Betawi, saya merasa tidak sendirian karena dari awal terbentuknya budaya Betawi sudah bercampur dengan budaya dari berbagai suku bangsa, baik yang sudah ada di Jakarta maupun yang didatangkan oleh pemerintah VOC untuk membangun kota sejak abad 17. Hal itu terjadi karena masyarakat Betawi sangat terbuka, toleran, dan bisa menerima pengaruh budaya dari suku-suku lain.
Bagaimana Anda melihat literasi Betawi?
Literasi ada yang lisan, ada yang tulisan atau teks. Kalau yang lisan sudah muncul sejak ada jampe-jampe, mantra, yang dilakukan oleh dukun saat melakukan pengobatan. Jadi, literasi lisan Betawi sudah ada sejak nenek moyang. Ada juga yang berbentuk syair, pantun, sahibul hikayat, buleng, dan lagu-lagu seperti pada kesenian Gambang Kromong. Misalnya lagu “Kicir-Kicir” dan “Jali-Jali”. Itu juga bagian dari sastra. Kemudian yang literasi tertulis, kita bisa lacak sampai akhir abad 18, pada naskah Melayu Klasik Pecenongan karya Muhammad Bakir. Lalu karya pengarang keturunan Tionghoa, misalnya “Syair Kereta Api” karya Tan Teng Kie. Setelah itu, yang paling fenomenal tentu karya Firman Muntaco hingga SM Ardan yang dikenal sebagai penyair, cerpenis, novelis, esais, dan penulis drama. Tapi memang, sampai saat ini penulis Betawi masih sangat sedikit.
Apa penyebab minimnya sastrawan Betawi?
Pertama, karena ada pembauran antara bahasa yang digunakan, yakni Melayu dialek Jakarta. Kedua, banyak penulis Betawi yang mengindentikkan dirinya sebagai penulis Indonesia. Faktor ketiga, tidak jelas klasifikasi apakah penulis yang menceritakan orang Betawi atau penulis yang menggunakan bahasa Betawi bisa disebut sebagai sastrawan Betawi atau sastrawan Indonesia.
Fadjriah Nurdiarsih bersama buku karyanya. Foto: Antara
Sekarang penulis sangat mudah menerbitkan buku secara mandiri tanpa melibatkan editor. Bahkan banyak penebit indie yang tidak mempunyai editor. Dengan kondisi seperti itu, masih pentingkah editor?
Di satu sisi, kemudahan orang menerbitkan buku itu bagus karena pemikiran orang perlu dibaca dan didengarkan. Tetapi ketika diterbitkan menjadi sebuah buku, tentu perlu peran editor. Sebab buku punya sistematika. Bahwa tidak semua tulisan bisa diterbitkan begitu saja. Mungkin perlu gambar, urutan-urutannya yang menarik dan bagaimana mengemasnya, yang memang hanya dipahami oleh orang-orang yang berkecimpung di dunia perbukuan.
Kemudian secara bahasa. Karena kalau bahasanya jelek, orang tidak menangkap pemikirannya. Jadi, perlu ada editor bahasa supaya gagasannya tersampaikan. Terakhir, tentu menyangkut penilaian layak atau tidak untuk diterbitkan. Itu bidangnya editor. Sebab ada naskah-naskah yang cocoknya hanya sebagai artikel. Ketika dipaksakan menjadi buku, apakah akan menjumpai pembaca, apakah punya segmen sendiri. Jadi tugas editor itu kompleks, tidak hanya mengurusi saltik atau tata bahasanya saja.
Tapi kita paham, ada juga orang-orang yang hanya ingin menuliskan sesuatu, mewariskan pemikiran atau nasihatnya, dalam bentuk buku. Namun, tetap saja perlu editor supaya pengemasannya layak dibaca.
Apaka ada perkumpulan editor?
Karena saya di media, ada Forum Bahasa Media Massa yang diketuai Uksu Suhardi dari Tempo. Namun, menurut saya, sekarang banyak media yang tidak peduli lagi dengan bahasa. Banyak jabatan editor di media massa yang diefisiensikan atau dihapus. Tidak perlu editor bahasa lagi karena bagi pemilik media atau penanggung jawabnya yang penting ada yang menulis berita.
Sejak beberapa tahun terakhir, Badan Bahasa juga tidak lagi memberikan anugerah bagi media-media berbahasa terbaik. Dulu ada penghargaan itu, sehingga memacu orang media untuk menggunakan bahasa yang baik dan benar dan saran editor benar-benar didengarkan. Ada beberapa media yang langganan mendapatkan anugerah itu seperti Kompas, Tempo, Republika, Pikiran Rakyat, Tribun Jabar (semuanya media cetak-red) karena mereka memang sangat menjaga dan tertib dalam berbahasa Indonesia laras jurnalistik.
Apa saja progran Komite Sastra?
Kami sedang melanjutkan program tahun lalu dan juga program dari pengurus komite periode sebelumnya. Ada beberapa kegiatan yang memang merupakan legacy seperti sayembara manuskrip novel. Komite Sastra juga baru saja menyelenggarakan program Membaca Pram. Ini merupakan program untuk memperingati 100 tahun sastrawan dengan cara membaca karya-karyanya.
Program lain adalah Sastrawan Masuk Sekolah. Saat ini sudah berjalan di 6 sekolah dari 15 sekolah yang direncanakan. Kita ingin sastra lebih dekat dengan siswa. Sebab yang selama ini yang disasar cuma penulis atau sastrawan, sementara pembinaan di sekolah masih kurang.
Tahun ini kita juga akan mengadakan Jakarta International Literary Festival, agenda tahunan DKJ. Saat ini kami sedang memilih para penulis yang akan diundang. Sayangnya program ini kadang terlaksana, kadang tidak. Tergantung dananya karena anggarannya dari Pemerintah Provinsi Jakarta. Padahal ini penting, karena satu-satunya festival sastra di Jakarta. Berkat ini juga Jakarta bisa meraih predikat Jakarta City of Literature oleh UNESCO.
Apa yang dilakukan Komite Sastra untuk menjaga marwah sayembara manuskrip novel?
Memang dalam setiap penjurian selalu ada kritik. Kita tidak bisa mengabaikan, bahkan menjadi pertimbangan kami juga dalam memilih juri. Misal, untuk jadi juri harus sudah memiliki reputasi nasional, memiliki pengalaman di atas 10 tahun, dan bacaannya luas sehingga bisa menilai mana karya yang baik serta mana yang tidak memenuhi standar.
Perlu dipahami, peminat sayembara manuskrip novel DKJ sangat besar. Untuk 2025, panitia menerima 792 naskah. Padaha,l hanya 6 yang jadi juara, 3 juara utama dan 3 juara harapan. Jadi saingannya sangat banyak. Sebelum di DKJ, saya juga pernah juga ikut sayembara, dan tidak lolos. Dari sini saya berkaca bahwa sayembara di DKJ itu berat, banyak saingan. Sebab, tidak ada batasan peserta, siapa saja boleh ikut, termasuk yang sudah pernah menang.
Apakah ada program lanjutan untuk para pemenang?
Biasanya karya pemenang sudah diburu para penerbit. Mereka langsung menghubungi para pemenang. Padahal, itu seperti masuk hutan karena penerbit belum membaca naskahya. Penerbit menganggap karya pemenang sayembara DKJ pasti berkualitas, sehingga merasa harus bisa jadi penerbitnya. Itu merupakan bentuk apresiasi dari penerbit yang menganggap penilaian dewan juri DKJ sangat baik dan terpercaya.
Dari situ, Komite Sastra akan membuat pertemuan antara penerbit dengan penulis, terutama yang karyanya masuk unggulan. Mungkin nanti kita ambil dari 10-15 besar, di luar para pemenang. Kita pertemukan dan bikin bikin diskusi antara penulis dengan penerbit. Dengan demikian penulis bisa memilih penerbit mana yang paling sesuai, dan penerbit juga bisa memilih karya yang menarik.
Bagaimana ekosistem sastra di TIM?
Ekosistem sastra itu sangat luas, berlapis dan beragam. Dan banyak suara juga. Kami sadar Komite Sastra DKJ sering dianggap melakukan kerja sendirian. Bahkan disebut tidak mewakili aspirasi para sastrawan. Memang program kami tidak terlalu banyak, namun sangat melelahkan. Satu program bisa menghabiskan waktu hingga berbulan-bulan.
Yang pasti kami tetap berusaha mendengarkan aspirasi publik. Sastrawan Masuk Sekolah adalah jawaban dari suara-suara yang kami terima. Kami juga berusaha menciptakan ruang pengetahuan baru melalui kegiatan riset, festival-festival, dan juga menyuarakan isu-isu sastra.
Mungkin kerja kami tidak sempurna. Kami tetap berharap untuk dibantu, didorong, disokong karena kita seperti berjalan di jalan berduri. Setiap langkah penuh pertimbangan. Namun percayalah, apa pun yang dilakukan Komite Sastra bukan untuk mengecilkan yang lain. Kita ingin bersama-sama dengan para sastrawan, penggiat dan komunitas sastra, khususnya yang ada di TIM, memikirkan yang terbaik untuk ekosistem sastra di Jakarta.