PojokTIM – Meja kerja Halimah Munawir kini dipenuhi kamera, mikrofon, dan headset layaknya YouTuber. Senyumnya terus mengembang ketika membahas rencana ke depan terkait dunia baru yang akan dicobanya.
“Mulai Mei ini saya mau bikin podcast,” cetus Halimah kepada PojokTIM. Perbincangan tentang podcast semakin semarak ketika kedatangan Prof Andi Muhammad Asrun, pakar Hukum Tata Negara, sahabat Halimah sejak kuliah yang sama-sama aktif dalam Kelompok Studi Proklamasi.
Keinginan Halimah membuat podcast tidak mengejutkan orang-orang terdekat yang mengenal kiprahnya. Halimah sudah aktif di berbagai komunitas , bahkan sejak remaja. Bermain teater, menjadi penyiar radio, hingga jurnalis di sejumlah media yang semuanya dilakukan pada saat masih menempuh studi baik di SMA maupun saat kuliah.
“Sejak remaja saya senang beraktivitas, dan yang terpenting saya tidak mau mengandalkan (materi) orang tua,” ujar Halimah.
Ditemani segelas kopi hitam, obrolan mengalir jauh. Tentang proses kreatifitas, kecintaannya pada budaya dan seni tradisi, hingga topik-topiik kekinian.
“Saya tidak ingin terjun ke politik,” ujar dengan intonasi lebih serius.
Berikut rangkuman percakapan dengan penulis novel The Sinden (Gramedia, 2011), Sucinya Cinta Sungai Gangga (Gramedia, 2013), Sahabat Langit (Gramedia, 2013), dan Kidung Volendam (Gramedia, 2017), serta Padmi (Balai Pustaka, 2023), di kantornya di bilangan Kampung Melayu, Jakarta Timur, Senin (6/5/2024).
Selain novel, Anda juga menerbitkan puisi-buku kumpulan puisi. Sementara Anda juga sibuk di dunia usaha dan berbagai komunitas. Kapan waktu menulis?
Sejak remaja saya sudah terbiasa mengisi waktu dengan kesibukan. Saya tidur lebih cepat, dan bangun pukul 03.00 menjelang dinihari. Saat itulah saya menulis sampai Subuh. Kebiasaan itu terus berlanjut setelah saya menikah dan mempunyai anak. Setelah sholat Subuh, saya lanjutkan dengan memasak karena saya punya prinsip, anak keluar rumah harus sudah kenyang, sehingga tidak jajan sembarang.
Buku-buku yang terbit antara tahun 2011 sampai sekarang, umumnya sudah saya bikin sejak lama. Sejak SMA, kuliah dan kerja sebagai jurnalis. Tulisan-tulisan itu saya simpan. Untuk menghindari ada yang mengambil, atau menjiplak, saya menuliskan dengan huruf terbalik. Misalnya A saya tulis Z.
Sebenarnya sudah banyak juga karya saya yang dipublikasi sebelum tahun 2011. Tetapi saat itu saya menggunakan nama samaran, seperti Cempaka HL. Suami saya kemudian menasehati agar menggunakan nama asli agar orang lain tahu itu karya saya. Akhirnya saya pakai nama saya sendiri ditambah nama suami, jadinya Halimah Munawir.
Bagaiman proses terbitnya novel-novel itu?
Jujur saya tadinya kurang percaya diri dengan tulisan saya. Tetapi setelah dibaca beberapa teman, yang paham tentang sastra, mereka mendorong agar dikirim ke penerbit karena katanya bagus. (Catatan redaksi: Dalam endorsment novel Padmi, Calon Permaisuri yang Terbuang, Taufiq ismail menulis, “Apresiasi saya untuk novel Padmi, Calon Permaisuri yang Terbuang. Tenunan cerita yang disajikan oleh pengarang menyatukan berbagai bahan menarik hingga menciptakan karya apik – suatu sastra yang mengetengahkan wasta. Semoga novel ini memberi kontribusi terhadap karya sastra bangsa kita. Aamiin).
Halimah bersama Prof Andi Asrun sedang mencoba podcast. Foto: PojokTIM
Mengapa Anda memilih tema-tema budaya tradisi?
Saya melihat seni tradisi kita sangat adiluhung. Banyak yang diciptakan oleh raja, dan juga Wali Songo. Artinya bukan karya sembarang. Sehingga harus dijaga dan dilestarikan. Meski ada perkembangan yang berdampak pada kostum penarinya, misalnya yang dulu terbuka kini harus tertutup, saya kira tidak mengubah esensi dan estetikanya.
Banyak seni tradisi yang juga menyimpan sisi “negatif”. Apakah Anda juga menulisnya?’
Tidak ada seni yang diciptakan untuk tujuan negatif. Bahwa dalam prakteknya terjadi “penyimpangan” seperti dalam kasus sinden yang menjadi bahan observasi saya ketika menulis The Sinden, di mana ada yang harus “melayani” dalangnya agar bisa nyinden, menurut saya tidak harus dijadikan bahan utama. Cukup disinggung sedikit, bahwa kita sebagai penulis, tahu kok ada penyimpangan itu. Tetapi yang lebih penting adalah menjaga nilai-nilainya yang luhur dan diciptakan dengan tujuan baik. Untuk apa memfokuskan pada sisi negatifnya sehingga membuat kesenian yang diciptakan dengan tujuan baik malah jadi bahan hujatan.
Bukankah upaya pelestarian budaya menjadi tanggung jawab pemerintah? Mengapa Anda cape-cape ikut ngurusi sampai bikin Komunitas Obor Sastra?
Upaya pelestarian bisa dilakukan siapa saja. Bahkan di kampung-kampung, mereka dengan sukarela, tanpa bantuan pemerintah tetap berusaha melestarikan budaya nenek-moyang. Saya ingin menjadi bagian di dalamnya. Meski memang seharusnya pemerintah lebih memiliki perhatian. Bukan hanya soal anggaran, tapi bagaimana bantuan yang dikucurkan tepat saran. Tidak dia lagi, dia lagi.
Bagaimana kabar Rumah Budaya HMA?
Alhamdulillah masih eksis. Namun belum sesuai harapan. Dulu sering dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk aktivitas kebudayaan, tapi sekarang sudah jarang. Karena dulunya, rumah itu saya niatkan sebagai basecamp untuk anak-anak korban trafficking, istilahnya kawin kontrak, di Puncak. Saat itu, saya dengan beberapa teman aktivis, melakukan penelitian terkait maraknya kawin kontrak. Bahkan sudah menjadi fenomena. Anak-anak gadis yang masih di bawah umum, dipaksa kawin kontrak dengan orang luar. Orang Arab, meski tidak semuanya benar-benar berasal dari Arab.
Pandangan umum masyarakat kita, termasuk pejabat, juga terbelah dalam menyikapi fenomena itu. Bahkan ada yang menyebut sebagai upaya perbaikan keturunan. Ini benar-benar keterlaluan. Karena yang terjadi adalah eksploitasi terhadap perempuan-perempuan rentan, dari kalangan miskin. Artinya itu bukan pilihan atas kesadaran sendiri.
Melalui Rumah Budaya saya berusaha mencegah terjadinya kawin kontrak yang membuat saya miris dengan m\emberi ruang seni dan budaya bagi masyarakat di sekitar Puncak. Saya tidak menutup mata ada juga yang perkawinannya, yang tadinya dilakukan secara kontrak, kemudian menjadi langgeng. Laki-lakinya tetap bertanggung jawab meski sudah kembali ke negara asal. Masih mau memberi nafkah, bahkan mereka tetap bertemu pada waktu-waktu tertentu. Tetapi itu tidak dapat dijadikan alasan untuk membenarkan praktek kawin kontrak. Terlebih jika di dalamnya ada unsur keterpaksaan dari pihak perempuan. Misalnya terpaksa melakukan karena tekanan keluarga yang terlilit utang, atau menjadi korban penipuan.
Hujan di luar telah reda. Bakso campur mi yang hangat menyudahi perbincangan. Halimah sudah kembali sibuk menyiapkan tata ruang untuk podcast dengan dibantu timnya.