PojokTIM – Lanskap Kota Jakarta di awal Juli 2024 cukup indah dilihat dari Lantai 14 Gedung Ali Sadikin di komplek Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat. Udara sejuk, ditingkahi deru kendaraan yang terdengar sayup-sayup, menemani PojokTIM berbincang anggota Akademi Jakarta (AJ) N. Syamsuddin Ch Haesy.
“Setiap hari saya menulis untuk cucu karena saya tidak punya banyak waktu untuk dekat dengannya, sementara cucu juga sibuk dengan kegiatannya. Jadi tidak bisa bertemu setiap saat. Apa yang ingin saya dongengkan, ingin saya ceritakan, saya tulis. Temanya apa saja. Kadang demonstrasi, politik, pemilu, juga hal-hal yang pernah saya temukan dalam suatu perjalanan atau kunjungan ke daerah. Saya berharap kelak dia bisa membacanya,” ujar Bang Syams, sapaan akrab penulis buku Sangkakala Pajajaran, Kembang Latar, Lompatan Kalimantan, Memancing Kebajikan, Cawandatu, Bulan Salesma (kumpulan puisi), dan lain-lain.
Syamsuddin Ch Haesy dikenal sebagai penyair, budayawan, sekaligus tokoh pers nasional. Kiprahnya terentang jauh sejak 1970-an. Pernah bergabung dengan sejumlah media seperti Majalah Fokus, Harian Pelita, dan Bintang Indonesia. Bang Syams juga terlibat dalam produksi film dokumenter hingga sinetron.
Di usianya yang tidak muda lagi, Syamsuddin Ch Haesy, yang baru saja menyelesaikan tugas sebagai anggota Dewan Penasehat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), masih aktif mengurus Ikatan Setiakawan Wartawan Indonesia – Malaysia (ISWAMI) dan juga menjadi pembicara di berbagai forum dan seminar, baik di Indonesia maupun Malaysia.
Berikut petikan wawancara PojokTIM dengan Syamsuddin Ch Haesy yang ditemui usai rapat dengan pengurus Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Senin (1/7/2024) sore.
Akademi Jakarta adalah bagian dari ekosistem kebudayaan di Taman Ismail Marzuki. Bagaimana sikap AJ terhadap permasalahan di TIM, terutama terkait masuknya Jakpro?
AJ mengkritisi. Kita mencoba memahami bahwa masuknya Jakpro sebagai solusi ketika muncul gagasan yang orientasinya pada revitalisasi. Tapi ternyata saat ini baru masuk tahap renovasi bangunan sehingga masih menyisa pekerjaan rumah yang sangat besar, misalnya tata kelola.
Kalau dulu yang mengelola lebih banyak seniman. Kemudian terjadi perubahan di masa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tahun 2016, di mana TIM dikelola oleh unit kerja saja. Terjadi orientasi pengelolaan sekaligus berdampak pada eksistensi TIM. Nah sejak itu (pamor) TIM terus surut. Ibarat lampu mulai padam.
Apa yang kemudian dilakukan AJ?
Tugas utama AJ sebagai Dewan Penasehat Gubernur DKI Jakarta adalah memberikan pertimbangan serta nasihat, diminta atau tidak, berkenaan dengan pengarahan dan pemikiran dasar kebudayaan Indonesia dalam arti yang seluas-luasnya. Atas dasar itu, tentu saja AJ memberikan masukan dan pertimbangan kepada gubernur terkait pengelolaan TIM. Saat bertemu dengan Dirut Jakpro yang lama (Widi Amanasto, red), saya katakan bahwa habit, core bisnis Jakpro bukan kesenian. Oleh karena itu perlu berkonsultasi dengan pelaku kesenian. Aj juga memberi masukan agar Jakpro meng-hire orang yang berkompeten dalam mengelola gedung-gedung kesenian. Sebab mengurus TIM bukan sekedar mengurus gedung, tapi juga mengurus pemikiran yang berkembang.
Sebab, dulu Ali Sadikin (Gubernur DKI Jakarta periode 1966-1977) membayangkan TIM memiliki fungsi yang luas, sebagai laboratoroium seni, untuk presentasi dan ekshibisi seni, serta menjadi barometer seni, bukan hanya di Indonesia namun juga Asia Tenggara.
Dari situ lahir seniman-seniman besar. Untuk seni rupa kita mengenal Zaini, juga Nazar yang anti konsep. Dari seni teater ada Putu Wijaya, Rendra. Di prosa, ada Taufiq Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM, Leon Agusta, Ikranegara dan yang lain.
Selain memberi masukan kepada gubernur, program apa yang masih berjalan?
Tentu banyak, dan yang rutin setiap tahun memberikan penghargaan kepada seniman, sastrawan dan budayawan yang konsisten memperjuangkan gagasannya serta berkontribusi atas perkembangan seni dan kebudayaan.
Tahun 2022, pasca pandemi, Akademi Jakarta memberikan penghargaan kepada kelompok Paduan Suara Dialita dari Depok serta kepada penari dan koreografer Didik Nini Thowok. Tahun 2023 penghargaan AJ diberikan kepada Mulyono, perupa yang sangat konsisten dengan visinya.
Bagaimana dengan maklumat yang pernah dikeluarkan AJ?
Itu bagian dari tanggung jawab AJ terhadap bangsa. Dalam maklumat pertama, AJ menilai tengah terjadi proses penghancuran kesadaran publik yang jika dibiarkan akan melemahkan kebudayaan dan mengancam keberlanjutan Indonesia sebagai bangsa. Terjadi penguasaan aset dan akses ekonomi yang timpang, kecenderungan praktik politik dan hasrat berkuasa dengan membiarkan kekuatan oligarki serta korupsi mencederai hukum dan melemahkan demokrasi.
Dalam maklumat kedua tahun 2023, AJ menyoroti proses demokrasi dan situasi politik menjelang gelaran Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2024. AJ berpandangan, manipulasi terhadap konstitusi merupakan wujud pengabaian prinsip-prinsip demokrasi, dan mengingatlkan penyelenggara negara untuk tidak berpihak pada calon mana pun.
Apa kabar ISWAMI?
Masih berjalan, dan saya masih sering berkegiatan di Malaysia. Sebagai salah satu pendiri, saya merasa keberadaan ISWAMI sangat penting. Bukan hanya untuk silaturahmi antar-wartawan, namun juga saling menjaga budaya dan kebudayaan dua negara serumpun. Jadi fokus utamanya menjalankan diplomasi budaya. People to people. Selama ini politik mencerai-beraikan, maka seni yang menyatukan.
Saya sering cerita dengan nada bercanda kepada teman-teman, betapa dekatnya hubungan Indonesia dengan Malaysia. Bukan hanya dari sisi sejarah dan kebudayaan Melayu masa lampau, tetapi juga kesenian modern. Juga dalam pergaulan. Misalnya mantan istri P Ramlee dinikahi oleh Abdilah Harris yang kemudian mencipta lagu Kudaku Lari yang dipopulerkan oleh Elly Kasim. Kedekatan ini harus terus kita jaga dan kita rawat tanpa terpengaruh isu-isu politik yang kadang menciptakan ketegangan.
Syamsuddin Ch Haesy bersama pengurus Dewan Kesenian Jakarta. Foto: Ist
Dilihat dari buku-bukunya, Anda sangat concern dengan budaya lokal?
Saya menemukan dan mempelajari kecerdasan lokal, bukan kearifan lokal, melalui budayanya. Ternyata setiap daerah memiliki kecerdasan lokal yang akhirnya membentuk perilaku masyarakatnya. Budaya Batak, Aceh, Sunda, Jawa, Makasar dan lain-lain memiliki kecerdasan lokal yang melihat manusia sebagai manusia, sebagai subyek. Sementara selama ini politik kita menempatkan manusia, menempatkan rakyat, sebagai obyek.
Sebelum menemukan pemahaman dan tertarik mempelajari kecerdasan lokal, apa yang mula-mula mendorong Anda untuk mempelajari budaya dari berbagai daerah?
Ada momen yang masih saya ingat, tepat pada 10 Juni 2010. Ketika itu saya merasa kesal melihat presiden berpidato, dan terus berlanjut sampai sekarang. Demikian juga pidato menteri, gubernur, bupati, yang mana isi pidatonya jauh dari realitas rakyatnya.
Kemudian saya berfikir, apa sih yang salah. Apa betul bangsa kita kayak begini. Ketika saya diundang untuk menghadiri pertemuan budaya, seminar, dan lain-lain, saya akhirnya mempelajari budaya daerah yang saya singgahi. Sesuatu yang sebenarnya sudah saya lakukan dari dulu tetapi semakin intens sejak 2010.
Dari saya terkaget-kaget. Ternyata setiap daerah memiliki kecerdasan lokal. Misalnya kita ke Tanah Melayu, kita bisa menemukan pelajaran tentang kepemimpinan melalui lagu Lancang Kuning. Demikian juga dalam lagu daerah Padang, Sunda dan lain-lain. Seniman kita, sekian tahun lampau sudah mengingatkan pentingnya visionering, mengajarkan pentingnya mengelola otak kita untuk melihat masa depan. Apa yang dulu diingatkan oleh seniman melalui lagu, terjadi saat ini seperti stunting, narkoba, kerusakan lingkungan, hingga alih fungsi lahan.
Kesimpulannya, ada satu jalan yang harus ditempuh oleh pemimpin-pemimpin bangsa ini yakni jalan kebudayaan. Tidak bisa tidak. Banyak yang akan merugi jika pemimpin kita mengabaikan hal itu.
Perkembangan media online sangat pesat. Selain sisi positifnya, ada kecenderungan media online – karena ingin lebih cepat dibanding kompetitor – mengabaikan kaidah jurnalistik, terutama prinsip berimbang. Sebagai jurnalis senior, bagaimana pandangan Anda terhadap hal ini?
Bergantung manusianya. Media online diperlukan sesuai zamannya. Ada satu masa ketika kita hidup di era printing, koran cetak. Lalu kita masuk era audio visual, radio dan televisi yang saat itu dianggap sebagai ancaman oleh media cetak. Nah, media online sebenarnya jawaban atas ancaman itu. Tetapi akan sangat bergantung bagaimana kita mengelolanya karena media online memiliki keterbatasan ruang sekaligus tidak terbatas waktunya. Kapan pun (berita) bisa dipublikasikan, dan kapan saja orang bisa mencari informasi.
Dalam bekerja, media online tetap mengacu kepada UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Pers. Oleh karena tidak bisa lepas dari kaidah dan prinsip-prinsip jurnalistik. Hanya saja, menurut saya ada sebagian wartawan, media, yang lemah atau abai pada akurasi. Padahal tugas wartawan bukan hanya menulis peristiwa dan memberitakannya, tetapi juga menguji kebenaran informasi. Saya melihat bagian ini yang tersisih. Tidak ada keberanian atau kurang peduli untuk menguji data dan informasi.
Taapi saya percaya, generasi muda sekarang lebih baik, memiliki tantangandan peluang lebih besar. Hidup di dunia baru. Mengawinkan seni dengan sains, dengan teknologi. Mereka lebih kritis dan banyak melakukan inovasi. .
Anda banyak menulis buku?
Saya menulis buku seperti Sangkakala Pajajaran. Saya mencoba menyelami dimensi filosofi. Dari karya-karya sastra Sunda, yang memberikan isyarat dari masa lalu ke masa kini. Juga relasinya dengan Badui, Cirebon, dan Betawi.
Saya juga menulis Cawandatu, tentang dampak tambang terhadap kebudayaan. Sementara dalam buku Indigostar Melacak Sosok Manusia Bintang Dalam Jagat Rekacita, saya mempertanyakan sosok seperti apa yang diperlukan untuk memimpin Indonesia.
Ada juga buku Kekuatan Transformasi BNI, tentang bagaimana menerapkan aspek kebudayaan dalam manajemen perbankkan. Juga buku Lompatan Kalimantan, dan revitalisasi sejumlah bandara internasional, seperti Ngurah Rai, Bali. Semua dari perspektif budaya. Intinya, budaya juga melatari suatu proses perubahan.
Hal apa yang sepertinya membuat Anda gelisah dengan kondisi saat ini?
Saya heran ketika orang sekarang tidak bisa menerima perbedaan. Seolah-olah kita tidak memiliki sejarah kearifan dalam menerima perbedaan. Saya merasa aneh ketika toleransi digugat, dipersoalkan, seperti barang baru.
Sejak kecil saya biasa main sandiwara di gereja, dan sorenya pergi mengaji. Ketika pulang dari pementasan di gereja, orang tua saya tanya, bagaimana pementasannya? Apakah penontonnya ramai? Padahal orang tua saya Islam banget. Sangat taat dalam beragama. Jadi saya, dan generasi saya, sudah diajarkan dan sudah terbiasa dengan perbedaan. Ketika sekarang menjadi masalah, saya bertanya-tanya, apa yang salah dengan bangsa ini?
Seperti halnya ketika kita mengagumi Tan Malaka, langsung dicap sosialis. Seolah-olah bermasalah dengan bangsa ini, dengan sejumlah orang. Padahal Tan Malaka sudah diakui sebagai pahlawan. Ini aneh. Saya benar-benar heran.
Bahkan saya akhirnya “melawan” singularitas. Tidak lagi menonton talk show di TV, menjauhi gadget. Saya sudah tidak mau menulis dalam kondisi marah. Lebih baik menulis hal-hal yang lucu, tentang si pandir. Rupanya yang pandir bukan hanya yang tidak sekolah. Guru besar juga bisa pandir. Demikian juga pejabat negara. Jadi tulisan-tulisan ringan saja.