PojokTIM – Angin sore menyapa dedauan di sekitar teater terbuka Tuti Indra Malaon di kompleks Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) Taman Ismail Marzuki (TIM). Dengan pakaian khasnya – baju surjan dan blangkon motif batik, budayawan dan teaterawan Jose Rizal Manua memberi arahan pada anak didiknya yang tengah berlatih membaca puisi.
“Puisi itu dunia imajinasi. Harus menjadi imajinasi di kepala penonton. Jangan dijelas-jelaskan. Tapi dengan tekanan (suara), dengan diksi, penonton bisa merasakannya. Dan biarkan penonton menangkapnya dengan cara masing-masing,” seru Mas Jose, sapaan akrab pendiri Teater Tanah Air itu, Rabu (5/6/2024).
Sesekali Jose mendekat, berbincang serius dengan anak didiknya. Setelah itu anak didiknya dbiarkan menerjemahkan sendiri isi puisi sesuai pemahamannya.
“Peristiwa (puisi) harus ada dalam imajinasi penonton. Jangan dijelaskan misal ‘aku’ dengan memegang dada, langit menunjuk ke atas. Kan banyak yang begitu. Pembacaan yang doble informasi (dari teks dan gerakan) tidak pernah bagus,” ujar Mas kepada PojokTIM di sela-sela latihan.
Menurut Jose, tugas seorang pelatih baca puisi bukan hanya memberi interpretasi, namun membangun imajinasinya, menggali kekayaan semangat yang tersimpan dalam diri anak didiknya. Tujuannya agar ketika membaca puisi berbeda dengan yang lain, bahkan berbeda dengan gaya pelatihnya.
“Jangan dikasih contoh. Kita bangun imajinasi dia. Kita bangun tenaga ucapannya. Setiap pembaca puisi harus punya kepribadian dan ciri khas sendiri,” terang Mas Jose seraya menyebut nama beberapa penyair besar seperti WS Rendra, Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabbar, dan lain-lain yang memiliki ciri khas sendiri ketika tampil di atas panggung.
Jose berharap para guru, dan pelatih baca puisi tidak mengarahkan gaya tertentu, tapi membiarkan anak didiknya menemukan gayanya sendiri. Misalnya dengan menggunakan metode jembatan keledai sehingga potensi yang ada dalam diri anak didiknya benar-benar keluar.
“Contohnya kita suruh membaca dengan marah. Sebenarnya tidak mungkin bisa marah karena tidak ada kata marah dalam puisinya. Tapi dengan metode jembatan keledai seperti itu, maka semangatnya akan keluar,” tegas Mas Jose.
Setelah hampir setengah jam Jose melatih artikulasi, intonasi, kejelasan ucapan, serta gambaran mengenai pesan yang tersirat dalam puisi, anak didiknya benar-benar berubah. Meski tetap dengan gayanya sendiri, setiap gerak tubuhnya sudah memiiliki makna sesuai interpretasi naskah. Intonasi suaranya pada kata-kata yang membutuhkan penekanan, tidak lagi pecah dan belibet.
Jose sedang melatih di teater terbuka Tuti Indra Malaon di dalam kawasan Taman ismail marzuki. Foto: Ist
Selesai melatih, Jose Rizal Manua mengajak PojokTIM berbincang di depan kios bukunya yang masih berada dalam kawasan TIM. Berikut petikannya.
Sejak kapan Anda menekuni teater anak hingga kemudian mendirikan Teater Tanah Air?
Sebelum mendirikan Teater Tanah Air, aku sudah melatih Teater Adinda, sejak tahun 1975. Aku yang mendirikan bersama teman-teman di sini (TIM). Pada festival teater anak-anak se-Jakarta, Teater Adinda ikut dan meraih juara pertama. Sampai 4 tahun berturut-turut menjadi juara sehingga kemudian tidak boleh ikut lagi.
Ketika para pemain Teater Adinda beranjak remaja, tidak ada regenerasi. Kebetulan juga muncul masalah, semua merasa memiliki hingga akhirnya aku tinggalkan. Setelah 4 tahun, dari 1982-1986, menjadi sutradara drama anak-anak pada Sanggar Legenda di TVRI, aku bikin grup teater sendiri, tanpa dicampuri atau mencampuri yang lain. Teater Tanah Air aku dirikan pada 14 September 1988. Secara rutin, Teater Tanah Air bikin pertunjukan di TIM.
Teater Tanah Air sudah sering pentas di Jepang dan berbagai negara Eropa. Bagaimana awalnya bisa mengikuti festival bergengsi di luar negeri?
Tahun 2004, tiba-tiba Teater Tanah Air dapat undangan dari Jepang untuk mewakili Indonesia pada The Asia-Pacific Festival of Children’s Theatre di Toyama. Festival teater anak-anak ini diikuti oleh 22 negara. Aku tidak tahu kriteria apa yang menjadi tolok-ukur mereka mengundang Teater Tanah Air. Yang jelas, aku segera membuat persiapan, termasuk meminta Mas Danarto membuatkan naskah drama untuk anak-anak. Ternyata naskah dari Mas Danarto hanya berupa 10 gambar tanpa kata-kata. Ada gambar egrang, boneka gendong, anak-anak main calung, kuda kepang, pohon beringin, sayur-mayur dan lain-lain.
Aku sempat tanya ke Mas Danaryo, dialoge endi, Mas? Dijawab, tidak ada. Lalu aku tanya lagi, urutannya bagaimana? Mas Danarto jawab, sak karepmu! Wah, bingung aku mengolahnya. Namun akhirnya jadi juga sebuah pementasan. Judulnya Teater Seni Rupa Bumi di Tangan Anak-anak atau Earth Within Children’s Hand.
Bagaimana sambutan di Jepang?
Teater Tanah Air mendapat giliran pentas pada 5 Agustus 2004 di Toyamakenakaoka Bunka Hall, gedung teater di kota Toyama, Jepang. Pada saat Teater Tanah Air tampil, tepuk tangan bergemuruh. Suasana dalam gedung teater sangat meriah oleh suara anak-anak. Mereka paham dengan ceritanya sehingga sambutannya sangat mengejutkan. Teater Tanah Air meraih predikat The Best Performance dan medali emas. Ini merupakan pementasan perdana di Jepang. Setelah itu Teater Tanah Air beberapa kali mendapat undangan pentas Jepang.
Setelah itu Teater Tanah Air mendapat undangan tampil di festival tingkat dunia?
Tahun 2006, Teater Tanah Air diundang 9th World Festival of Children’s Theatre yang berlangsung tanggal 14 – 22 Juli 2006 di Lingen (Ems), Jerman. The Welt-Kindertheater-Fest atau Festival Teater Anak-anak se- Dunia adalah festival teater anak-anak internasional pertama yang menampilkan pertunjukan eksklusif oleh anak-anak. Festival pertama berlangsung di Lingen (Ems), Jerman pada tahun 1990. Sejak itu, dipentaskan setiap dua tahun sekali, lokasi bergantian antara Kota Lingen (Ems), dan kota-kota lain di seluruh dunia.
Ini merupakan kehormatan karena sejak diadakan festival di Lingen (Ems) tahun 1990, Indonesia belum pernah mengikuti. Oleh karenanya, aku mempersiapkan dengan sungguh-sungguh melalui serangkaian latihan untuk pembekalan, agar nantinya anak-anak mampu mempresentasikan, mengekspresikan dan mengaktualisasikan diri dalam pementasan.
Apa masih menggunakan naskah yang dipentaskan di Toyama, Jepang?
Kali ini aku minta Mas Putu Wijaya yang membuat naskahnya. Setelah jadi, naskah itu diberi judul WOW, lengkap dengan dialognya. Naskah WOW dimainkan ke dalam sebuah pementasan visual yang imajinatif; Spectacle WOW A Visual Theatre Performance. Naskah WOW sangat istimewa, dibangun oleh struktur dramatik yang unik. Beberapa seni tradisi Indonesia; Jawa, Bali, Dayak, Papua berkelindan dalam peertunjukan.
Aku melatih anak-anak selama 7 bulan. Aku selalu katakan kepada anak-anak, bahwa kita tidak hanya akan menyelenggarakan pementasan, tapi akan membuat sejarah.
Pentas dibuka dengan permainan wayang naga yang bergerak lambat hendak menerkam bulan purnama. Saat itu anak-anak dari seluruh penjuru dunia sedang bermain bersama di bawah sinar bulan purnama. Dalam bermain mereka melupakan perbedaan dan belajar untuk saling tolong menolong.
