PojokTIM – Sabtu sore, 19 Juli 2025, pukul 17.00 WIB, Khairani Piliang mengirim pesan singkat mengabarkan dirinya sudah dalam perjalanan menuju Taman Ismail Marzuki (TIM), di Cikini, Jakarta Pusat. Wajahnya tetap semringah ketika tiba di Gedung Trisno Sumardjo tempat PojokTIM menunggu untuk wawancara.
“Ada yang MCU (medical check up), jadi pulangnya agat telat,” kata Rani, sapaan akrabnya. Rani memang bekerja di pusat kesehatan sebuah bank BUMN, di Jalan Otista Otto Iskandar Dinata (Otista), Jakarta Timur, sekitar 6 km dari TIM.
Jejak kepenyairan Khairan Piliang belumlah panjang. Meski demikian, karya-karyanya, baik puisi mapun cerpen sudah lumayan banyak dimuat di media massa, cetak maupun online. Rani juga serng tampil membaca puisi di panggung-panggung sastra. Dalam beberapa kesempatan, seperti pada acara Ambang Ramadhan di teras kantor Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Rani tampil berduet dengan Romy Sastra.
“Nanti saya diusir (dari TIM),” cetus Rani tergelak ketika diminta mengatakan yang sebenarnya terkait pandangannya terhadap ekosistem kesenian di TIM pasca revitalisasi.
Berikut rangkuman wawancara PojokTIM dengan Khairani Piliang.
Kapan mulai menulis puisi dan cerpen?
Dari kecil saya suka baca, dan saat SMP mulai menulis. Fiksi mini saya pernah 2 kali dimuat di Majalah Bayangkara. Setelah itu sempat vakun. Lulus SPK (Sekolah Pendidikan Keperawatan), mulai aktif menulis kembali dan sempat mengirimkan ke berbagai media, termasuk ikut LCCR (Lomba Cipta Cerpen Remaja). Namun karena belum paham caranya dan teknisnya, belum ada yang jebol (dimuat). Akhirnya vakum lagi karena saya sempat patah semangat.
Mulai menulis lagi?
Tahun 2014 saya bertemu Komunitas Bisa Menulis (KBM) punya Asma Nadia di media sosial. Saya bergabung dan ikut belajar menulis. Mengikuti berbagai workshop dan pelatihan baik itu berbayar maupun tidak. Dari situ, saya mulai teratur menulis dan mengirim ke media lagi. Akhirnya ada yang tembus juga, baik di media cetak maupun online.
Media cetak yang pertama memuat karya puisi saya adalah Trans Media Bandung, tahun 2015. Tidak lama kemudian cerpen saya yang berjudul Suatu Pagi di Dermaga, tayang di koran Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat Group, Yogyakarta. Karya saya juga banyak menghiasi media online seperti Buana Kata, Flores Sastra, Apajake, Majalah Elipsis, Pojok TIM, Majalah Apresiasi Sastra, Buletin Rumah Cahaya BNN, Jernih.Co, Suara Pinggiran, dll.
Lalu diterbitkan menjadi buku?
Setelah punya banyak karya, terpikir juga untuk bikin buku. Terlebih ada dorongan dari teman-teman. Akhirnya terbit buku kumpulan cerpen pertama saya berjudul Suatu Pagi di Dermaga, Mei 2017. Antologi cerpen saya itu sempat dibedah, salah satunya di Sudin Perpustakaan Jakarta Utara.
Berkat buku itu, saya juga berkesempatan mengikuti acara sastra di Bali bersama DSJ (Dapur Sastra Jakarta). Antologi Suatu Pagi di Dermaga sudah diterbitkan beberapa kali, karena banyak yang beli. Bahkan saat open PO (pre-order), sudah ada 50 lebih pemesan.
Saat mood menulis sedang naik, tiba-tiba terjadi pandemi Covid-19. Saat itu tenaga medis menjadi ujung tombak untuk mengatasi pandemi. Kami bekerja siang-malam. Benar-benar menyita waktu sehingga saya kurang produktif dalam menulis. Selesai pandemi, saya baru aktif menulis lagi, bahkan ikut beberapa penulisan antologi bersama.
Sudah menerbitkan buku puisi tunggal?
Masih dalam dalam proses. Awalnya saya dikenal sebagai cerpenis. Tapi karena sering menulis dan baca puisi di berbagai acara, sempat kepikiran juga menerbitkan antologi puisi tunggal. Kebetulan mendapat support dari Uda Riri (Riri Satria, Ketua Umum Jagat Sastra Milenia). Jadi aku kumpulkan puisi-puisi yang ada, dan sekarang sedang proses cetak. Judul antologinya Seduh Sedih yang Berkasih.
Apakah ada karya yang mengambil tema kesehatan sesuai pekerjaan Anda?
Secara umum, karya-karya saya mengambil tema sosial, konlik rumah tangga, dan roman. Namun memang ada beberapa karya tentang kesehatan. Cerpen saya yang dimuat di Builetin Rumah Cahaya BNN (Badan Narkotika Nasional), bercerita tentang anak yang kena narkoba. Judulnya Nyanyian Kinora. Ada juga cerpen tentang seorang ibu yang terkena cancer. Untuk puisi juga banyak yang bertema kesehatan.
Kabarnya pernah jadi juri?
Iya, sempat beberapa kali menjadi juri penulisan puisi dan cerpen. Awalnya juri lomba-lomba penulsian di media sosial. Pernah juga menjadi juri lomba La Sastra di SMAN 5 Bogor, kemudian juri FLS3N (Festival Lomba Seni dan Sastra Siswa Nasional ) tingkat SMP se- Jakarta Barat.
Selain cerpen dan puisi, apakah Anda juga menulis novel?
Benar, itu keinginan terbesar saya. Sekarang punya outline novel yang mulai saya tulis, tapi baru dapat 3 bab. Temanya sosial, tapi belum bisa saya ceritakan judul dan sinopsisnya.
Anda bekerja full time, bagaimana membagi waktu untuk menulis?
Dulu waktu tugas di BRIMedika Pusdik (Pusat Pendidikan) BRI Ragunan, saya punya banyak waktu laung, jadi bisa produktif menulis. Saat terjadi pandemi Covid-19, saya dipindah ke kantor pusat BRIMedika di Otista. Waktu itu karena tuntutan kerja sangat tinggi, saya sempat vakum menulis. Tapi karena passion saya sudah di situ, tetap saja setiap ada waktu luang, saya menulis di handphone. Setelah itu baru saya pindah ke laptop.
Kalau sedang mood, saya bsia menulis 3 cerpen dalam satu malam. Tidak bisa berhenti menulis. setelah itu saya endapkan. Beberapa hari kemudian dibuka, diedit, dan dirapikan.
Dukungan dari keluarga?
Alhamdulillah mereka sangat mendukung, full. Suami dan anak tidak pernah berkeberatan dan selalu memberi motivasi dalam kekaryaan, terutama dalam menulis.
Belum ada rencana menerbitkan buku cerpen?
Sebenarnya saya sudah akan menerbitkan buku kumpulan cerpen kedua, sudah ada naskahnya. Tapi karena belum punya buku puisi, jadinya saya bikin puisi dulu.
Sepertinya Anda lebih sering baca puisi berdua atau bertiga?
Saya sering juga kok tampil sendiri seperti di beberapa acara di TIM, BetelNut, Ubud, Bali, panggung Hari Puisi Indonesia (HPI), studio 3 RRI, dll. Membaca puisi atau membawakan musikalisasi puisi. Namun setelah saya bergabung dengan komunitas TJN (Teater Jalanan Nusantara), saya merasa nyaman ketika baca puisi bersama atau berkolaborasi Dari situ jadi terbiasa baca puisi berdua atau bertiga.
Pernah baca puisi di TIM?
Sudah sering. Pertama kali tampil di acara ultah bang Jose Rizal Manua tahun 2015, lalu 2018 dan 2023 di acara HPI dll.
Bagaimana pandangan Anda tentang TIM yang sekarang?
TIM saat ini perkembangannya cukup pesat. Dulu hanya “dimiliki” oleh seniman senior – yang sudah punya panggung. Sekarang alhamdulillah, generasi muda sudah banyak yang datang ke TIM.. Mungkin sebagian dari mereka hanya bermain, namun karena atmosfir kesenian di TIM sangat kuat, bisa saja mereka akhirnya tertarik dengan kesenian. Kalau pun bukan sebagai pelaku, minimal mereka menyukai kesenian. Itu perkembangan yang positif.
Sayangnya, saya merasakan, kadang ada batasan senioritas. Belum bisa berbaur. Masih ada sekat-sekat antara senior dengan junior. Seolah-olah si senior takut akan diambil panggungnya. Padahal lebih bagus jika senior melatih yang muda. Memberi kesempatan kepada yang muda untuk membranding dirinya sehingga akan muncul wajah-wajah baru, ada regenerasi.
Tentu tidak semua senior begitu. Ada juga yang tidak pelit berbagi ilmu.