PojokTIM – Wajahnya tetap ceria, dalam balutan blazzer hitam yang dipadu tube top putih. Tidak ada kesan lelah setelah menempuh penerbangan Bali-Jakarta, dilanjutkan perjalanan darat dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta ke Cikini, Jakarta Pusat, di tengah kepadatan lalu-lintas.

“Aku sudah terbiasa karena dulu kerja di sebuah biro peralanan. Kebisingan dan riuh suasana seolah sudah menjadi bagian hidupku,” kata Nunung Noor El Niel kepada PojokTIM di bawah bayang-bayang sore di seputaran Taman Ismail Marzuki (TIM).

TIM bukanlah tempat yang asing bagi Nunung. Sejak akhir tahun 80-an, Nunung sudah wara-wiri ke TIM karena kakaknya mahasiswa di Institut Kesenian Jakarta (IKJ).  Sesekali melihat seniman-seniman hebat berlatih teater, termasuk Deddy Mizwar, Ninik L. Karim, dan Jose Rizal Manua. Hanya saja saat itu belum ada greget untuk terjun ke dunia sastra.

Ketertarikannya pada sastra secara serius muncul setelah pindah ke Bali pada akhir tahun 1997, namun masih dipendam. Menulis puisi atau cerita pendek pun sembunyi-sembunyi, belum berani dikirim ke media massa. Ketika sesekali ke Jakarta, Nunung menyempatkan waktu ke TIM. Bukan lagi untuk menonton latihan teater, tapi mulai berinteraksi secara intens dengan beberapa penyair yang sering beraktifitas di Pusat Kesenian Jakarta itu. Sampai suatu ketika diajak ikut serta mengelola salah satu grup sastra tahun 2012.

Setelah mendapat cukup ilmu dari penyair-penyair di Jakarta, Nunung mulai membangun jejaring dengan para seniman di Bali sejak 2013 akhir. Bergabung dengan komunitas Jagat Kehidupan Puisi (JKP) yang digawangi Umbu Landu Parangi, Frans Nadjira, Wayan Jengki,Warih Wisatsana, Tan Lieo Ie, Sahadewa, Arya Dimas dan lain-lain. Nunung pun sering ikut dalam kegiatan JKP di daerah Renon, Denpasar Selatan.

“Aku banyak belajar dengan para senior di Bali. Aku senang bergabung di JKP karena dalam mengadakan kegiatan selalu mengutamakan kebersamaan. Jadi serasa dalam sebuah keluarga, bukan sebatas komunitas seni,” ujar pengurus Jagat Sastra Milenia (JSM) itu.

Bagaimana proses kreatif Nunung El Niel, capaian dan obsesi-onsesi yang masih terpendam? Berikut petikan wawancaranya yang dilakukan dalam 2 kali kesempatan.

Apakah puisi-puisi Anda didasarkan pada pengalaman pribadi atau imajinasi semata?

Awalnya karya-karyaku lebih banyak berdasarkan imajinasi, terpantik ide dari buku bacaan, atau suatu peristiwa. Misal kasus perempuan di Aceh yang dipaksa mengaku bahwa dia mau (melakukan hubungan badan), padahal sebenarnya dia diperkosa. Tentu tetap dibumbui imajinasi agar menjadi bahasa puisi. Namun belakangan aku lebih sering mengeksplorasi pengalaman pribadi, namun dalam konteks kehidupan sosial dan kemanusiaan.

Apakah ada hal-hal khusus yang selalu menginspirasi Anda dalam berkarya?

Tidak ada, semua mengalir saja.  Aku tidak menjadikan waktu khusus atau peristiwa khusus sebagai sumber inspirasi. Kadang dari obrolan seperti ini, aku mendapat inspirasi untuk menulis puisi.

Bagaimana dengan kebiasaan atau ritual khusus yang dilakukan sebelum menulis?

Tidak ada ritual khusus. Ingin nulis, ya nulis saja. Tetapi memang sering diendapkan dulu, kontemplasi, kadang sampai beberapa bulan. Ketika mendapat inspirasi, misal dari obrolan dengan teman, aku renungkan, sampai aku bisa menangkap maksudnya. Aku memaknainya sebagai proses spiritualitas dalam berkarya. Bahkan puisi-puisi yang sudah jadi, tidak langsung aku kirim ke media, atau aku anggap sudah selesai. Aku biarkan dulu beberapa lama, baru kemudian dibaca lagi. Kadang aku menemukan kalimat yang kurang pas sehingga aku koreksi. Itu kan juga bagian dari kontemplasi karya.

Anda sering mengangkat tema perempuan dan menggunakan tubuh sebagai metafora, Benar demikian?

Benar, aku mendalami tema perempuan, (ingin) berdiri kokoh pada isu-isu perempuan, dan mungkin ketuhanan. Aku menjadikan tubuh manusia sebagai metafora. Aku mengumpamakan tubuh perempuan sebagai semak-belukar.

Apakah ada alasan khusus mengapa Anda memilih tema tersebut?

Sejak usia 3 bulan aku sudah ditinggal ibu. Kondisi itu sangat membekas dalam diriku. Jadi ada masa di mana aku membenci perempuan. Namun setelah dewasa, pemikiranku mulai berubah, tidak ingin menyalahkan yang dulu. Biarlah semua mejadi sejarah masa lalu.

Pernah mendapat reaksi tidak mengenakan karena bahasa puisi yang Anda gunakan?

Aku pernah mengalami penolakan, bahkan sangat keras,  dari keluarga, dari orang-orang terdekat terkait penggunaan tubuh manusia, khususnya perempuan sebagai metafora. Tetapi pada saat bersamaan, aku mendapat dukungan dari teman-teman yang memahami konteks puisiku. Jadi aku pikir, bodo amat orang mau bilang. Aku hanya mencoba jujur pada karyaku. Menurutku, kejujuran dalam karya itu penting. Sebab karya kita akan dibaca oleh orang lain. Jika karya kita tidak jujur tentang apa yang kita rasa, apa yang ingin kita sampaikan, maka feedback yang kita terima dari pembaca mungkin juga sebuah kepura-puraan.

Bagaimana jika pembaca keliru memahami atau menginterpretasi puisi Anda?

Misalnya ada orang bilang puisiku tentang orang bercinta, padahal maksudku bukan itu, ya tidak apa-apa. Semakin banyak pendapat yang diberikan pembaca, berarti puiisiku kaya interpretasi. Contohnya, ketika aku menulis puisi tentang anak yatim piatu. Banyak yang komen dan menganggap itu diriku. Padahal yatim piatu di puisi itu bukan anak yatim piatu an sich. Tetapi orang yang sendiri, berdiri sendiri, melakukan segala sesuatnya sendiri. Bukan karena tidak punya ibu – bapak. Aku menemukan banyak orang berbeda pendapat tentang sebuah teks. Tapi orang yang mengenal aku, umumnya tahu apa maksud di baik puisi itu.

Apakah ada perubahan signifikan dalam Anda berkarya?

Tidak ada perubahan. Awalnya aku cukup mbeling, cukup vulgar, dalam penggunaan bahasa tubuh sebagai metafora. Nah, di puisi-puisi terbaru, mbeling-nya, kalau boleh disebut begitu, mulai berkurang. Tetapi nanti di buku selanjutnya, mungkin aku kembali ke gaya awal, keliaranku dalam teks-teks puisi dan imajinasi, karena ternyata di situ jati diri kepenyairanku, bahasa puisiku.

Dalam antologi Cermin Bayang  Bayang, Warih Wisatsana menilai Anda sudah keluar dari feminisme?

Cermin Bayang Bayang lahir dari proses selama 2 tahun. Demikian juga buku sebelumnya, Sumur Umur. Jujur, aku merasa ada proses pendewasaan dalam diriku, dari yang tadinya masa bodo, mulai menata diri. Cermin Bayang-Bayang benar-benar hasil perenungan yang menjadikan diriku kuat. Menjadi diriku seutuhnya. Jadi selama proses kontemplasi, baik yang dilihat ataupun dirasa, aku tuangkan ke dalam puisi.

Namun di buku ke 8 nanti – semoga terwujud, aku akan ingin kembali berpuisi seperti di masa awal. Itulah diriku yang sesungguh, tanpa polesan, bahkan sering dianggap vulgar.  Tidak apa-apa. Kita harus memiliki bahasa puisi yang menjadi simbol atas diri kita, dan aku merasa diriku ada pada bahasa-bahasa puisi sebelumnya. Aku menemukan kepuasan, pembebasan sekaligus katarsis dari pikiranku.