Tetapi karena keasyikan bermain, datang bahaya. Bulan dicuri dan dimakan oleh Sang Kala. Anak-anak panik dan itu membuat mereka saling salah menyalahkan sehingga mereka semakin runyam. Hampir saja mereka dimusnahkan oleh Nenek Siluman. Untunglah yang paling kecil segera sadar dan berteriak mengingatkan. Mereka kembali bersatu dan dengan mudah menyingkirkan semua bahaya.
Mereka kemudian melepas bulan pulang ke rumahnya. Mereka pun sudah dijemput orang tua untuk kembali ke dalam kehidupan nyata sesudah bermain di alam imajinasi.
Bagaimana tanggapan penonton di Lingen (Ems)?
Sangat luar biasa. Bahkan tiket pertunjukan habis. Mereka sangat antusias karena penampilan dari Indonesia berbeda dengan teater anak-anak dari negara lain yang memainkan naskah orang dewasa, atau hanya parade kesenian negaranya.
Teater Tanah Air menjadi satu-satunya tim yang berhasil mengaduk-aduk emosi penonton. Saat adegan pantomim berjalan, semua penonton tua maupun muda tertawa lepas. Dan ketika cerita bergulir pada saat anak-anak sedih karena kehilangan bulan setelah naga memakannya, tidak sedikit penonton yang ikut menangis. Saya sebagai sutradara, Jecko Siompo sebagai penata gerak, dan Idrus Madani sebagai penata musik serta kebolehan anak-anak berperan di atas panggung terbukti berhasil menghadirkan sisi dramatis dari naskah WOW.
Ketua Internasional Amateur Teater Asosiation Norbert Radermacher menyebut penampilan Indonesia berbeda dengan yang lain. Salah satu tokoh teater anak di Jerman itu memuji penampilan Teater Tanah Air sebagai yang terbaik sepanjang festival.
Kritikus Teater Raphael Bonitz dari Jerman dalam review-nya menyebut penampilan Teater Tanah Air dalam pertunjukan Spectacle WOW A Visual Theatre Performance di Festival Teater Anak Sedunia (World Kinder Theatre) memberi contoh bagaimana teater anak-anak dapat ditampilkan dengan penuh keceriaan dan kegembiraan, dengan keseriusan dan keinginan anak-anak untuk bermain teater.
Anda pernah mengatakan bahwa teater anak harus menggunakan simbol-simbol atau bahasa universal. Bisa dijelaskan?
Ya, harus menggunakan simbol-simbol atau bahasa yang bertolak dari memori kolektif dunia. Misalnya lampu lalu lintas. Kita pergi ke Amerika, atau Rusia, pasti kita berhenti ketika lampu merah. Demikian juga dengan robot, dinosaurus, dan lain-lain. Tantangannya adalah bagaimana menggarap memori kolektif itu sehingga ketika memberikan simbol, orang di seluruh dunia paham.
Seperti ketika di dalam pementasan aku menggunakan simbol bulan, misalnya. Semua orang di seluruh dunia tahu fungsi bulan, keindahan, dan romantismenya.
Apakah tidak mereduksi kekayaan lokal?
Tidak. Misalnya saat main di Toyama Jepang. Dalam cerita Bumi di Tangan Anak-anak, ada dinosaurus yang mengejar anak-anak. Pada adegan berikutnya, tampil pemain kuda lumping. Dinosaurusnya lari begitu melihat kuda lumping. Jadi dinosaurus takutnya kepada kuda lumping. Dari adegan itu aku sedang menyampaikan pesan bahwa kearifan lokal bisa mengatasi semuanya.
Setelah di Jepang dan Jerman, apakah Teater Tanah Air pernah tampil di negara lain?
Iya, Teater Tanah Air sudah tampil di banyak negara seperti Rusia, India, Maroko, Swiss, Kanada, Malaysia, Singapura, dan lain-lain. Naskah yang dipentaskan selalu dibuat oleh Mas Putu Wijaya. Meski ada dialognya, namun sedikit, lebih banyak tarian dan nyanyian karena penontonnya dari berbagai negara. Jadi visualnya yang diperkuat. Dalam setiap pementasan di luar negeri, Teater Tanah Air selalu meraih penghargaan.
Jose membaca puisi dalam sebuah acara komunitas sastra. Foto: Ist
Apa tantangan terbesar ketika melatih anak-anak?
Tantangan terbesarnya adalah bagaimana mereka menjaga kepribadiannya masing-masing. Jangan sampai anak-anak diberi contoh-contoh karena akan mempresentasikan apa yang disuruh di atas panggung. Dan itu kelihatan. Misalnya di TV, kita melihat anak-anak berlaku seperti orang dewasa karena disuruh, diberi contoh-contoh sehingga kehilangan kepribadiannya, kehilangan jati dirinya, kehilangan keunikannya.
Seharusnya, kepribadian anak-anak dibangun melalui permainan-permainan yang simultan, yang aku sebut jembatan keledai. Misalnya untuk membangun emosi tertentu, aku beri latihan, agar anak-anak berlari dari satu ujungt ke ujung lain sambil mengekspresikan seseorang yang jago menghindar dari serangan tawon ganas. Cara anak-anak mengekspresikan pasti lain-lain.
Kemudian diulang lagi, sekarang tawonnya 5, menyerang dari 5 arah. Jadi anak-anak disuruh mengekspresikan cara menghindar dari serangan 5 tawon. Lalu tawonnya 50, 500, 5000. Terakhir, mereka yang jadi tawon.
Pada latihan berikutnya, tawonnya kita ganti dengan ular. Beda-beda cara anak-anak menghindar. Biarkan saja. Jangan disuruh meniru yang lain. Jangan diseragamkan. Masing-masing punya imajinasi, latar belakang dan kehidupan yang berbeda. Tidak ada yang salah atau benar dalam latihan seperti ini. Sebab tujuannya untuk menumbuhkan semangat dan kebebasan ekspresi dalam dirinya.
Masa kanak-kanak kan pendek. Bagaimana menciptakan regenerasinya?
Setiap 2 tahun sekali aku melatih anak baru. Sebab anak-anak yang bergabung 3-4 tahun lalu, sudah tidak bisa diajak, karena sudah remaja. Padahal mainnya sudah bagus. Jadi secara berkala aku melatih lagi anak-anak baru. Itu yang berat.
Kalau teater dewasa, makin banyak jam terbangnya, makin matang dalam bermain. Untuk menyutradarai berikutnya, tidak perlu cape-cape melatihnya. Tinggal bilang begini, langsung paham. Sementara di teater anak-anak, kita harus membangun lagi dari awal.
Bagaimana ekosistem dan perkembangan teater anak-anak di Indonesia?
Sebenarnya teater anak-anak mempunyai penontonnya sendiri. Hanya saja perkembangannya belum merata, baik secara jumlah maupun kualitas. Belum ada teater anak di Jakarta, bahkan di Indonesia yang memiliki kualitas seperti Teater Tanah Air.
Di Jakarta sendiri ada 50 teater anak-anak. Setiap kali ada festival, banyak sekali pesertanya. Tetapi kemampuan sutradara, atau instrukturnya di dalam membangun kreatifitas anak, cukup bermasalah. Mereka tidak punya metoda melatih. Mereka seperti melatih teater dewasa. Ini kesalahan yang harus dibenahi. Makanya aku menganjurkan ada workshop untuk sutradara atau instruktur teater anak-anak di Jakarta. sebab jika kita salah melatih anak-anak, terutama psikologisnya, akan terbawa ke masa remajanya.
Banyak grup teater berumur pendek. Apa rahasianya sehingga Teater Tanah Air tetap eksis hingga puluhan tahun?
Rahasianya, kita harus punya metoda yang membuat anak-anak selalu rindu datang ke tempat latihan. Di grup lain, karena tidak ada metodanya, pertama yang datang latihan 50 orang, minggu depan 30 orang, dan bulan depan tinggal 5 orang sehingga tidak bisa latihan. Akhirnya lama-lama bubar dengan sendirinya.
Kebanyakan grup-grup teater hanya berlatih saat akan ada event. Bagaimana dengan Teater Tanah Air?
Teater Tanah Air punya jadwal latihan rutin setiap Minggu, dari jam 3 sampai setengah 6 sore. Jadi tidak tergantung event. Karena banyak sekali game atau permainan tradisi yang bisa diadposi sebagai materi latihan sehingga anak-anak merasa sedang berekreasi, bukan sedang latihan. Mereka tidak tahu ketika berlari-lari menghindar tawon atau ular, sebenarnya sudah latihan akting. Jadi unsur kegembiraan baik saat pementasan maupun latihan wajib dihadirkan.