Catatan Nanang R. Supriyatin

Tagline awal tema yang mencuat ke permukaan di grup Sastra Reboan, antara lain “Kumpul Komunitas”,  “Berhimpun di Ujung Tahun”, kemudian muncul juga “Meriung di Ujung Tahun”, hingga “Riung Komunitas: Tutup dan Buka Tahun”. Gagasan yang dilontarkan A. Slamet Widodo, Jhodi Yudono dan Kurnia Effendi – semuanya berhubungan erat dengan perbincangan kita kali ini. Bukan hanya penyair, penulis puisi dalam komunitas. Menurut Kurnia Effendi, bisa jadi mencakup keluasan. Mungkin ada komunitas musikalisasi, teater, cerpen, esai. Intinya kita ngeriung menutup tahun 2024, dan menyongsong harapan baru di tahun 2025.

Ide/ gagasan di atas sangat familiar, dan ini mengingatkan saya saat diundang Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa yang diprakarsai oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti di halaman kantor Badan Bahasa, 8 November 2024 lalu. “Pak Menteri Ngariung bersama Tokoh Bahasa, Sastra, dan Literasi”. Banyak sastrawan yang hadir. Barangkali itu bukti bahwa aspirasi sastrawan yang selama ini merasa terpinggirkan mendapat saluran. Nah, Ngariung di ujung tahun, di aula Pusat Dokumen Sastra H.B. Jassin ini tidak menutup kemungkinan sebagai pembuka jalan menuju sastra yang lebih berwibawa melalui diskusi dan seni pertiunjukkan di tahun yang akan datang.

“Istilah komunitas sastra merujuk pada kelompok kolektif individu yang memiliki pengetahuan, minat, dan nilai bersama yang terinspirasi oleh aspek-aspek karya sastra, pengarang, atau genre yang mencerminkan minat dan nilai bersama para anggotanya dalam komunitas sastra.” (Kirkpatrick & Dixon, 2012).

 “Komunitas sastra adalah wadah untuk memproduksi atau mengonsumsi sastra secara kolektif. Komunitas sastra juga dapat berfungsi sebagai ruang untuk membangun tren baru, memberikan batu loncatan bagi pengarang untuk meraih legitimasi dalam arena sastra yang lebih luas, dan tempat untuk mengapresiasi dan mengolah kreativitas seni sastra.” (klik google).

“Suatu kelompok/ komunitas Sastra cenderung akan dikenal jika para anggotanya memiliki kemampuan berekspresi secara individual, dan ketuanya tidak mengedepankan egoisme pribadi. Ketua menjadi berwibawa tatkala ia menjadi juru bicara yang baik, dan bukan menjadi juru tafsir untuk komunitasnya.” (disinggung juga dalam tulisan NRS di Skh. Republika, 7 Oktober 2001).

 Pemetaan Komunitas (bukan untuk dijadikan rujukan):

  • Sebanyak 80-an komunitas Sastra se-Jabodetabek, hasil mapping yang dilakukan Komunitas Sastra Indonesia, bekerja sama dengan Litbang Kompas, tahun 1996.
  • Sebanyak 58 komunitas Sastra/ Teater/ Literasi, dari catatan panitia yang terdaftar mengikuti event Senja Berpuisi yang diselenggarakan Dispusif, PDS H.B. Jassin, OMG Organizer dan Dapur Sastra Jakarta, tahun 2022.
  • Tercatat 1.030 Sanggar Seni (sastra di dalamnya), yang terdaftar dan terverifikasi di Dinas Kebudayaan Jakarta.
  • Tercatat 38 komunitas sastra se-Jabodetabek yang menyatakan sikap pasca terpilihnya Anggota Komite Sastra DKJ, sebagaimana diatur dalam keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 498 tanggal 27 Juli 2023, masa bakti tahun 2023 – 2026.

Data base pemetaan komunitas sastra saya kira sangat diperlukan. Sinergitas antar Lembaga dan komunitas, seperti Dinas Kebudayaan, Dinas Perpustaan dan Kearsipan, Dewan Kesenian Jakarta dan komunitas, memungkinkan didapat akurasi data yang lengkap*

Merawat dan mengenalkan karya sastra (puisi, cerita pendek, novel, naskah drama) ke setiap generasi adalah salah satu cita-cita H.B. Jassin, antara lain dengan cara:

  • Mengumpulkan karya sastra yang berserakan di koran dan majalah
  • Menyimpan karya sastra yang sudah dikumpulkan dengan rapi di perpustakaan pribadinya
  • Membangun dokumentasi sastra yang bisa dijadikan rujukan
  • Menerbitkan hasil dokumentasi sastra dalam berbagai publikasi, seperti buku, koran dan majalah

Kehadiran komunitas adalah efek karena adanya ruang untuk berekspresi, dan kehadiran karya sastra adalah inti dari munculnya komunitas dalam bentuk pertunjukkan (baca puisi, musikalisasi puisi, teatrikal puisi, dll.).

*Senja Berpuisi, Refleksi Akhir Tahun

Senja Berpuisi awalnya di inisiasi OMG Organizer, Dapur Sastra Jakarta, serta didukung Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Jakarta melalui Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.

  • Bulan Juli 2022 tampil Penyair Seksih (Nuyang Jaimee dkk) di out door Pekan Raya Jakarta (PRJ).
  • Tanggal 20 Agustus 2022 hadir Parade Baca Puisi oleh para Penyair, Deklamator dan Pegiat Literasi.
  • Tanggal 3 September 2022 tampil KomunitasTaman Inspirasi Sastra Indonesia (TISI), diketuai Oktavianus Masheka.
  • Tanggal 10 September 2022 tampil Grup Musikalisasi Puisi Kolam Jiwa, di bawah pimpinan Rico Rich.
  • Tanggak 11 September 2022 tampil Grup Zam Mime, berupa pementasan pantomim.

Kalau diamati dari jumlah audiance; sepertinya tidak terlalu menggembirakan. Di satu sisi, mayoritas audiance hanya dari komunitas Sastra/ Sanggar. Di sisi lain, jika diamati dari daftar hadir, kehadiran audiance diluar ekspetasi. Panitia terkadang harus bersusah payah merayu orang-orang yang lalu-lalang (mungkin mereka tamu perpustakaan). Panitia bahkan menjanjikan door prize (berupa buku-buku sastra dan parfum) demi menarik penonton.

Sepanjang sejarah, menggagas sebuah tontonan yang menghibur dan menyisipkan ilmu memang tak semudah membuka telapak tangan. Panitia dituntut kreatif dengan konsep yang jelas sebelum konsep itu dikaji ulang oleh komunitas. Sebagai bagian dari panitia Senja Berpuisi, saya merasa lega ketika sebuah komunitas membawa massa ke ruang terbuka, mengedukasi dan mengapresiasi sebuah karya; di mana karya yang disampaikan memiliki nuansa berbeda, tanpa keberpihakkan.

Senja Berpuisi, seperti tertera di X-Banner ialah pertunjukkan Baca Puisi, Musikalisasi Puisi, Teatrikal Puisi, Pantomim Puisi, Visualisasi Puisi, termasuk talk show dan podcast.

 Mengamati pementasan Senja Berpuisi, dalam amatan saya sebagian performance personal/ grup belum mampu membangun sebuah karya sebagai sebuah tontonan yang menghibur. Audiance asik-asik saja sebagai pendengar tapi tidak sebagai penikmat. Bisa jadi ini terjadi karena bising suara angin, atau disebabkan sound-nya yang kurang mendukung.

Selain musikalisasi puisi yang dibawakan Rico Rich dkk, dan vokal lirisnya Rinidiyanti Ayahbi yang memang enak di dengar di telinga. Beberapa pembaca puisi memang selalu dinanti penampilannya, sebut saja Ical Vrigar dan Guntoro Sulung. Kreasi Ilhamdi Sulaiman dengan sepeda mininya saat membaca sajak “Indonesiaku” karya Hamid Jabbar, dan dengan tong kosong saat membaca sajak “Jante Arkidam” karya Ajip Rosidi — telah membawa kesegaran tersendiri.

Sebagai penikmat pertunjukkan, salah satu yang jadi andalan saya ialah musikalisasi puisi. Sound dengan kapasitas tinggi bisa jadi acuan untuk ruang terbuka. Sajak “Luka”-nya Sutardji Calsoum Bachri tersaji dengan hikmat lantaran dilantunkan dengan suara yang juga hikmat, dengan lengkingan yang nyaris memukau pendengar. Ada proses kreatif di sini – yang tentunya berbeda dengan saat Tardji membacakan sajak dimaksud. Tardji dikenal bukan sekadar sajak-sajak mantranya, tapi juga penampilan baca sajaknya yang tanpa teks dan selalu membuat penonton terpana. Yang ingin saya sampaikan, jadilah diri sendiri dengan coba beradaptasi melalui larik sajak karya orang lain. Sajak-sajak karya penyair ternama sangat banyak dan baik untuk dibacakan di atas panggung maupun di ruang-ruang terbuka. Meskipun sajak yang dipilih terkadang terasa membosankan serta menjenuhkan untuk didengar.

Di event Senja Berpuisi, panitia memberi kelonggaran melalui musikalisasi, visualisasi maupun teater puisi. Visualisasi tari maupun pantomim akan mampu beradaptasi dengan sebuah sajak jika saja melalui proses dan konsep yang matang. Gestur tubuh adakalanya kurang memberi makna ketika sebuah karya masuk melalui musik atau pun audio visual. Seolah-olah tari/ pantomim bermain dengan kreasinya sendiri, sementara musik terus bermain dengan relaksasi total. Seperti juga pembaca sajak Chairil Anwar ataupun pembaca sajak Rendra. Umumnya pembaca lebih fokus dengan nuansa baca sajak yang dihadirkan di youtube atau pun di pentas lain. Yang dilihat dan didengar penonton bukanlah si penampil, tapi sekadar ucapan, “Ohh… itu sajak si Anu yang dibacakan.” Tanpa bisa fokus ke yang tampil. Contoh-contoh ini bagian dari yang saya amati selama hampir enam bulan.

Setiap komunitas pasti punya kelebihan. Nah, kelebihan ini yang saya sebut sebagai aura-nya komunitas. Teater Mini Kata dan Bengkel Sastra memiliki seorang kharismatik; yakni W.S. Rendra. Kenduri Cinta memiliki seorang Kyai merangkap Budayawan; Emha Ainun Nadjib. Namun, banyak juga seniman yang tampil solo, dengan kreasi kreatif di atas panggung. Di antaranya Sutardji Calsoum Bachri, Taufik Ismail, Hamid Jabbar, Leon Agusta dan Yudhistira Ardhi Nugraha.

Grup Kolam Jiwa makin hidup dengan permainan gitar dan suara nge-basnya Rico Rich, juga Rinidiyanti Ayahbi. Zam Mime mengandalkan Empang Grup, dan Kukuh Enterprize mengandalkan Akordeon (instrumen musik portabel berbulu bebas, terdiri atas casing treble dengan tuts atau tombol eksternal bergaya piano, dioperasikan dengan tangan). Selain para deklamator yang sering menjuarai lomba baca puisi, tentulah terngiang nama-nama asing yang juga pernah menjuarai lomba baca puisi di event Seabad Chairil Anwar, Piala H.B. Jassin dan yang diselenggarakan kantong-kantong budaya. Di lain sisi, bisa juga tampil sastrawan secara talk-show melalui Petang di Taman (sub bagian Senja Berpuisi). Yang jadi pertanyaan, cukup kah anggaran untuk itu?

Menafsirkan Senja Berpuisi pada akhirnya seperti menonton lomba. Lagi-lagi penonton mesti memasuki nuansa sajak-sajak penyair yang sudah malang-melintang. Umpamanya membaca ulang sajak penyair Chairil Anwar, Rendra, Hamid Jabbar dan sebagainya. Apresiasi terhadap sajak-sajak yang lahir pasca periodisasi 60-an dan 70-an belum tampak kepermukaan. Sajak-sajak karya Afrisal Malna, Joko Pinurbo, Kriapur, Eka Budianta, Ahmadun Yossy Herfanda serta sajak-sajak pemenang Buku Terbaik HPI, belum tersentuh. Penonton Senja Berpuisi belum konsens dengan garapan seni tradisi. Padahal seni tradisional Minangkabau, “Randai” yang menggabungkan seni lagu, musik, tari, drama serta silat sangat indah untuk ditonton, sebagaimana diperagakan di Senja Berpuisi tanggal 11 September 2022. Contoh tarian warisan tanah leluhur Rote yang dimainkan saat peluncuran buku mini biografi karya Fanny Jonathans di indoor  aula PDS H.B. Jassin. Musik gambang kromong dan Tanjidor Betawi, tarian tradisional khas Sunda, Jaipong dan lainnya – belum tampak hadir di ruang out door selasar PDS H.B. Jassin. Komunitas agaknya masih asik menyenandungkan syair-syair dengan lirik penyair ternama. Ini gejala apa? Padahal buku sastra-puisi terbit ratusan buku setiap tahunnya. Puisi-puisi terus mengalir di akun Facebook, Instagram dan Youtube.

