PojokTIM – Tembok Gedung Ali Sadikin terlihat menjulang dari sudut kantin di samping ruang Teater Wahyu Sihombing. Sedikit tertutup atap selasar di seberang Planetariun dan ujung pepohon berselimut remang senja yang mulai membayang. Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin berada tepat di ujung tatapan Remmy Novaris DM.

“Banyak jejak sastrawan negeri ini yang tersimpan di PDS HB Jassin, meski mungkin tidak banyak yang tahu, dan tidak ada lagi yang membaca,” ujar Remmy, lirih.

Udara lembab Selasa sore (30/4/2024), menambah kegelisahan sastrawan yang menjadi saksi segala pergolakan dan pegulatan pemikiran yang pernah terjadi di Kompleks Pusat Kesenian Jakarta (PJK), Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini Jakarta Pusat.

Sambil menyantap nasi soto, cerita Remmy mengalir deras seperti larik-larik dalam buku sejarah. Nyaris tidak ada persoalan seputar TIM yang luput dari perhatiannya. Pergaulan dan interaksinya dengan sastrawan-sastrawan yang kini namanya diabadikan dalam buku-buku pelajaran dan kalender kesusasteraan tanah air, begitu mendalam. Remmy adalah mata air pengetahuan bagi generasi milenial dan Gen Z yang ingin mengetahui perjalanan kesusasteraan tanah air, utamanya yang berkiprah di TIM sejak era 80-an.

“Banyak sastrawan yang sudah pergi, terakhir Jokpin (Philipus Joko Pinurbo yang wafat wafat 27 April 2024, red). Mereka saksi sekaligus pelaku sejarah yang menghidupkan TIM. Jangan sampai jejak kreatifnya hilang karena negara tidak mau menyisihkan sedikit ruang untuk mendokumentasikan,” gugat Remmy.

Dalam setiap hela nafas Remmy terkandung catatan, pun harapan, agar TIM tidak semakin jauh meninggalkan jati dirinya sebagai kawah candradimuka bagi sastrawan; kemrin, kini, dan mendatang.

Berikut petikan wawancara PojokTIM dengan Remmy Novaris DM yang kini sibuk mengelola penerbitan Teras Budaya dan Komunitas Dapur Sastra Jakarta (DSJ).

Taman Ismail Marzuki pernah begitu disegani oleh sastrawan dan calon sastrawan dari berbagai daerah. Banyak ide-ide besar, gagasan dan kegiatan yang lahir dari TIM yang kemudian menjadi barometer kesusanteraan tanah air. Menurut Anda, faktor apa saja yang melatarinya?

TIM memiliki marwah sebagai tempat lahirnya ide dan pemikiran besar tentang sastra. Banyak sastrawan yang lahir dari rahim TIM. Saat itu TIM ditopang oleh 5 lembaga yakni Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) yang kini namanya Unit Pengelola (UP) PKJ Dinas Kebudayaan Pemprov Jakarta, Akademi Jakarta (AJ), Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan PDS HB Jassin yang sekarang berada di bawah naungan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Dispusip) Pemprov Jakarta.

Kelima lembaga itu saling menopang, sesuai job deskripsi masing-masing. Mana lembaga pemikir, mana yang pembuat program dan lembaga mana yang mengeksekusi program. Seniman dan sastrawan yang berada di luar lembaga, seperti saya, juga dilibatkan secara aktif dalam kegiatan-kegiatan itu.

Apakah sekarang kondisinya berbeda?

Perbedaannya jauh sekali. Sekarang seolah-olah berjalan sendiri-sendiri, tenggelam dalam keriuhan program masing-masing. Pelibatan sastrawan dan seniman hanya ketika ada proyek. Tidak dilibatkan lagi dalam tataran pengambilan kebijakan terkait program yang akan dilaksanakan sehingga sulit berharap bisa tercipta kondisi seperti dulu.

Bagaimana dengan PDS HB Jassin?

PDS HB Jassin berbeda dengan perpustakaan umumnya. PDS HB Jassin bukan saja tempat pendokumentasian tapi tempat penelitian karya-karya sastra. Sehingga sekecil apa pun nilai sebuah data dari seorang penulis menjadi penting.

PDS HB Jassin memiliki karakteristik yang berbeda dengan perpustakaan umum. Kalau di diperpustakaan umum, buku yang tidak dibaca segera dimusnahkan. Itu informasi yang saya dapatkan dari beberpa perpustakaan wilayah.

Kita tentu saja berharap itu tidak terjadi pada PDS HB Jassin. Apalagi jika PDS HB Jassin ingin menjadi “Laboratorium Sastra” nasional atau internasional.

Kedua, pengunjung PDS HB Jassin memang penting. Tapi yang perlu dikejar bukan nilai kuantitatifnya melainkan kualitatifnya. Meskipun pengunjung mungkin tidak cukup banyak tapi dipenuhi para pengunjung yang memang ingin melakukan penelitian. Bukan sekadar membaca.

Mimbar Penyair Abad 21 tahun 1996 menjadi salah satu tonggak pencapaian TIM dalam melahirkan pebyair tanah air yang kiprahnya masih berlanjut sampai sekarang. Saat itu Anda terlibat langsung dalam pelaksananya. Bisa diceritakan proses di baliknya?

Mimbar Penyair Abad 21 merupakan bagian dari kegiatan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) bertajuk Festival November 1996 untuk memperingati 28 tahun PKJ TIM yang berlangsung dari tanggal 10 sampai 13 November 1996. Mimbar Penyair Abad 21 merupakan kelanjutan dari Forum Puisi Indonesia (1987) yang juga diselenggarakan oleh DKJ. Saya dipercaya untuk mengumpulkan data seluruh penyair yang ada di berbagai daerah. Sekitar 90-an penyair yang diundang.

Pertama-tama saya menghubungi penyair di daerah yang sudah punya nama, minta referensi nama-nama penyair yang layak mewakili daerah tersebut. Misalnya untuk Lampung saya menghubungi Isbedy Stiawan ZS, untuk Jawa Barat saya telepon Azep Zamzan Noor, dan setrusnya. Calon peserta kita mintai karya yang akan dibacakan sekaligus sebagai bahan seleksi.

Jadi, meskipun direkomendasikan oleh penyair atau sastrawan di daerah, keputusan akhir ada di Jakarta, di tangan editor Taufik Ismail, Sutardji, dan Slamet Sukirnanto. Setelah diputuskan, baru kita undang ke Jakarta untuk tampil membacakan karyanya.

Mimbar Penyair Abad 21 adalah program terakhir pertemuan sastra yang dibuka oleh Gubernur DKI. Sejak saat itu tidak ada lagi forum-forum pertemuan penyair seperti itu. Padahal dari forum-forum seperti itu Dewan Kesenian Jakarta, khususnya sastra, banyak penyair-penyair besar. Terutama sejak Froum Pertemuan Penyair Muda tahun 1975.

Buku kumpulan puisi peserta Mimbar Penyair Abad 21 masih diperjualbelikan di toko online. Bagaimana perasaan Anda?

Ya, saya sebagai penyusun buku kumpulan puisi Mimbar Penyair Abad 21 bersama Imam Wahyudi AR dan Rulakso cukup bangga karena terlibat langsung dalam kegiatan yang kemudian menjadi tonggak pencapaian sejumlah penyair. Mimbar Penyair Abad 21 berhasil mengangkat sejumloah penyair daerah ke level level nasional. Beberapa di antaranya berhasil menciptakan kekhasan tersendiri dalam puisi-puisinya seperti Jokpin (Philipus Joko Pinurbo, yang wafat 27 April kemarin). Ada juga Oka Rusmini, Iyut Fitra, Badruddin MC, Tan Lioe Ie, dan lain-lain.

Mengapa setelah itu pamor TIM sebagai tempat lahirnya penyair dan sastrawan hebat seperti redup? Benarkah karena mulai terjadi kubu-kubuan, atau karena munculnya pusat-pusat kesenian baru yang cukup berwibawa seperti Salihara, dan Bentara Budaya?

Kalau blok atau kubu-kubuan antar kelompok, itu hal yang biasa. Di era sebelumnya juga sudah terjadi. Demikian juga munculnya pusat-pusat kesian baru. Sebenarnya tidak terlalu berpengaruh, bahkan bisa menjadi pemacu semangat untuk menghadirkan kegiatan yang lebih berbobot.

Vakumnya TIM dari kegiatan sastra yang besar dan bergengsi diakibatkan oleh lemahnya peran DKJ, dan stakeholders lainnya yang merumuskan konsep kegiatan. Hal ini karena mereka seperti enggan melibatkan kita (sastrawan, red) dalam merumuskan dan membuat kebijakan. Padahal banyak di antara orang-orang yang kini memiliki posisi sebagai penentu, sama sekali tidak mengenal DNA TIM sehingga orientasi kerjanya benar-benar birokrat minded. By project. Parahnya lagi, yang berpola pikir birokrat ini bukan hanya yang ada dalam lembaga birokrasi, tapi juga yang berada di lembaga yang mestinya independen seperti DKJ.

Bagaimana dengan munculnya perlawanan dari daerah yang ingin menumbangkan hegemoni TIM di bidang sastra. Seperti kita tahu sempat muncul gerakan Revitalisasi Sastra Pedalaman yang digaungkan Kusprihyanto Namma dan diikuti tumbuhnya pusat-pusat kesenian di daerah seperti di Magelang, Jember, Lampung, Riau, Padang, dan lain-lain?

Sama jawabannya, tidak memberi pengaruh dalam arti tidak bisa melunturkan “keangkeran” TIM seandainya para pelaku kesenian di TIM konsisten dengan konsep berkesenian yang mengedepankan kualitas sambil terus melahirkan gagasan dan ide-ide besar. Bukan sekedar kegiatan rutin bulanan yang melibatkan komunitas tanpa rekam karya dan prestasi yang jelas. DKJ harus kembali menjadi lembaga yang bisa menciptakan kegiatan berkualitas, melalui kurasi yang ketat tanpa melibatkan unsur emosional.

Sore awal kemarau menutup obrolan PojokTIM dengan Remmy Novaris DM. Langit Cikini begitu muram. Remmy berkemas. Langkahnya pelan saat meninggalkan selasar TIM. Seperti sedang merangkai ceceran peristiwa dari tahun-tahun lampu.

 

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini