PojokTIM – Usianya tidak muda lagi. Namun sorot matanya langsung berbinar ketika bercerita tentang gunung, dan kehidupan masyarakat Baduy yang tertuang indah dalam ratusan sketsa.
“Saya anak gunung sehingga ketika melukis gunung saya merasa sedang melukis rumah saya sendiri,” ujar Jenny Mahastuti saat ditemui di sela-sela acara lomba ekphrasis yang digelar Satarupa di aula PDS HB Jassin, beberapa waktu lalu. Sketsa-sketsa Jenny menjadi salah satu obyek yang diterjemahkan ke dalam bentuk puisi oleh peserta lomba.
Jenny dikenal sebagai pelukis, pencinta alam, sekaligus pendaki gunung. Kegiatan mendaki gunung bahkan masih dijalani hingga hari ini. Jenny bisa dengan fasih menuturkan tantangan dan keindahan di balik keangkeran gunung yang pernah didaki seperti Gunung Rinjani di Lombok Nusa Tenggara Barat (NTB) yang belakangan ramai diperbincangan usai insiden meninggalnya pendaki asal Brasil Juliana Marins yang jatuh ke dalam jurang sedalam 600 meter.
“Di balik keindahan ada bahaya, dan sebaliknya di balik bahaya tersembunyi keindahan,” tutur Jenny yang selalu menekankan pentingnya pendaki mematuhi aturan yang berlaku di gunung.
Berikut ringkasan wawancara PojokTIM dengan Jenny Mahastuti yang sudah bolak-balik mengunjungi Kampung Baduy di Desa Kanekes, Leuwidamar, Lebak, Banten.
Apa arti gunung bagi Anda?
Sebagai pelukis dan anak gunung, keindahan alam itu sangat luar biasa. Di antara terjalnya jalan, di antara onak belukar, di antara tebing-tebing tinggi, tersimpan keindahan yang sangat menakjubkan. Nuansa yang saya rasakan setiap kali mendaki gunung, luar biasa. Membekas sepanjang hayat.
Sejak kapan Anda mulai mendaki gunung?
Dari tahun 1972. Tentu Pangrango menjadi gunung pertama yang saya daki karena dekat dengan rumah. Saya mendaki gunung bersama teman-teman dari IKJ (Institut Kesenian Jakarta). Itu hari-hari yang tak terlupakan.
Apa yang mendorong kecintaan Anda pada gunung?
Awalnya saya hanya ingin melukis sambil kumpul bersama teman-teman. Jadi, izin ke orang tua mau melukis. Sebagai remaja putri, kadang untuk keluar rumah butuh alasan yang bisa diterima oleh orang tua, dan tidak ada orang tua yang mengizinkan anak perempuannya mendaki gunung. Dengan alasan hendak melukis, barulah orang tua mengizinkan. Saat naik gunung saya bawa peralatan lukis. Nah, di atas gunung, sambil menikmati alam, saya melukis. Di sana kemudian bertemu dengan komunitas pencinta alam dan sering melakukan aktifitas bersama. Akhirnya ketelanjuran sampai hari ini. Naik gunung menjadi ritme keseharian saya.
Gunung mana yang paling berkesan?
Gunung Rinjani, gunung terindah di Indonesia. Ada padang pasir, savana, danau segara anak, ada hutan yang lebat. Saya terakhir mendaki Gunung Rinjani tahun 2024, di umur 69 tahun. Rasanya sangat luar biasa. Sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Saya tuangkan pengalaman batin dan spiritual yang saya dapatkan melalui lukisan dan sketsa.
Ketika naik gunung, apakah selalu bersama komunitas?
Tidak tentu. Kadang dengan komunitas pencinta alam, tapi lebih seringnya bersama 2-3 orang saja. Saya lebih menikmati perjalanan yang tidak terlalu ramai. Lebih syahdu dan secara batin lebih terpuaskan.
Sekarang banyak sekali komunitas pencinta gunung. Tanggapan Anda?
Saya senang dengan munculnya komunitas-komunitas pencinta gunung. Artinya kesadaran untuk mencintai dan merawat alam sudah tumbuh, bahkan di kalangan anak-anak muda. Tapi mereka harus paham, sebagai pencinta alam, kita tidak hanya menikmati keindahan alam. Kita juga harus konsisten berempati pada alam dengan cara merawatnya. Kita prihatin dengan pendaki baru yang tidak merawat alam, malah mengotori dengan membuang sampah sembarangan. Orang-orang seperti ini sebenarnya bukan pencinta alam, tapi hanya pembuat konten-konten untuk diviralkan, mendatangkan followers, dengan tujuan mendapatkan uang. Bukan tidak boleh, namun mestinya itu bukan menjadi tujuan utama. Tujuan pencinta alam adalah mencintai alam dan merawatnya agar generasi mendatang juga dapat menikmati keindahannya.
Apa beda pendaki gunung zaman dulu dengan sekarang?
Dulu pendaki gunung betul-betul dituntut menguasai medan, dan harus bisa mengatasi situasi selama perjalanan. Kita paham apa yang seharusnya kita lakukan. Itu sebabnya dalam komunitas ada pendidikan dasar, pengetahuan tentang apa yang boleh dan yang dilarang. Kita juga diajarkan untuk fokus selama pendakian sehingga tidak salah jalur, serta mempelajari kompas. Setiap pendaki bisa mengatasi persoalan yang dihadapi, termasuk apa yang harus dilakukan saat terpisah dengan rombongan
Dulu jalur pendakian juga hanya berupa jalan setapak warisan Belanda. Dibuat oleh para peneliti Belanda karena gunung berapi dianggap sangat penting untuk mitigasi bencana. Mereka juga sudah meletakkan alat-alat pengukur bencana yang kalau dilihat sekarang kurang designmable, tapi pada masanya peralatan itu sangat diandalkan oleh para pengamat.
Pendaki gunung sekarang sudah dimudahkan. Jalur sudah tersedia, lengkap dengan pengamanannya. Sekarang juga sudah banyak pengusaha retail outdoor. Mereka bisa mendapat peralatan mendaki dengan mudah. Tempat-tempat pelatihan mendaki gunung juga ada, bahkan di tengah kota yang jauh dari gunung. Jadi serba mudah.
Apa pantangan umum bagi pendaki gunung?
Yang paling penting adalah tidak nyampah sembarang, apalagi sampah plastik. Tidak boleh membuang puntung rokok karena semak di gunung mudah terbakar. Dalam kondisi lelah, di ketinggian di mana oksigen menipis, sering kita terbawa halusinasi. Mendengar suara-suara yang sebenarnya berasal dari diri kita sendiri. Ini pentingnya fokus dan tetap waspada, Usahakan tidak terpisah dengan rekannya.
Pernah tersesat di gunung?
Tidak, karena saya selalu patuh pada aturan. Patuh pada senior dan pemandu- jika ada. Senior-senior itu selalu memakai kompas, meski sekarang hampir tidak terpakai karena jalurnya sudah mudah. Tapi faktanya masih ada yang kesasar karena kondisi di gunung berbeda dengan di dataran rendah.
Gunung itu tempat yang kosong, tempat di mana kita bisa berempati pada alam, dengan cara merawatnya. Sebelum mendaki kita berdoa dulu, tidak melakukan hal-hal yang mencederai alam. Seperti dikatakan oleh orang Baduy, bahwa pohon memang tidak tidak ada nyawanya, tapi pohon hidup sehingga kita berkewajiban merawatnya.
Punya pengalaman spiritual di gunung?
Saya tidak pernah mengalami hal-hal seperti itu karena bagi saya, gunung bagaikan rumah kedua sehingga saat mendaki seperti sedang ke rumah saja. Suasananya juga sama, sepi dan saya menikmatinya. Namun pernah ada kejadian lucu di Gunung Rinjani. Saya melihat tebing-tebing gunung seperti dinding istana zaman Romawi yang terbuat dari terakota. Lalu satu jam sebelum danau, saya melihat ada patung-patung binatang. Itu indah sekali. Anakku mengira saya (terbawa) halu.
Setelah turun, saya tanya ke teman-teman di grup spiritual terkait pengalaman yang saya dapatkan. Menurut mereka, Gunung Rinjani dulu bernama Samalas. Gunung itu meletus dan muncul gunung baru yang sekarang kita kenal dengan nama Rinjani. Sebagian masyarakat menganggap Gunung Rinjani cukup sakral. Sewaktu saya naik lewat pintu Torean, Lombok Utara, di setiap ceruk ada canang atau sesaji. Masyarakat setempat percaya, Plawangan—yang berarti pintu—merupakan gerbang menuju alam Gunung Rinjani yang sesungguhnya. Maka mereka biasanya memanjatkan doa dengan membakar dupa di tempat itu.
Jadi saya sempat berpikir, apakah saat itu saya melihat penampakan? Entahlah, saya tidak paham. Lagi pula saya selalu minta izin jika hendak lewat-lewat yang dianggap ada penghuni gaibnya.
Sampai kapan Anda akan mendaki gunung?
Sampai tidak kuat jalan. Saya sudah terlanjur mencintai dunia pendakian, mencintai alam sehingga saya tidak ingin berhenti.
Repro salah satu sketsa Jenny Mahastuti
Kapan pertama ke Kampung Baduy?
Tahun 2004 saya mulai bergaul dengan masyarakat Baduy. Mereka sangat mematuhi aturan adat. Itu yang membuat saya sangat tertarik dan sampai sekarang tidak pernah bosan (mengunjungi). Setiap kali ada waktu, saya datang ke Baduy, bahkan kadang seminggu sampai dua kali. Berkunjung ke kampung adat seperti Kanekes yang tertutup, juga butuh effort, butuh perjuangan juga.
Apakah karena ada persamaan antara Anda sebagai pencinta alam dengan yang dilakukan oleh masyarakat Baduy?
Sangat tepat. Saya sebagai pencinta dan penikmat alam, sementara masyarakat Baduy lebih kepada memelihara alam, Mereka tidak kencing, tidak meludah secara sembarangan. Menanam padi atau ngaseuk adalah acara yang paling sakral karena mereka percaya hal itu merupakan ritus mengawinkan Dewi Padi- Nyai Pohaci – dengan bumi. Itu perkawinan sakral.
Berapa lama Anda di Kampung Baduy untuk menghasilakn sketsa yang begitu banyak?
Puisi dan sketsa Baduy saya hasil observasi selama 20 tahun, datang-pulang, bukan menetap. Dulu boleh nyeket sambil lihat orang Baduy menanam padi. Kalau sekarang diomelin. Mereka akhirnya ketat terhadap orang luar karena banyak pengunjung yang tidak mematuhi larangan adat. Masyarakat Baduy tidak melarang orang berkunjung, tapi mereka tidak mau semata menjadi obyek wisata. Mereka bukan tontonan. Jika ingin berkunjung, niatkan untuk silaturahmi, dan mematuhi aturan adat-istiadat yang berlaku.
Selain Baduy, masyarakat adat mana yang pernah Anda kunjungi?
Masyarakat adat Tengger. Di sana masyarakatnya sudah lebih terbuka. Beda dengan masyarakat Baduy yang masih ketat dengan adat karena pemimpinnya cukup keras dalam menegakkan aturan. Istilahnya tugas tapak di tanah titipan. Kalau tidak sanggup menjalani pikukuh leluhur, diusir dari komunitasnya, dari kampungnya.
Kabarnya pernah jalan kaki di luar negeri?
Jalan kaki dari Madrid sampai Orense dengan jarak sekitar 135 kilometer. Menurut legenda, itu perjalanan Rasul Yakub dan merupakan ritus Katolik. Sementara dari 18 orang dalam rombongan kami, 13 di antaranya Muslim. Kami tidak mempermasalahkan. Sebab pencinta alam tidak mengkotak-kotak diri dalam spiritual, Itu wilayah privat. Para pencinta alam lebih mengedepankan hubungan antar manusia, istilahnya agama kemanusiaan.
Apa kesan dengan TIM sekarang?
Dulu saya sering berkegiatan di TIM. Kalau sekarang hanya sekedar untuk bertemu dengan kawan-kawan. Romantisme TIM yang saya rasakan dulu sudah hilang. Tinggal tersisa kemarahan para seniman yang dulu tergabung dalam #saveTIM karena aspirasinya tidak diakomodir penguasa. TIM tidak lagi mencerminkan kawasan seni bertaraf internasional seperti yang diharapkan Bang Ali (Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta 1966-1977). Mudah-mudahan ke depan ada upaya yang lebih serius untuk mengembalikan marwah TIM seperti dulu, meski saya pesimis.