datang silaturahmi, dihibur lagu
pulang ke rumah dapat ilmu

Di Senja Berpuisi episode-5 yang berlangsung hari sabtu, 17 September 2022. Audience stagnan di sekitar lokasi selasar. Ini menandakan Senja Berpuisi makin punya aura. Suport bukan saja datang dari komunitas ke komunitas. Akan tetapi juga suport datang dari lapisan masyarakat yang nota bene butuh sebuah hiburan. Terobosan yang dijalankan panitia dan dibantu kru PDS HB Jassin serta komunitas melalui jejaring face book, grup WhatShapp maupun yang terpublish di face book dan di instagram memperlihatkan adanya kerja sama. Sinergitas ini salah satu point penting dalam memajukan kesenian.

Sebagian penonton menyimak dengan sungguh saat Leolintang Anies Munfarida asal Depok beserta grup tarian yang diasuhnya – mempertunjukkan seni baca puisi, tari disertai melukis di atas level menggunakan kanvas dan bingkai. Dengan durasi sekitar 10-15 menit tampak lahir lukisan ekspresionisme. Saya seperti melihat ada mantra-mantra saat Leolintang memanfaatkan cat minyak yang ditaburkan dari telapak tangannya ke arah kanvas. Baca puisi Herman Syahara makin kelihatan kreasinya, saat ia begitu khusyuk membaca puisi karyanya berjudul “Seumpama Kau Mery Jane Vieta Velosa. Lembaran foto copy close up Mery Jane yang disambung benang sekitar 3 meter di depan level termasuk bagian dari kreasi dan kerja kreatif seorang Herman. Beberapa penampil lain masih tampak bersahaya dan garang saat baca puisi. Guntoro Sulung  membaca “Kupanggil Namamu” karya WS Rendra. Untung Hadi M.Arh dan Ginanjar “Empat Sekawan” masih tetap solid dengan semangat membaca puisinya.

Kukuh Enterprise yang dikomandani Kemalsyah semestinya mampu menghadirkan proses kreatif dengan naskah kearifan lokal, misal musik daerah asal Minangkabau maupun asal Sunda yang memiliki kultur dan etnis sangat indah. Atau, membacakan sajak-sajak beberapa penyair dengan nuansa kedaerahan, baik karya Ajip Rosidi, Ibrahim Sattah maupun para penyair asal Sumatera Barat. Sayangnya audio visual sebagai latar dan akordeon yang dimainkan Frans tidak dimanfaatkan secara optimal. Penonton dalam beberapa menit memang terhibur ketika komunitas ini menyanyikan lagu “Baby Blue”, dilanjutkan musik dance, mengajak beberapa audience untuk ikut berdansa. Kostum serta style yang kebaratan, justru terkesan borjuis. Ciri khas borjuis ialah sebuah kelas sosial dari orang-orang yang dicirikan oleh kepemilikan modal dan perbedaan sosial.

Kehadiran Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Calsoum Bachri di antara para penonton benar-benar membuat surprise. Panitia sangat mengapresiasi kehadiran SCB di pentas Senja Berpuisi. Selama sekitar 10 menit ia berorasi. Bernostalgia di lokasi sekitar selasar tempatnya semula sebagai warga sastra di kawasan Taman Ismail Marzuki. Beliau mengingatkan kembali kepada generasi milenial tentang teks Sumpah Pemuda, dan pengaruh teks dimaksud dalam perkembangan perpuisian Indonesia. Dua puisi yang disuguhkan SCB, berjudul “Tapi” dan “Mana Telormu” masih terasa aura seorang penyair mantra yang juga pembaca puisi terbaik yang dimiliki Indonesia.

  • Disampaikan di Aula Pusat Dokumen Sastra H.B. Jassin pada hari Rabu, 4 Desember 2024.

 

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini