PojokTIM – Tidak ada kata lelah bagi Acep Syahril ketika berbicara tentang literasi sastra. Dengan nada meledak-ledak, Acep menyoroti berbagai praktek penyimpangan di dunia pendidikan yang menjadi penyebab perkembangan literasi di sekolah tertinggal jauh dibanding negara lain.
“Selama program pendidikan dibuat proyek, maka orientasinya keuntungan. Bukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Itu yang terjadi dalam program pengadaan buku di sekolah,” ujar Acep yang hadir sebagai narasumber dalam diskusi Literasi Sastra di Sekolah yang diselenggarakan Dapur Sastra Jakarta (DSJ) bekerjasama dengan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan DKI Jakarta serta PDS HB Jassin.
Penyair yang tinggal di Indramayu itu cukup rajin mengikuti kegiatan di Taman Ismail Marzuki (TIM), seperti diskusi sastra, launching buku, maupun pementasan seni. Sebaliknya, Acep juga sering mengundang penyair dan sastrawan dari Jakarta untuk mengisi acara di daerahnya. Terakhir Acep dan komunitasnya menghadirkan Remmy Novaris DM, Ketua DSJ yang juga owner Penerbit Teras Budaya.
“Literasi bukan hanya kemampuan menulis dan membaca, namun juga memecah masalah dan mengaplikasikan ilmu pengetahuan. Contohnya bagaimana mengubah air kencing menjadi bensin. Itu juga (bagian dari) literasi,” ucap Acep dengan mimik serius.
Banyak kegiatan yang telah dilakukan dari mulai mengajar sastra di sekolah, menggelar pementasan seni, hingga membuat gerakan pemajuan kebudayaan di Indramayu. Berikut petikan wawancaranya dengan PojokTIM, akhir pekan lalu.
Anda masih ingat sejak kapan aktif menggerakkan komunitas seni dan budaya di Indramayu?
Kalau di komunitas mulai 2006 karena sebelumnya, sejak 1999 sampai 2005, lebih banyak berkegiatan di sekolah-sekolah ngasih materi sastra. Dari SMP, SMA dan SMK, termasuk MAN (Madrasah Aliyah Negeri). Saya tidak mengajarkan teori menulis puisi, tapi bagaimana menggerakkan otak kanannya. Setelah siswa menggerakkan otak kanannya, barulah saya ceritakan tentang puisi, tentang sastra.
Bagaimana cara menggerakkan otak kanan?
Itu ada tekniknya, namanya hipnoria, jadi semi hipnotis yang membuat siswa riang. Saya sudah mengenalkan teknik itu sejak tahun 1987, Sekarang sudah diadopsi dalam Kurikulum Merdeka, cara menggerakkan otak kanan dan otak kiri siswa.
Dari berbagai penelitian diketahui, otak kanan memiliki kapasitas 90% dan otak kiri hanya 10-12%. Peran logika dalam membuat orang menjadi sukses hanya 4-6%, sedangkan 94-96% adalah tanggungjawab otak kanan yang banyak berhubungan dengan inovasi, kreativitas, naluri, intuisi, daya cipta, kejujuran, keuletan, tanggungjawab, kesungguhan, spirit, kedisiplinan, etika, dan empati.
Apa yang terjadi setelah otak kanan digerakkan atau dibuka?
Siswa menjadi lebih kreatif. Mereka bisa menulis puisi hanya dalam waktu sekitar 30 menit. Saya kemudfian mengumpulkan puisi-puisi itu, saya pilih dan kurasi. Kebetulan sejak tahun 2006 saya diberi peluang oleh surat kabar Sinar Pagi. Diberi halaman khusus untuk memuat puisi-puisi siswa saya. Jadi puisi yang telah saya kurasi, saya muat di koran Sinar Pagi, dan saya apresiasi. Setelah cukup banyak, saya mengajak pihak sekolah untuk menerbitkan dalam bentuk buku. Program ini cukup efektif dan perhatian sejumlah pihak sehingga kemudian banyak sekolah yang menghubungi saya mengajak kerjasama.
Apakah program itu sejalan dengan Gerakan Literasi Sekolah.
Awalnya saya menyambut baik hadirnya Gerakan Literasi Sekolah. Tapi implementasinya lemah. Bahkan pengadaan buku menjadi ajang korupsi di semua tingkatan sehingga abai terhadap semangat untuk meningkat literasi di sekolah yang sudah jauh tertinggal dibanding negara-negara lain. Saya tidak menampik, ada siswa yang gemar membaca. Tapi berapa prosentasenya? Sangat kecil. Ini terjadi di semua daerah.
Bagaimana dengan Kurikulum Merdeka yang telah dicanangkan?
Kurikulum Merdeka belum menjawab persoalan mendasar di bidang literasi. Masih mengajarkan teori. 14 mata pelajaran hanya berisi teori, minim praktek sehingga siswa lulusan SMA, SMK, tidak bisa apa-apa. Oleh karenanya, saya sedang menerapkan praktek pendidikan (informal) untuk siswa SMK berbasis inquire, bertanya. Siswa saya ajak membaca, lalu memahami dan bertanya sampai menemukan jawabannya. Misal, bagaimana mengolah air kencing menjadi bensin.
Jika siswa sudah diajarkan metode inquire, maka saat melihat gelas pecah seketika muncul pertanyaan dalam dirinya, bagaimana memanfaatkannya, bisa dijadikan apa, dan lain-lain. Muncul imajinasi, yang bermuara pada proses kreatif.
Bagaimana dengan komunitas sastra di Indramayu?
Literasi sastra di Indramayu tetap jalan. Rumah puisi saya juga tetap mengadakan kegiatan rutin. Tetapi saya tidak mau menyebutnya sebagai komunitas supaya tidak timbul kubu-kubuan. Kalau mereka mau belajar, tinggal datang saja. Saya tetap mengajarkan metode menggerakkan otak kanan meski tidak lagi di sekolah, dan tidak terlembaga. Ada beberapa murid saya yang berhasil menjadi penulis produktif, dari puisi, cerpen, novel.
Bagaimana dengan suasana kesusasteraan di daerah dibanding dengan Jakarta, seperti di TIM ini?
Kalau di Jakarta, di TIM, kan sudah terlembaga dan termenej (manajemen) dengan baik. Kalau di Indramayu, di Jawa Barat, jalan sendiri-sendiri. Makanya kalau dibuat lembaga, akan pecah. Merasa paling punya peran. Dengan tidak adanya lembaga, justru masing-masing punya tanggung jawab untuk menghidupkan literasi.
Bagaimana peran pemerintah daerah?
Pemerintah daerah tidak peduli dengan seni. Banyak grup-grup teater daerah yang berjalan sendiri. Mereka mendapat pemasukan untuk operasional ketika ada warga yang nanggap (pentas). Padahal ada banyak grup sandiwara tarling Indramayu, grup teater, tari, seni rupa, dan tentu saja sastra, yang hidup dan dikenal sampai ke luar daerah, bahkan luar negeri. Jika pun ada bantuan dari pemerintah daerah, jatuhnya kepada grup-grup yang punya kedekatan dengan pejabat daerah.
Anda sudah sampai pada tingkat apatis dengan peran pemerintah terhadap pemajuan budaya?
Faktanya memang begitu. Makanya saya bilang ke grup-grup kesenian di Indramayu agar memilih pemimpin yang benar-benar peduli dengan kesenian. Jangan pilih pemimpin yang melihat kesenian sebagai obyek pajak. Tidak pernah melakukan pembinaan, tapi begitu ada grup kesenian pentas, yang dilihat pajaknya.