Salah satu penampilan NUnung El Niel di atas penggung. Foto: Ist

Anda rajin menerbitkan karya, nyaris setiap tahun. Apakah pernah mengalami down atau malas menulis?

Aku berusaha untuk menulis dalam setiap kesempatan. Tidak harus tulisan yang sudah selesai, yang penting tulis saja dulu garis besarnya, lalu disimpan. Jadi aku punya simpanan tulisan. Bahkan saat dihadapkan pada masa-masa sulit, seperti ketika suamiku sakit selama 7 tahun dan kemudian meninggal dunia sehingga aku menjadi single parent, aku selalu menyempatkan waktu untuk menulis. Menulis apa saja. termasuk ketika ada sesuatu yang tidak mengenakan hati, reflek menulis. Mungkin karena kebiasaan itu sehingga terlihat aku tidak pernah surut dalam berkarya.

Dari 7 buku yang sudah diterbitkan, mana yang paling berkesan bagi Anda?

Semua memiliki kesan, dengan kadar dan tingkatan berbeda-beda. Banyak pihak baik dari kalangan penyair maupun yang bukan yang memacuku untuk menemukan jati diri dalam konteks kepenyairan.

Masih sering mengirim karya ke media massa?

Dulu, saat masih ada media cetak, koran, aku rajin mengirim dan banyak yang sudah dimuat. Ketika karya kita dimuat di salah satu media, ada kebanggaan tersendiri karena ada kurasi dari redaksi, bersaing dengan penulis dari berbagai daerah. Sekarang jarang  mengeirim ke media karena kondisinya sudah berbeda. Padahal sudah banyak juga media online ada yang berhonor ada juga yang tidak. Sekali lagi aku sedang melakukan kontemplasi saja,  padahal aku suka hal-hal yang menantang, sehingga ketika kita berhasil menaklukkannya ada kepuasan yang layak kita rayakan.

Apa arti menulis bagi Anda?

Menulis adalah doping yang membuat bahagia, membuat kita tenang, hepi. Aku tidak ingin ketika ada masalah, marah disalurkan ke puisi, berpikir relatif tidak lagi yang neko-neko.

Masih ada obsesi atau keinginan yang ingin diraih?

Di usia sekarang, aku sudah tidak berharap apa-apa, tidak berharap mendapat anugerah ini-itu. Masih ada orang yang lebih hebat dari aku. Terlebih sampai hari ini aku menganggap diriku “pelajar” dan status itu melekat. Jadi aku tidak pernah merasa atau menganggap diriku senior, pantas mendapat ini-itu. Terus belajar dari kelebihan mereka dan memperbaiki kekuranganku. Biar orang lain saja yang menilai.

Apa tanggapan Anda tentang komunitas seni?

Pertama, komunitas harusnya dibangun dan saling membangun. Ketika ada kegiatan, libatkan semua anggotanya. Sebagai contoh, JSM tidak banyak orang. Fokusnya bukan ke panggung, tapi belajar dan  berkarya seperti sering disampaikan Uda Riri (Riri Satria, pendiri JSM). Kedua, keterbukaan. Ketika ada masalah harus dirembug di internal. Tidak dibawa keluar sehingga masalah menjadi runcing. Ketiga, komunitas tidak membatasi ruang gerak anggota. Mereka tetap bisa terlibat dan membaur dalam kegiatan komunitas lain. Intinya komunitas itu adalah tempat belajar, berkarya, berjejaring, bersilaturahmi, membentuk eksistensi diri, serta pembebasan.

Apa kesan Anda tentang TIM pasca revitalisasi?

Aku lebih suka TIM yang dulu, ketika masih ada warung-warungnya di pelataran. Ketika kita datang ke TIM, nongkrong di warung, ngobrol dengan para seniman, bisa dapat ilmu. TIM yang sekarang kesannya ada gap, senimannya tidak menyatu. Pengelolaannya juga sangat birokratis, tidak mencerminkan ruang kreatif yang menaungi seniman. Bahkan kita mau bikin kegiatan di PDS HB Jassin saja susah. Aku berharap pengelola TIM mau mendengarkan aspirasi seniman, untuk mengembalikan marwah TIM sebagai pusat kesenian, bukan hanya Jakarta, namun juga Indonesia, bahkan dunia.

 

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini