PojokTIM – Yayasan Wanita Penulis Indonesia (WPI) memperingati Hari Kartini 2025 dengan menggelar diskusi dan bedah buku puisi berjudul Balon-Balon di Balkon karya Hening Wicara dari Pekanbaru, Riau, dan Perempuan Penjaga Tradisi karya Ule Ceny dari Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Acara yang digelar di Pusat Dokumen Sastra (PDS) HB Jassin, Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat, Senin (21/4/2025) menghadirkan 2 pembicara yakni Dr Free Hearty dan Dr Anitasa Dewi, dengan moderator Nuyang Jaimee
“Menurut (Anthony) Giddens, seorang sosialog dari UK, tradisi harus dijaga. Jika tidak, maka akan hilang tanpa bekas. Namun kita tahu, tidak mudah menjaga tradisi. Melalui puisi Janji Perempuan Rumah Panggung, Ule Ceny memberitahu kita bahwa tradisi Sumbawa dijaga oleh wanita-wanita tua yang mewariskan nllai-nilai moral dan kebaikan,” terang Anitasa ketika mengulas buku puisi Perempuan Penjaga Tradisi.
Melalui puisinya, demikian Anitasa, Ule Ceny menyadari tradisi bukan sekedar warisan nenek moyang melainkan cermin identitas yang membentuk siapa kita. Di tengah arus globalisasi dan modernisasi, menjaga tradisi berarti menjaga akar budaya, menjaga diri kita sendiri.
“Puisi Perempuan Penjaga Tradisi menjadi ruang ekspresi yang bukan hanya indah secara estetika, namun kuat secara nllai dan makna. Ditampilkan melalui simbol-simbol yang memiliki makna berarti,” puji Anitasa Dewi.
Balon di Balkon
“Ketika melihat judul buku Balon-Balon di Balkon, awalnya saya mengira seperti balon-balon permainan anak-anak. Tetapi ketika dikawinkan dengan “di balkon” saya melihat memang ada sesuatu. Balkon adalah tempat yang tinggi di sebuah rumah atau gedung di mana kita bisa melihat, meneropong, kejadian sekitarnya,” ujar Free Heart ketika mendapat giliran mengulas buku puisi karya Hening Wicara.
Lebih jauh Bundo Free, sapaan akrab Free Hearty, mengatakan, Hening lihai bermain kata dengan ritme, irama, metafora dan simile. Hampir semua puisinya selalu memuncul metafora yang bagus, serta irama dan ritme yang menarik sebagai cerminan suara hati perempuan.
“Saya merasa senang karena suara hati seorang perempuan dibicarakan di Hari Kartini. Yang diungkapkan Hening adalah bagaimana ketegaran seorang perempuan dalam menghadapi kesedihan, kepedihan, dan kemarahan. Biasanya perempuan yang mengalami kepedihan pengkhianatan akan bersemayam dalam kemarahan dendam, dan kadang-kadang juga bunuh diri. Tetapi Hening melihanya dengan jenaka. Bahkan kemarahan pun diungkapkan dengan jenaka,” terang Bundo Free.
Banyak perempuan ketika disakiti, ungkap Bundo Free, hanyut dalam duka mendalam, dan memisahkan diri dari khalayak ramai. Namun tidak demikian halnya dengan Hening, yang justru seperti menantang. “Menariknya juga, setiap puisinya ditutup dengan warna yang memiliki makna tersendiri.”
Bundo Free berharap, sebagai penulis yang potensial karena sudah menulis beberapa buku, Hening tidak berhenti hanya menulis puisi tentang kau dan aku. “Di dunia ini banyak hal yang bisa dibicarakan, bukan hanya kau dan aku. Karena tulisannya sudah bagus, (ide-ide itu) mungkin juga bisa dikembangkan menjadi novel atau cerpen. Itu akan lebih bagus,” saran pengamat dan kritikus sastra tersebut.
Selain anggota dan pengurus WPI, acara yang dirangkai dengan pelantikan pengurus WPI regional dan daerah tersebut, juga dihadiri pengamat sastra Maman S Mahayana, Ketua Jagat Sastra Milenia (JSM) Riri Satria, anggota Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Imam Ma’arif, Ketua Taman Inspirasi Sastra Indonesia (TISI) Octavianus Masheka, penyair nasional Nanang R Supriyatin, sastrawan senior Adri Darmadji Woko dan lain-lain.