PojokTIM – Memasuki salah satu ruangan di Lantai 10 Gedung E Kementerian Kebudayaan, kami disambut lukisan Chairil Anwar berukuran 1×2 meter yang tergantung di atas meja kerja Staf Khusus Menteri Kebudayaan Bidang Diplomasi Budaya, Nissa Rengganis.

“Saya lebih senang dikenal sebagai sastrawan dan penggiat komunitas. Jabatan (di pemerintahan) itu sementara, santai saja,” cetus Nissa sambil tergelak.

Jauh sebelum berada di dalam pemerintahan, Nissa Rengganis dikenal sebagai penggiat budaya dan penulis puisi yang produktif. Namanya melejit di antara jajaran penyair nasional setelah buku antologi puisinya yang berjudul Manuskrip Sepi terpilih dalam sayembara Hari Puisi Indonesia 2015. Setelah itu, lahir buku puisi kedua Obituari Puisi, disusul Suara dari Pengungsian.

Puisi-puisi Nissa juga terhimpun dalam beberapa buku antologi bersama seperti Ibu Kota Keberaksaraan (Jakarta International Literary Festival 2011), Di Kamar Mandi bersama 62 Penyair Jawa Barat, Sauk Seloko, Negeri Abal-Abal, Titik Temu, dan lain-lain. Sejumlah media yang pernah memuat karyanya antara lain Majalah Sastra Horison dan Jurnal Perempuan. Nissa juga rajin menulis esai sastra yang kemudian dihimpun dalam buku Pojok Sastra.

Nissa sudah aktif berkesenian sejak masih mahasiswa Universitas Jenderal Sudirman, Purwokerto, Jawa Tengah, dengan bergabung dalam teater kampus. Kegiatannya semakin bertambah setelah aktif di berbagai organisasi, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), hingga menyelesaikan studi pasca sarjana Jurusan Hubungan Internasional di Universitas Gajah Mada. Saat ini, di tengah kesibukannya, Nissa sedang menempuh program doktoral Hubungan Internasional di Universitas Padjajaran.

“Sebagai Staf Khusus Bidang Diplomasi Budaya, tugas saya adalah bagaimana budaya Indonesia dikenal di dunia,” ujar Nissa yang pernah menjadi dosen Universitas Muhammadiyah Cirebon.

Berikut petikan wawancara PojokTIM yang ditemani anggota Dewan Kesenian Jakarta Imam Ma’arif dengan Nissa Rengganis, di ruang kerjanya, Senin (21/7/2025).

Apa kabar Rumah Rengganis?

Alhamdulillah Rumah Rengganis di Cirebon masih aktif. Masih berkegiatan. Saya membangun Rumah Rengganis tahun 2019, sudah jalan 5 tahun lebih. Awalnya, tahun 2010, saya mendirikan Rumah Kertas bersama Ahmad Syubbanuddin Alwy (almarhum). Idenya sebagai tempat nongkrong komunitas sastra di kota kelahiran saya, Cirebon. Karena dulu kita tidak punya basecamp. Kalau baca puisi, atau diskusi buku, nebeng ke kafe-kafe atau kedai kopi. Kadang juga di pelataran balai kota, atau halaman kampus.

Apa perbedaan dulu saat masih menjadi penyair dan penggiat komunitas dengan sekarang setelah menjadi pejabat?

Lumayan jadi lebih sibuk ya. Setiap hari, kami (Kementerian Kebudayaan) menerima permintaan audiensi dari berbagai seniman dan pelaku budaya, serta undangan untuk menghadiri acara-acara kebudayaan di berbagai daerah. Tapi, budaya ini kan passion saya, jadi saya merasa pekerjaan ini menyenangkan. Setiap hari kita bisa menyaksikan agenda kebudayaan. Biasanya hadir ke acara budaya sebagai pegiat komunitas, sekarang hadir sebagai perwakilan pemerintah. Dulu, saat saya sebagai penggiat komunitas, selalu mendorong negara ikut mendukung kegiatan-kegiatan komunitas. Sekarang saya yang dikejar-kejar (tertawa).

Saya senang bertemu dengan banyak komunitas dan diskusi dengan pelaku budaya, terutama generasi muda. Kami juga terus endorong generasi muda untuk aktif berpartisipasi dalam kegiatan budaya, baik sebagai peserta maupun penyelenggara, seperti festival daerah, lomba seni tradisional, atau komunitas seni. Pertemuan dengan banyak seniman, budayawan, dan pegiat komunitas, saya bisa mendapatkan banyak saran dan ide-ide kreatif dari teman-teman seniman untuk mendapatkan perspektif.

Tugas saya tentu saja membantu Menteri dalam menyusun kebijakan dan strategi diplomasi budaya dan memberikan masukan strategis terkait penguatan citra Indonesia melalui budaya. Dengan hadirnya Kementerian Kebudayaan melalui Direktorat Jenderal Diplomasi, Promosi, dan Kerja Sama Kebudayaan, kami membangun dan memperkuat kerja sama budaya dengan negara lain, lembaga internasional, dan organisasi multilateral. Serta  mendorong pertukaran budaya, seperti pengiriman seniman, pameran seni, pertunjukan, dan residensi budaya.

Di tengah kesibukan saat ini, Anda masih sempat menulis puisi?

Masih, dikit-dikitlah. Kalau mau menulis puisi kan perlu mengumpulkan data, riset dulu. Nah, saat bertemu dengan teman-teman, bertemu hal-hal baru, itu juga riset. Saya endapkan, dan ketika ada kesempatan, baru saya tulis. Saat ini, saya sedang merancang kumpulan esai kebudayaan. Mudah-mudahan akhir tahun ini bisa terbit.

Apa yang menjadi concern Kementerian Kebudayaan?

Kementerian Kebudayaan memiliki beberapa program utama yang berfokus pada pelestarian, pengembangan, dan pemajuan kebudayaan nasional. Beberapa program prioritasnya meliputi revitalisasi kawasan budaya, cagar budaya, dan museum, repatriasi artefak budaya, perlindungan bahasa daerah, penguatan industri budaya, dan diplomasi budaya.

Kami juga punya program penguatan ekosistem sastra. Dimulai ada laboratorium penerjamahan karya sastra, laboratorium promotor sastra, penguatan festival sastra, dan penguatan untuk komunitas sastra. Kemudian membentuk tim program promosi sastra. Kabar baiknya, Kementerian Kebudayaan mendapat kehormatan untuk menjadi guest of honor di Abu Dhabi International Book Fair pada 2026. Ini kesempatan untuk kami hadir kembali dalam festival-festival sastra dunia, untuk lebih intens membawakan karya-karya sastra Indonesia ke panggung dunia.

Terkait pengembang dan pemanfaatan karya sastra, bisa dijelaskan lebih jauh?

Sejalan dengan amanat UUD 1945 pasal 32 yang menyatakan “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”. Dan tentu saja, merujuk perundang-undangan kita, dalam ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, sastra dimaknai sebagai bagian dari bahasa, seni, dan tradisi lisan yang termasuk dalam objek pemajuan kebudayaan.  Dengan ini, Kementerian Kebudayaan berkomitmen memberikan ruang bagi sastra untuk mendorong proses pemajuan kebudayaan nasional. Salah satunya dengan mendorong diplomasi budaya melalui penguatan ekosistem sastra dengan menginisiasi berbagai program di antaranya

1) Laboratorium Penerjemah Sastra
2) Laboratorium Promotor Sastra
3) Penerjemahan Karya Sastra
4) Penguatan Festival Sastra
5) Penguatan Komunitas Sastra
6) Manajemen Talenta Nasional Bidang Sastra
7) Pengembangan Sastra Berbasis IP, dan
8) Promosi Sastra

Melalui program-program tersebut Kementerian Kebudayaan berharap, akan dapat memperkuat ekosistem sastra di dalam negeri, dan juga dapat menjadikan sastra sebagai jembatan diplomasi kebudayaan di dunia internasional.

Apakah dewan kesenian diharuskan menjadi dewan kebudayaan sebagai dampak lahirnya UU Pemajuan Kebudayaan?

Terkait UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, kemarin memang ada arahan agar dinas-dinas di pemerintahan daerah mengikuti nomenklaturnya. Saat ini dinas-dinas di daerah masih menggunakan nama berbeda-beda seperti Dinas Kebudayaan dan Pariwisata di Cirebon. Ada juga Dinas Pendidikan, Budaya dan Olahraga atau Disbudpora.

Lambat-laun kami upayakan agar satu nomenklatur karena sudah ada Kementerian Kebudayaan. Kami sudah melakukan koordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri untuk mengimbau agar nama dinas yang terkait kebudayaan diseragamkan menjadi Dinas Kebudayaan.

Namun demikian, keberadaan Dewan Kesenian tidak harus digusur atau diganti menjadi Dewan Kebudayaan. Saat ini kami masih dalam tahap sosialisasi UU-nya. Jadi, silakan saja disesuaikan dengan kebutuhan para seniman di daerah. Itu sebabnya di beberapa daerah ada Dewan Kesenian, dan Dewan Kebudayaan. Ada juga yang akhirnya kompromi di mana Dewan Kesenian melebur ke Dewan Kebudayaan.  Mungkin perlu dirancang pertemuan (lagi) antara Dewan Kesenian dan Dewan Kebudayaan se-Indonesia.

Menteri Kebudayaan, Bapak Fadli Zon menggagas penyusunan Omnibus Law Kebudayaan, sebuah inisiatif untuk menyatukan berbagai undang-undang terkait kebudayaan ke dalam satu regulasi terpadu. Tujuan utama dari gagasan ini adalah menyederhanakan dan mengintegrasikan peraturan yang saat ini tersebar di berbagai UU, seperti UU Cagar Budaya, UU Perfilman, UU Pemajuan Kebudayaan, serta aspirasi dari sektor musik, museum, dan cabang seni lainnya. Dengan adanya Omnibus Law, diharapkan semua aspek kebudayaan dapat diatur secara terpadu, memudahkan koordinasi antar lembaga, dan mengatasi tumpang tindih aturan yang sering menghambat perkembangan sektor budaya di Indonesia.

Ada pesan panitia dan peserta Pertemuan Penyair Nusantara XII yang akan diadakan di Jakarta, September mendatang?

Saya sangat mendukung pelaksaaan PPN XIII di mana kita menjadi tuan rumah. Semoga terlaksana dengan baik karena saya juga terlibat dalam kepanitiaan. Kementerian Kebudayaan sudah menerima audiensi panitia PPN XIII, dan diberikan arahan untuk menggunakan Dana Indonesiana. Saat ini masih dalam tahap review program oleh tim penilai. Kita tunggu pengumuman secara resmi karena ada tim independen untuk penilai dana indonesiana.

Apa yang Anda lihat dan rasakan tentang TIM sekarang?

Awalnya agak waw-was (saat dilakukan revitalisasi) karena TIM yang lama sangat rindang, dan terbuka untuk tempat kumpulnya seniman dan budayawan dari beragam kalangan. Tapi, kekhawatiran itu terjawab sekarang kita bisa lihat di TIM lebih banyak kegiatan, dan tetap menjadi ruang pertemuan seniman budayawan lintas komunitas. Sekalipun, muncul beberapa aspirasi dari kalangan seniman soal sewa gedung yang mahal, karena dikelola Jakpro (PT Jakarta Propertindo). Saya pribadi mendukung keinginan teman-teman seniman. Harus ada kompromi, harus ada kebijakan yang memihak kepada seniman. Salah satunya dengan menurunkan harga sewa gedung. Bila perlu satu gedung di TIM digratiskan untuk seniman. Sebab antusiasme teman-teman seniman, pelaku budaya untuk terus produkitf menampilkan karya-karyanya harus diapresiasi, disambut dengan baik.

 Apa kenangan paling membekas di TIM?

Sejak kuliah semester empat di Universitas Jenderal Soedirman, saya berkesempata beberapa kali mengunjungi Taman Ismail Marzuki, baik undangan untuk pertunjukan teater, diskusi buku, pemutaran film, atau acara panggung sastra.  Saat itulah saya bersinggung langsung dengan seniman-seniman yang sebelumnya hanya dilihat dari jauh, dari media sosial. Sebagai mahasiswa dari kampus di kota kecil, tentu bertemu dengan banyak seniman budayawan di Jakarta, suatu hal menyenangkan dan menambah wawasan berkesenian. Jadi saya berutang banyak dengan ambient di TIM, dengan suasananya. Zaman kuliah tentu uang belum banyak, ongkos pas-pasan kalau ke Jkarta naik kereta ekonomi, bahkan numpang mandi, istirahat di pojokan kantin, atau di toko buku Pak Jose (Gelari Buku Bengkel Deklamasi milik Jose Rizal Manua).

Dari Purwokerto saya bawa tas yang isinya baju berlapis-lapis, laptop. Berat banget. Sementara saya ingin mengikuti berbagai aktivitas. Karena dulu kalau pun tidak ada pertunjukan resmi, ada yang latihan teater, latihan nari, ada yang baca puisi, yang bisa kita tonton juga. Suasananya sangat hidup. Jadi saya nitipin tas di tempat Pak Jose. Saking seringnya, pernah saya kelupaan. Saat pulang tasnya ketinggalan.

Saya merasa TIM menjadi ruang pertama yang menantang saya untuk berkreasi karena saya melihat ada atmosfir berkesenian yang hidup, tumbuh, dan aktif, yang membuat saya terpapar dengan semangat berkesenian yang tumbuh di sana. Ketika masa-masa jenuh, terjebak di ruangan (kerja), saya selalu butuh ke TIM walaupun sekarang atmosfirnya agak berbeda.

 

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini