PojokTIM –Pudji Isdriani K bukan nama asing dalam gerakan literasi dan sastra di DKI Jakarta. Sebagai ketua Masyarakat Sastra Jakarta (MSJ), pendidik yang sudah mengajarkan ilmunya di berbagai sekolah di Indonesia – terakhir di SMAN 26 Jakarta, sangat memahami persoalan yang dihadapi dalam proses pembelajaran sastra di sekolah dan juga tuntutan dari para penggiat sastra dari luar sekolah.
“Saya tidak dapat sepenuhnya menyalahkan sistem pendidikan, kurikulum dan proses belajar-mengajar di sekolah karena saya terlibat di dalamnya. Mengetahui kendala yang dihadapi. Di sisi lain, saya juga penulis sekaligus penggiat sastra di luar sekolah,” ujar Pudji kepada PojokTIM usai menjadi narasumber diskusi Meja Panjang yang mengusung tema Literasi Sastra di Sekolah di Gedung Ali Sadikin Kompleks Taman Ismail Marzuki, Jumat (28/6/2024).
Dalam diskusi hasil kerjasama Dapur Sastra Jakarta (DSJ) dengan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan serta PDS HB Jassin, Pudji, bersama nasasumber lain yakni Ujang Kasarung dan Acep Syahril, cukup antusias memaparkan makalah dan juga menjawab pertanyaan peserta.
“Saya ikut tugas suami ketika mengajar di berbagai daerah,” ujar Pudji yang sudah suka membaca sejak kecil.
Berikut wawancara PojokTIM dengan Pudji Isdriani.
Apa kabar MSJ?
Komunitas Masyarakat Sastra Jakarta untuk sementara pingsan. Vakum kegiatan. Padahal MSJ satu-satunya komunitas (sastra) yang punya SK gubernur, dan sekarang dari dinas. Kepengurusan yang ada sekarang dibentuk tahun 2015. Sebenarnya sudah berakhir tahun 2020. Tapi karena pandemi Covid-19, berbagai rencana yang sudah kita susun belum bisa dilaksanakan. Sekarang sedang masa persiapan untuk menghidupkan kembali MSJ.
Apa langkah pertama yang akan dilakukan?
Pertama-tama saya akan mengundang pengurus periode 2015-2020. Mungkin nanti dilakukan pendataan dan peremajaan kepengurusan karena ada juga yang sudah wafat. Kemudian tentunya menyusun program, memetakan permasalahan yang ada sambil mengambil langkah-langkah strategis yang bisa dilakukan.
Kebetulan saya sudah meyiapkan beberapa program, tinggal dibicarakan dengan pengurus dan anggota MSJ untuk segera dilaksanakan.
Program apa yang sudah Anda siapkan?
Salah satunya memberikan bantuan buku ke sekolah-sekolah. Rencananya, untuk tahap awal untuk 12 sekolah, di mana 1 sekolah diwakili 5 anak. Jadi totalnya 60 siswa.
Buku apa yang akan dibagikan?
Macam-macam. Ada novel, buku motivasi dan lain-lain. Misalnya Novel Anak kolong (2014), Sanaga Love, Istana Tanpa Kata, Stone Broken Women yang merupakan kumpulan cerpen bilingual, 15 Bahasa Inggris, dan 6 Bahasa indonesia. Alhamdulillah buku ini sudah lolos kurasi untuk British Library, London.
Dari mana Anda mendapatkan bukunya?
Semuanya buku karangan saya sendiri. Tapi saya akan cari sponsor supaya buku yang yang dibagikan bisa lebih banyak lagi. Sebab MSJ tidak mempunyai dana. Dulu MSJ dapat dana hibah dari pemda Jakarta sehingga kita bisa membuat kegiatan seperti mengadakan pementasan baca puisi di Lapangan Banteng. Tapi sekarang sudah tidak ada bantuan. Jadi kami akan mencari sponsor, termasuk bekerjasama dengan lembaga-lembaga seperti PDS HB jassin.
Menurut Anda, bagaimana perkembangan sastra di Jakarta?
Sejak TIM direvitalisasi, ada banyak kegiatan sastra yang dilakukan. Setiap bulan selalu ada acara sastra, entah pementasan, bedah buku, sampai diskusi seperti tadi yang dilaksanakan oleh Dapur Sastra Jakarta bersama PDS HB Jassin. Besok ada acaranya Putu Wijaya (peluncuran buku hibah Misteri Proses Kreatif karya Putu Wijaya), tanggal 3 Juli saya jadi moderator launching bukunya Sastri Bakry dengan narasumber Maman S Mahayana.
Jujur saya bangga dengan perkembangan sastra sekarang. Saya ingin terlibat di dalamnya, aktif sebagai penggiat literasi. Kebetulan saya sudah pensiun dari PNS, sehingga punya banyak waktu untuk mengisi kegiatan yang sesuai passion saya sejak kecil yakni menulis sastra.
Apakah masih ingat kapan pertama kalinya karya tulis Anda dimuat di media massa?
Ingat sekali, tahun 1978 di koran Darma Nyata, Solo. Itu pertama kalinya saya mengirim cerpen ke media dan langsung dimuat. Tahun 1982, cerpen saya mulai terbit di media di Jakarta termasuk Majalah Variasi, Famili, Sarinah, Kartini, dan lain-lain.
Apa yang mendorong Anda menjadi penulis?
Saya suka membaca sejak kecil. Kadang saya sembunyi-sembunyi ketika membaca komik-komik silat milik orang tua saya seperti Nagasasra Sabuk Inten, Api di Bukit Menoreh, novel-novel karya Kho Ping Hoo dan lain-lain. Orang tua melarang saya membaca komik-komik itu karena memang bukan bacaan anak SD.
Dari senang membaca, secara alamiah akhirnya saya senang menulis. Jadi ada proses, tidak instan. Ketika ada dorongan, ada suasana yang baik, dan bukunya tersedia, maka anak-anak pun akan senang membaca, dan kelak mungkin akan berkembang menjadi senang menulis.
Kita semua prihatin dengan kondisi saat ini di mana mayoritas siswa belum terbiasa membaca karya sastra. Sebagai penggiat literasi, baik di sekolah maupun luar sekolah, kita tidak boleh hanya berdiam diri, apalagi saling menyalahkan. Lakukan sesuatu yang kita bisa untuk mengubah minat baca di Indonesia. Meskipun mungkin hanya bisa menyumbang 1 buku ke sekolah atau perpustakaan umum, lakukanlah. Kita harus optimis dan percaya pada kemampuan anak-anak kita.
Berhasil atau tidaknya literasi sastra di sekolah itu tergantung pada banyak hal. Bisa jadi dari kurikulum, guru, siswa, orang tua, lingkungan, teman, sekolah dan lain-lain. Khusus untuk kurikulum, sebenarnya mau berganti berapa kali pun tidak masalah. Sebab proses pembelajaran tetap ada di tangan guru.
Bukankah banyak yang mengeluhkan kurikulum yang berganti-ganti dan kurang memberi ruang bagi pengajaran sastra di sekolah?
Saya rasa semua guru pernah mengalami pergantian kurikulum selama perjalanan kariernya. Entah guru dengan status ASN maupun guru honorer. Saya paham, setiap pergantian kurikulum pasti merepotkan. Guru yang sudah nyaman dengan kurikulum yang ada dan bertahun-tahun digunakan, mau tidak mau harus menyesuaikan diri dan mengganti semua perangkat pembelajarannya. Termasuk buku-buku referensi, metode mengajar dan lain-lain.
Namun apa pun kurikulumnya, karena guru adalah seorang profesional, sudah sewajarnya harus bisa beradaptasi. Dari pada mengeluh, jalan terbaik adalah berdamai dengan kurikulum.
Pudji Isdriani saat menjadi narasumber diskusi di PDS HB Jassin. Foto: Ist
Bagaimana cara Anda mengajarkan sastra kepada anak didik?
Ada banyak cara supaya siswa menyukai sastra. Menurut pengalaman saya, siswa paling suka jika gurunya mendongeng atau bercerita. Tetapi perlu keahlian, paling tidak guru dapat berakting supaya ceritanya hidup. Setelah mereka tertarik, guru bisa berhenti di bagian yang paling menarik dan membuat penasaran. Kemudian berikan tugas agar siswa melanjutkan dengan membaca bukunya.
Setelah itu bisa diikuti dengan diskusi, membuat sinopsis, membuat resensi, mengakhiri cerpen atau novel yang dibaca sesuai imajinasinya, lalu mempresentasikan di depan kelas. Buatlah pelajaran sastra di sekolah menjadi hidup dan tidak membosankan. Guru sastra harus kreatif dan inovatif. Ini merupakan pekerjaan yang tidak mudah, diperlukan kecintaan terhadap profesi dan kecintaan terhadap sastra.
Saat ini media sebagai produk teknologi komunikasi memegang peranan penting, termasuk dalam proses belajar mengajar. Kegiatan belajar mengajar pun telah bergerak menuju dikuranginya sistem penyampaian ceramah, dan berpindah ke arah digunakannya banyak media. Oleh karenanya, guru, termasuk guru bidang studi Bahasa dan Sastra Indonesia, dapat memanfaatkan media yang ada dan tinggal memilih untuk dipergunakan sebagai alat bantu kegiatan belajar mengajar yang tentunya variatif sehingga siswa tidak bosan.
Selain sumbangan buku, apalagi yang bisa dilakukan oleh para penggiat sastra untuk membantu proses pembelajaran sastra di sekolah?
Bagi pelaku sastra, seperti komunitas sastra yang ada di Jakarta, bisa melakukan hal-hal seperti kunjungan ke sekolah untuk mengadakan kegiatan temu sastrawan, pelatihan menulis, bedah buku, lomba menulis, lomba baca puisi, panggung sastra, dan lain-lain.
Bisa juga mengadakan pementasan teater di sekolah, berkolaborasi dengan pihak sekolah untuk menerbitkan karya siswa maupun guru. Atau memanfaatkan media sosial untuk memberikan informasi, pencerahan, apresiasi sastra dan sebagainya.
Apa pesan yang ingin Anda sampaikan?
Andil orang tua di rumah sangat membantu siswa gemar membaca. Jika sejak kecil orang tuanya sudah mengenalkan pada buku, maka tidak sulit untuk menumbuhkan minat bacanya. Pada akhirnya kita tidak perlu lagi mengkambinghitamkan kurikulum, fasilitas perpustakaan sekolah, sastrawan apalagi guru bidang studi Bahasa Indonesia atau Sastra. Selama semua yang terlibat di dalam Gerakan Literasi Bangsa maupun Gerakan Literasi Sekolah bekerja dengan ikhlas, jujur dan bersungguh-sungguh, saya yakin, pelahan namun pasti Indonesia dapat mengatasi ketertinggalannya dalam hal minat baca.