PojokTIM – Bangku-bangku kosong masih bertumpuk di atas meja ketia Nano Sukarno datang sambil menjinjing tas hitam. Wajahnya sedikit keruh, menyiratkan keletihan setelah mengantar teman check up di RSCM. Nano langsung menyanggupi ketika PojokTIM mengajak wawancara — yang sudah tertunda beberapa kali, untuk membahas kegiatan dan pemikirannya di bidang seni rupa, khususnya patung.
“Saya mengawali perjalanan kesenian di teater,” ujar Nano, Senin (10/3/2025), sambil menghirup asap rokok di pusat kuliner Gedung Trisno Soemardjo Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) Taman Ismail Marzuki (TIM).
Nano termasuk penggiat kesenian yang cukup lama berkecimpung di lingkungan TIM. Tahun 1980-an, Nano sudah bergabung dengan teater Bengkel Belia Radio ARH (Arief Rahman Hakim) yang ada di TIM. Dalam perjalanan waktu, Nano justru lebih dikenal sebagai pematung.
“Saya merasa seni rupa, khususnya patung, lebih cocok sebagai media ekspresi saya. Mungkin karena di teater saya juga belum bisa menghasilkan karya, selain hanya ikut dalam beberapa pementasan,” lanjut Nano.
Dengan gaya bicara yang penuh semangat, Nano Sukarno menceritakan proses kreatif yang dijalani hingga harapan dan pemikirannya pada dunia kesenian. Berikut rangkumannya.
Bisa ceritakan awal mula Anda terjun ke dunia seni?
Sejak remaja saya suka mengukir kayu untuk dibuat kalung. Hal itu saya pelajari secara otodidak, termasuk bermain teater dan membuat patung. Mungkin karena ayah saya pelukis sehingga saya memiliki darah seni. Semua mengalir begitu saja, tanpa direncanakan sebelumnya.
Pernah pentas teater?
Tahun 1986, selepas dari teater Radio ARH, saya bergabung dengan Teater Mandiri pimpinan Putu Wijaya. Saya sempat 2 kali diajak 2 pentas, termasuk pentas keliling di berbagai tempat seperti Satya Wacana, Salatiga. Saat itu kami mementaskan naskah WAH.
Mengapa akhirnya tertarik menjadi perupa?
Saat masih bergabung di Teater Mandiri, awal tahun 1990, secara tidak sengaja saya menemukan balok sisa kebakaran di Jalan Tambak, Jakarta Pusat. Ukurannya lumayan besar. Kayu itu kemudian saya manfaatkan untuk bikin patung. Awalnya patung realis, figur laki-laki sedang duduk di kursi tradisional Betawi dengan kepala terkulai.
Ketika sudah hampir selesai, ternyata ada lubang hitam bekas paku. Saya tidak kepikiran untuk mendempulnya. Langsung saya papas saja. Karena cukup dalam, proporsinya jadi tidak seimbang. Akhirnya saya deformasi (mengubah bentuk atau ukuran). Saya kurangi volumenya secara proporsional sehingga bentuknya menjadi pipih. Kelaminnya saya buang. Kepalanya juga saya papas. Mukanya flat sehingga benar-benar menjadi figur tanpa gender. Hanya kursinya yang tetap seperti semula.
Setelah jadi dan dipelitur, saya kaget karena bentuknya malah lebih ekspresif, dibanding sebelumnya yang realis. Namun filosofinya tetap, menggambarkan kekalahan orang-orang tradisional oleh modernitas.
Patung itu masih Anda simpan?
Awalnya saya ingin menyimpannya sebagai karya pertama saya. Ketika saya bawa ke tempat latihan Teater Mandiri, Mas Putu Wijaya sangat tertarik, dan bermaksud membelinya namun saya tolak. Dua minggu kemudian justru saya yang mencari Mas Putu karena terdesak kebutuhan. Ternyata Mas Putu sudah berangkat ke Jepang. Patung itu akhirnya saya jual ke Pak Tito, orang kepercayaan Setiawan Djodi. Patung kedua saya dikoleksi oleh Dewi Yull.
Dan sejak itu Anda mundur dari Teater Mandiri?
Karena ingin fokus, saya lantas mundur dari Teater Mandiri. Mas Putu seperti keberatan, sehingga menyarankan agar saya tetap di teater sambil mematung. Saya menolak karena ingin fokus di satu bidang saja. Mas Putu akhirnya mengizinkan dan mendukung keinginan saya. Sejak itu saya semakin tekun membuat patung setelah mendapat masukan dari berbagai pihak termasuk Arifin C Noer, Amrus Natalsya, WS Rendra, Mochtar Lubis, dan lain-lain.
Sejak itu Anda hanya fokus menjadi pematung?
Ya, saya merasa menemukan media ekspresi saya. Sebab, sejauh yang saya pahami, seni adalah media untuk menyampaikan apa yang kata pikirkan dan kita rasakan, dan di patung saya menemukan itu.
Kebetulan waktu itu saya mendapat support dari orang Belanda, istri pembalap nasional. Saya mendapat bantuan finansial untuk membeli kayu dan keperluan lainnya. Namun setelah membuat 3 patung, ada misunderstanding sehingga kami sepakat menyudahi kerja samanya.
Setelah itu saya sempat vakum. Setelah menikah, saya benar-benar berhenti membuat patung. Sebab saya harus menghidupi keluarga, sementara dari karya patung saya belum bisa mendapat penghasilan yang memadai. Lagi pula, ketika sedang membuat patung, saya sering lupa waktu, lupa segala-galanya. Mungkin karena terlalu fokus.
Setelah itu, apa kesibukan Anda?
Saya sempat ikut produksi film, termasuk menjadi art director untuk sinetron televisi yang disutradarai Octa (Octavianus Masheka, kini Ketua Taman Inspirasi Sastra Indonesia/TISI). Selain itu, saya juga mulai membuat patung tokoh.
Apa bedanya dengan patung sebelumnya?
Patung yang awal, saya buat berdasarkan pemikiran dan daya kreasi saya. Artinya saya menciptakan sesuatu yang baru sebagai media untuk menyampikan gagasan dan pemikiran saya. Makanya harganya juga mahal. Sedang patung-patung tokoh yang saya buat belakangan, sifatnya lebih komersial.
Jika awalnya menggunakan kayu, untuk patung tokoh menggunakan bahan apa?
Saya banyak mencoba bahan-bahan selain kayu, termasuk lempung, lilin, resin dan lain-lain. Saya belajar pada Agus Jolly, perupa dan seniman seni instalasi yang memiliki basic patung. Setelah mendapat pengetahuan dasar, saya beli bahan-bahannya dan melakukan banyak eksperimen.
Patung tokoh karya Nano Soekarno.
Bagaimana proses pembuatan patung tokoh?
Awalnya saya pilih tokoh yang akan dibuat patung. Setelah dapat, saya bikin cetakan sesuai ukuran. Biasanya saya bikin modelnya dulu dari lilin biasa. Setelah sesuai, saya cetak menggunakan bahan khusus. Karena jika menggunakan polawax cukup mahal sekali. saya lantas membuat formula sendiri dari bahan parafin, dicampur lilin biasa, kalsium karbornat, dan beberapa bahan lainnya . Hasilnya lumayan bagus, sangat mudah dibentuk dan tidak mudah patah.
Awalnya pembuatan patung tokoh ini juga coba-coba karena saya butuh survive, untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Kebetulan belum banyak produksi patung tokoh. Kalau sebelumnya patung-patung tokoh terutama musisi seperti Chopin, diimpor dari China. Ketika saya coba pamerkan di Galeri Buku Bengkel Deklamasi punya Mas Jose Rizal Manua, ternyata banyak peminatnya. Malah ada pembeli dari Makasar yang minta dibuatkan patung Hasanudin, sementara istrinya pesan patung RA Kartini.
Jadi Anda sudah tidak membuat patung dari kayu?
Setelah bertahun-tahun saya tinggalkan, kini muncul lagi kerinduan untuk membuat patung dengan figur nonrealis yang mengekpresikan pikiran dan perasaan saya. Seperti ada yang menuntun, saya kembali memahat kayu. Saat ini ada beberapa patung yang sudah selesai, ada juga yang masih dalam proses.
Pernah mengadakan pameran patung?
Tahun 2024 saya sudah mendapat support dari Dinas Kebudayaan Jakarta untuk mengadakan pameran tunggal di Balai Budaya. Tapi waktunya sangat mepet, dan saya tidak siap untuk menyiapkan patung. Sebab untuk pameran di balai budaya, idealnya memajang 20 patung. Saya tidak sanggup karena baru ada 5 patung, itu pun sebagian belum final.
Rencananya akan saya wujudkan tahun ini. Saya sedang berusaha menyelesaikan beberapa patung yang temanya sangat kuat dengan ukuran 1:1. Pertama, patung Berak dengan figur sedang buang air besar sambil baca buku to be human, sementara tangan kanan memegang ganja. Ada tiga sifat, karakter atau kesadaran yang hendak saya gambarkar dari patung tersebut yakni kesadaran Insting yang dipresentasikan melalu berak, kesadaran Intuisi dengan menghisap ganja dan kesadaran rasio yang dipresentasikan oleh buku to be human. Ketiga kesadaran ini hidup bersamaan pada waktu yang sama. Namun pastinya ada salah satu yang mendominasi. Posisi dominannya sering bergantian. Tetapi kita bisa melihat kesadaran apa yang dominan pada seseorang akan berkorelasi dengan perjalanan kemanusiaannya. Semakin seseorang banyak belajar, semakin rasional orang tersebut.
Kedua, patung memanjat pinang. Bukan patung realis. Tingginya 120 centimeter, dengan 50 figur yang sedang memanjat pinang, sebagai gambaran sedang meraih kekayaan atau kejayaan. Namun di bawahnya ada banyak figur yang terinjak-injak, bahkan hanya terlihat kaki, atau bagian-bagian tubuhnya saja. Artinya, perlombaan ini sudah berlangsung sudah lama sekali, sejak manusia ada.
Ketiga, patung tentang figur yang mikul otak. Filosofinya, otak yang digunakan manusia untuk membangun dunia, menata tumbuhan, menjinakkan hewan, dan menciptakan realitas lainnya, ternyata menjadi beban bagi manusia itu sendiri. Sebab manusia tidak pernah puas atas realitas yang dibuat. Padahal sudah menganggap dirinya sebagai makhluk paling mulia di muka bumi, mampu menjinak hewan dan makhluk lainnya. Jadi semacam paradoks antara hukum alam dengan yang dikonsepsikan manusia melalui otak.
Nano Soekarno saat proses modeling patung HR Rasuna Said yang kini dipajang di Gedung Joang 45 Jakarta.
Bagaimana Anda melihat TIM saat ini?
Perlu dipahami, sejak tahun 2000 para seniman cenderung lebih pragmatis, meski masih ada yang idealis. Di teater misalnya, tidak lagi melahirkan karya-karya fenomenal atau grup-grup teater hebat sebagaimana dekade sebelumnya seperti Teater Mandiri, Teater Populer, Teater Koma, dan lain-lain. Apakah kemunduran kualitas dan kuantitas disebabkan oleh pergantian senimannya, yang berpikir pragmatis, sehingga idealisnya luntur, saya kurang paham. Butuh penelitian lebih lanjut. Namun yang pasti sejak tahun 2000-an ada kemunduran dari segi kualitas maupun kuantitas kesenian di TIM.
Revitalisasi TIM, awalnya saya kira untuk memberikan stimulus kepada para seniman agar lebih giat berkarya dengan kepragmatisannya. Namun ternyata tidak ada stimulus. Malah gedung-gedung dikomersialisasi dengan harga lebih mahal, bahkan sangat mahal. Dengan harga sewa yang murah saja, seniman masih susah menutup biaya produksi, apalagi dengan biaya sewa gedung yang sangat mahal. Terlebih bagi seniman yang kualitasnya belum teruji, belum bisa mendatangkan penonton berbayar.
Perlu diingat, TIM didirikan untuk habitat orang-orang berkesenian, baik praktisi (seniman) atau teoritisi (kritikus seni dan pengajar seni). Itu sebabnya sejak awal berdiri TIM sudah penuh dengan kegiatan-kegiatan, seperti latihan, pertunjukan, pameran dan diskusi-diskusi yang membahas berbagai masalah seputar seni dan kaitannya dengan aspek lain. Diskusi-diskusi ini menjadi stimulus bagi munculnya dialektika berpikir dan perang konsep antara para penggiat seni. Wajar jika pada waktu itu banyak lahir karya-karya seni yang adi luhung, dan TIM menjadi barometer berkenian. Ekosistem berkesenian di TIM saat itu juga sangat kondusif.
Apa yang Anda harapkan dari kesenian dari kondisi saat ini?
Tidak hanya kesenian, namun untuk bangsa ini. Perkembangan teknologi informasi yang membuka sumber gagasan, ternyata tidak melahirkan karya-karya yang mengeksplorasi perkembangan mentalitas kita. Saya berharap ada perubahan mental melalui revolusi kognisi pada setiap individu. Mentalitas yang tidak relevan lagi segera disingkirkan, direkonstruksi sesuai kebutuhan-kebutuhan kekinian sehingga menjadi lebih baik, mampu melahirkan karya-karya luar biasa, di semua bidang.