PojokTIM – Hampir setiap hari ada acara pembacaan puisi, di berbagai bertempat dan terutama yang diikuti oleh emak-emak. Tetapi seberapa banyak dari mereka yang paham makna puisi dan memiliki kesadaran akan tujuan puisinya? Ataukah sekedar meramaikan momen tertentu, dan latah hanya untuk status media sosialnya?

“Apa mereka paham puisi yang mereka tulis atau mereka baca? Atau, seperti kata Rendra, apakah puisi yang mereka bikin dan dibacakan, sekedar puisi salon, yang bertutur tentang dirinya saja?” ujar pengamat sastra Maman S Mahayana dalam acara peluncuran dan diskusi buku kumpulan puisi Jantung yang Berdetak Dalam Batu karya Helvy Tiana Rosa di Pusat Dokumen Sastra (PDS) HB Jassin, Lt 4 Gedung Ali Sadikin, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (27/4/2025).

Menurut Maman, setelah RA Kartini menulis surat-suratnya dan menjadi perbincangan luas, RM Tirto Adhi Soerjo menerbitkan koran Poetri Hindia pada 1 Juni 1908 di Batavia. Tujuannya memberikan wadah bagi perempuan untuk menuangkan ide dan aspirasinya. “Dari situ muncul penulis-penulis perempuan yang memiliki  kesadaran sebagai penulis yang bersenjatakan gagasan dan ide,” terang Maman.

Sayangnya kondisi saat ini tidak selalu mencerminkan hal itu. Beruntung ada Helvy yang puisi-puisinya memiliki tujuan kesadaran kebangsaan, kesadaran kemanusian, sebagai bagian dari perjuangannya.

“Puisi Helvy tentang Palestina sebenarnya menggambarkan kondisi bangsa kita saat ini. Kita marah pada sesuatu tetapi kita tidak berbuat suatu,” katanya.

Pendapat Maman didukung Venus Khasanah, pembicara kedua yang juga editor buku Jantung yang Berdetak Dalam Batu, Dalam diskusi yang dipandu dosen Universitas Bina Nusantara (Binus), Rahmi Yulia Ningsih, Venus mengatakan diksi yang digunakan Helvy mampu mewakili pesan yang ingin disampaikan dengan bernas tetapi tetap sebagai puisi yang bercita rasa tinggi.

“Imajinasi yang dibangun membawa pembaca pada harmonisasi pesan yang disampaikan,” puji dosen sastra Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu.

Dalam materi yang diberi judul Kata-kata yang Bersuara Penuh Makna dan Sarat Cerita, Venus mengatakan Helvy adalah sastrawan yang bukan saja produktif, namun juga piawai memilih kata.

“Buku yang berisi 55 puisi ini bertema kesaksian, perlawanan, pembelajaran, dan apresiasi sastra. Tema perlawanan diwujudkannya dalam puisi-puisi tentang kemerdekaan Palestina seperti dalam puisi Jantung yang Berdetak Dalam Batu. Pilihan kata dan pesan yang disampaikan dalam puisi itu memancing imaji pembaca,” terang Venus.

Demikian juga dalam puisi Guru yang Menanam Kata-kata, yang menyoroti fenomena nyata tentang materi pembelajaran sastra  di sekolah. “Kerisauan tentang Indonesia, diungkap dalam puisi berjudul Bung Hatta dan Kepada Indonesia,” kata Venus, Ketua Himpunan Sarjana Kesusasteraan Indonesia (Hiski) UNJ.

Helvy Tiana Rosa diapit para pembicara  dan moderator diskusi. Foto: Wahyu Toveng

Sementara Agus R Sardjono yang menjadi pembicara terakhir membagi puisi Helvy berdasarkan tema yakni Palestina, ibu, pahlawanan, dan guru. Namun demikian ada puisi-puisi yang tidak termasuk dalam kategori tersebut.

Agus mengapresiasi puisi-puisi Helvy tentang Gaza yang sangat tegas menyuarakan kesedihan dan kemarahannya atas tragedi kemanusian yang tengah terjadi, sementara negara-negara yang selama ini mengglorifikasi humanisme, liberal dan universal, justru diam.

Menurut Agus, VS Naipaul dari Manhattan Institute pernah mengatakan peradaban yang dimulai di Eropa dan menyebar ke Amerika agaknya bagus untuk diterima sebagai sebuah peradaban bagi semua orang, karena ia membuat upaya yang luar biasa untuk mengkonsolidasikan ketentraman dunia serta semua yang mutakhir dari pemikiran dunia.

Sedang Francis Fukuyama, demikian Agus, menggambarkan runtuhnya Uni Sovyet sebagai akhir dari evolusi ideologi umat manusia dan universalisasi paham liberal Barat atau demokrasi sebagai bentuk final pengaturan manusia.

“Namun apa yang terjadi di Gaza merupakan titik balik dari doktrin Barat tentang humanisme, liberal dan universalitas. Amerika dan Inggris sebagai penyokong utama liberal Barat, sunyi ketika tragedi kemanusiaan terjadi di Gaza,” ujar Agus.

Sebelum acara,  Helvy mengungkapkan rasa bangga dan memberikan apresiasi kepada Bengkel Sastra UNJ yang sebelumnya telah menggelar kegiatan di Teater Kecil sebagai bagian dari peluncuran dua bukunya, kumpulan puisi Jantung yang Berdetak Dalam Batu dan novel Jangan Lupa Jatuh Cinta.

“Saya juga mengapresiasi Penerbit Bukunesia yang telah menerbitkan buku-buku saya. Saya tidak mau menerbitkan buku di tempat lain,” ujar Helvy yang merupakan dosen di UNJ.

Selain musikalisasi dari mahasiswa UNJ, acara juga diisi dengan pembacaan puisi oleh para juara lomba baca puisi nasional yakni Rahmi Yulia Ningsih, Ical Vrigar, Devie Matahari, Ayu Puspa Nadia, Mae Shafira, Ahmad Mulyadi dan Fauzi Afriansyah.

 

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini