PojokTIM – Fenomena memberi hadiah (gift) kepada Tiktoker yang disukai saat sedang live, membuka kesempatan bagi kreator konten di platform lain, seperti YouTube, untuk melakukan cara yang sama. Terlebih setelah adanya jasa pembukaan dompet digital oleh pihak ketiga.
Sebenarnya tanpa dompet digital pihak ketiga pun kita masih meraih cuan dari penonton. Persoalannya, sebagian dari kita memiliki beban moral ketika dalam karyanya diembel-embeli nomor rekening, atau nomor telepon sebagai alamat dompet digital pribadi.
Dengan menggunakan dompet digital pihak ketiga, kita cukup mencantumkan link atau bahkan langsung QR menggunakan username. Meski bagi yang pede bisa saja QR-nya menggunakan nama asli.
Demikian terungkap dalam pertemuan perdana anggota Literasi Kompasiana (Litkom) yang diperluas dengan melibatkan komunitas penulis Risalah Misteri (Rimis) secara daring, Kamis (7/3/2024) malam.
Dalam kesempatan itu turut dibahas cara mengikat dan membangun militansi anggota komunitas.
“Butuh lesadaran kuat antar anggota untuk menjadikan komunitas yang militan. Caranya beragam, termasuk mengadakan pelatihan dan lomba,” ujar Isson Khairul.
Kesimpulannya, komunitas dibangun atas dasar kesamaan gagasan, kebutuhan dan passion. Untuk mengikatnya dibutuhkan kegiatan baik berupa pertemuan (daring/luring), penerbitan buku bersama, atau pentas kegiatan secara bergiliran (antarkota).
Namun saat ini ikatan antar anggota komunitas tidak lagi kuat. Penerbitan buku bersama juga sudah kurang diminati karena anggota komunitas yang lebih senior umumnya sudah menerbitkan karyanya baik bersama maupun sendiri.
Lomba juga bukan satu-satunya cara untuk mengikat komunitas. Terlebih cara ini memiliki kelemahan yakni turunnnya semangat anggota untuk berkarya, dan berpartisipasi saat tidak ada even.
Sementara bagi komunitas Rimis dan LitKom tidak mungkin lagi merekrut anggota baru dengan tujuan memberikan pelajaran menulis. Berdasarkan pengalaman, tidak ada jaminan ketika mereka sudah bisa menulis akan tetap berkarya dalam komunitas.
Oleh karenanya, mengajak penulis dan kreator konten yang “sudah jadi” justru lebih menantang. Komunitas tinggal mencarikan solusi klasik yang dihadapi yakni memonetisasi karya. Tidak sekedar mencetak buku, misalnya, semata demi kepuasan diri.
Dari di sinilah lahir pemikiran untuk menggunakan dompet digital bagi penulis yang karyanya dipublikasikan, baik dibaca atau alihwahanakan, melalui YouTube.
Munculnya ide dompet digital karena untuk monetisasi YouTube membutuhkan syarat tertentu yang sulit dipenuhi, seperti jumlah jam tayang dan subscriber. Padahal minat penonton karya-karya sastra, seperti pembacaan puisi, cerpen, dan novel, sangat rendah.
Namun demikian, tetap ada pangsa tersendiri untuk karya-karya berbasis sastra, baik puisi maupun prosa. Meski tidak besar, mereka loyal dan paham pada karya. Penonton ini yang diharap mau memberikan apresiasi melalui dompet digital. Dengan demikian pendapatan kreator konten (video) tidak lagi berdasarkan iklan dan jumlah tayang (view).
Karena jumlah pendapatan sangat tergantung pada apresiasi penonton, penulis dan konten kreator juga ditantang untuk berkarya dengan lebih baik.