PojokTIM– Wajah A. Slamet Widodo begitu semringah. Senyumnya mengembang ketika mendatangi satu-persatu sahabatnya yang datang untuk menghadiri acara ulang tahun Sastra Reboan ke-16 sekaligus launching buku kumpulan puisi Punggung Panggung yang di Warung Apresiasi (Wapress) kawasan Bulungan, Jakarta Selatan, Rabu (29/5/2024) malam.
“Mereka yang datang ke sini tentu karena kecintaannya pada sastra, khususnya puisi. Mereka rela mengorbankan waktu yang berharga dan juga uang untuk transporasi. Terlebih bagi mereka yang datang dari luar Jakarta. Mereka datang tanpa kepentingan apa pun, tidak berpikir untung-rugi. Hal-hal seperti ini yang mungkin tidak bisa dipahami oleh orang-orang di luar komunitas seni, apalagi oleh pebisnis,” ujar Slamet Widodo, yang juga Pembina Sastra Reboan.
Sebagai developer perumahan dan bisnisman yang sukses, Slamet Widodo seperti berada di dua dunia yang berbeda, dan saling betolak-belakang. Saat menjalankan bisnis, ia hanya berpikir tentang profit, bahkan kadang seperti umumnya pebisnis, dengan mengutak-atik aturan demi mendapat keuntungan sebesar-besarnya. Sementara ketika berada dalam komunitas seni, atau ketika sedang menulis puisi, tidak ada lagi kalkulasi untung-rugi.
“Saya tidak merasa terbebani harus berada di dua sisi berbeda. Justru saya merasa lega karena melalui puisi saya bisa mengkritik diri saya sendiri. Dan ketika bersama teman-teman bisnis, saya juga biasa bikin puisi yang mengkritik perilaku pebisnis secara umum. Mereka malah tertawa karena apa yang saya tulis atau bacakan merupakan potret kita semua sebagai pebisnis yang kadang mengakali aturan atau menunggak pajak, dan lain-lain,” terang Mas Slamet, sapaan akrab para koleganya.
Berbincang di sela-sela persiapan acara Sastra Reboan, Slamet Widodo tetap antusias menjawab pertanyaan-pertanyaan dari PojokTIM. Berikut rangkumannya.
Anda sebenarnya lebih dulu bermasuk-ria dengan sastra, khususnya puisi, dibanding sebagai pebisnis. Kapan tepatnya Anda mulai suka menulis puisi?
Saya sudah senang menulis sejak SMA. Kebetulan saya satu sekolah dengan (WS) Rendra di Santo Yosef, Solo. Saya senang dengan puisi-puisi Mas Rendra. Sejak mahasiswa di Jurusan Arsitek ITB, saya semakin sering menulis puisi, dan benar-benar produktif pada tahun 1980-an. Namun puisi-puisi itu saya simpan, tidak pernah dipublikasikan.
Lalu sejak kapan puisi-puisi Anda dibukukan?
Tahun 2004, tepat saat ulang tahun saya. Jadi momen spesial karena saya ulang tahunnya 4 tahun sekali, setiap tanggal 29 Februari (tahun kabisat). Awalnya saya bilang ke Mas Rendra kalau saya punya kumpulan puisi. Lalu Mas Rendra bilang, harus dibukukan. Menurut dia, puisi-puisi saya mencerminkan cara berpikirnya orang Jawa. Seperti saat nyek-nyek’an (saling mengejek), bercanda, mengkrtik keluarga, mengkritik pemerintah. Itu seperti mabesut-besutan istilah zaman dulu. Mas Rendra kemudian memberi kata pengantar untuk buku kumpulan puisi pertama saya. Saat itu Mas Rendra berpesan agar gaya tulisan saya tidak berubah karena cara penyampaian saya melalui puisi agak berbeda dengan yang lain.
Setelah terbit buku yang pertama, setiap tahun saya menerbitkan antologi puisi tunggal. Sampai sekarang sudah ada 8 buku kumpulan puisi, termasuk kumpulan puisi berjudul Selingkuh yang terbit tahun 2007 dan diberi kata pengantar oleh Sapardi Djoko Damono. Kalau yang keroyokan, atau antologi bersama, tidak terhitungan (banyaknya).
Kesannya, puisi-puisi Anda lebih banyak guyonan. Bukan mbleing, tapi benar-benar guyonan. Apa memang sejak awal sudah mengambil gaya penulisan seperti itu atau dalam perjalanan kepenyairan Anda mengalami perubahan bentuk penulisan dan cara penyampaian?
Kalau dari segi tema, tentu banyak tema-tema yang serius. Bahkan dalam bentuk guyonan, sebenarnya temanya tetap serius. Kan saya juga melakukan penelitian tentang keluarga, pertemanan, tetangga, dan lingkungan. Definisi tentang istri dalam budaya Jawa itu apa sih, bapak itu apa, anak itu apa. Semua saya catat dan menjadi bahan tulisan saya.
Kalau menurut Sapardi Djoko Damono, puisi-puisi saya berbentuk glenyengan, semacam candaan dengan kosakata pilihan. Ngomong apa saja, apa adanya, tidak apa-apa, yang penting ada isinya. Dengan model begitu, maka kita bebas mengkritik siapa saja, termasuk mengkritik diri sendiri, tanpa menyakiti orang lain. Yang dikritik malah tertawa karena tidak merasa sedang dikritik.
Nah kalau perform, selain sesuai yang ada di hati kita, memang ada yang ingin saya sampaikan, termasuk yang menggunakan kosakata tabu bagi orang lain. Seperti puisi Bram: Namanya Bram/anak berame-rame/bapaknya banyak/ibunya lonte//… .Kan ngga ada yang berani ngomong begitu.
Pesan apa yang ingin disampaikan di balik puisi itu?
Pesan moral atau kritik sosial. Misalnya pada bait : bapaknya ingkar ibunya benci/Bram belum lahir dihabisi/mayatnya dibuang seperti bangkai//beribu Bram mati setiap hari/tanpa ada yang melindungi…//
Jadi Bram ini tidak mengacu pada sosok tertentu tetapi pada bayi-bayi atau anak-anak malang, yang tidak diakui oleh bapaknya, dibenci oleh ibunya. Padahal mungkin orang tuanya menikmati saat “membuat” anak itu. Tapi setelah jadi anak, atau masih janin, sudah disia-siakan. Tidak diakui. Ada yang benar-benar dibunuh, dilahirkan secara paksa lalu dibuang begitu saja. Ada yang dibunuh masa depannya, dengan cara dibiarkan dan ditelantarkan.
Slamet Widodo tengah membaca karyanya di acara ulang tahun Sastra Reboan. Foto: Ist
Sebagian orang menganggap tabu penggunaan kata atau diksi yang terkesan vulgar. Menurut Anda?
Kita jadi orang mesti jujur. Sebenarnya (hal-hal yang dianggap tabu) itu ada di hati kita. Cuma kalau kita omongin, dianggap tidak pantas. Menurut saya itu munafik.
Bagaimana jika kata atau diksi vulgar itu dibaca oleh anak?
Tidak apa-apa. Agar dia tahu bapaknya apa adanya. Tidak perlu ada yang ditutup-tutupi. Lebih penting kita mengajarkan kejujuran dari pada bersikap munafik.
Anda sudah bisa berkarya secara mandiri. Tapi kemudian bergabung dengan komunitas, seperti Sastra Reboan. Apa yang Anda cari?
Saya kan bisnisman, semua sudah tercukupi. Tapi waktu itu Mas Rendra ngomong, bersastra itu sebenarnya ibadah karena bisa menyampaikan semua pesan, semua keinginan, cita-cita, mengemukakan sikap politik, atau mengkritik, dan juga melembutkan pikiran. Bagi saya, menulis itu melepaskan beban yang ada di pikiran. Kalau tidak ditulis, justru menjadi beban.
Dalam kaitannya dengan berkomunitas, orang sastra ini kan perlu ada yang mengkoordinir, yang membiayai untuk melakukan kegiatan-kegiatan. Biasanya iuran ketika akan mengadakan kegiatan. Jadi bagi saya, bergabung dengan komunitas, dan ikut mengeluarkan biaya, sebagai bagian kepedulian saya. Uang yang saya keluarkan, saya anggap CSR (Corporate Social Responsibility) dari perusahaan saya.
Keika dalam suatu kegiatan ada yang senang, ada yang menikmati, saya ikut senang. Saya bahagia kalau bisa memberi. Jadi saya tidak memiliki target apa-apa dalam berkomunitas. Saya bergabung dengan Sastra Reboan ini juga baru tahun 2010-an. Bukan yang mendirikan. Ketika ada yang mengajak bergabung, dan saya merasa senang, merasa bahagia karena bisa bertemu dan berkumpul dengan teman-teman sealiran, bagi saya sudah cukup. Saya merasa nyaman dan bahagia ketika berkumpul dengan teman-teman sastra.