PojokTIM – Kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta, mulai sepi dari riuh pengunjung. Demikian juga di pusat kuliner di selasar Gedung Trisno Soemardjo. Di ujung deretan warung, tidak ada anak-anak yang berlatih tari dan teater. Pun bazar preloved yang sedang tren di kalangan remaja. Suasana lumayan lengang ketika Sofyan RH. Zaid tiba sambil menenteng tas berisi laptop dan buku.

“Mana yang harus dijawab dulu?” tanya Sofyan. Sebelumnya PojokTIM sudah mengirimkan daftar pertanyaan untuk rubrik wawancara, dan pertanyaan untuk penerbitan lain.

Sofyan RH. Zaid dikenal sebagai penyair, esais, dan penulis buku yang produktif. Pendiri sekaligus owner Taretan Sedaya International Group yang bergerak di bidang general suplier and trading, penerbitan, percetakan, dan lainnya ini diketahui aktif dalam kegiatan komunitas, termasuk Jagat Sastra Milenia. Kini menjadi Sekretaris Yayasan Hari Puisi (YHP) yang setiap tahun menggelar perayaan Hari Puisi Indonesia di Jakarta. Sofyan merupakan alumnus Pondok Pesantren Annuqayah Lubangsa Raya, Guluk-guluk, Sumenep. Ia menempuh pendidikan di jurusan Filsafat dan Agama, Universitas Paramadina akarta, Manajemen Bisnis, Universitas Tazkia Bogor, dan Islamic Studies (peminatan Filsafat dan Agama), Universitas Paramadina Jakarta.

Puisi-puisinya juga telah diterjemahkan ke berbagai bahasa asing, salah satunya dimuat dalam buku Oikos Poeti Per Il Futuro (MCC, Milano, Italia, 2020). Bukunya yang telah terbit: Pagar Kenabian (Puisi, 2015) masuk 15 Nominasi Buku Puisi Anugerah Haripuisi Indopos (2015) dan dinilai sejumlah kalangan menghadirkan ‘bentuk baru’ perpuisian Indonesia yang bercorak nadham atau yang dikenal dengan Puisi Pagar, Khalwat (Puisi, 2024) masuk Lima Buku Puisi Pilihan Festifal Sastra Internasional Gunung Bintan 2024, Kaidah Puisi dan Akidah Kepenyairan (Esai, 2022), Buku Pintar Menulis Puisi (Esai, 2023), dan Goethe: Kajian Sastra Sufistik (Kajian Sastra, 2024).

Selain mengajar, Sofyan juga kerap diundang menjadi pembicara di berbagai acara sastra, dia juga termasuk salah seorang tim ahli Penilaian Karya Sastra Unggulan untuk SMA/sederajat yang digelar oleh Badan Standar Nasional Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI (2019). Puisi dan esainya sudah dipublikasikan di berbagai media massa seperti Kompas, Media Indonesia, Bali Post, Indopos, Padang Ekspres, Pikiran Rakyat, Riau Pos, Seputar Indonesia, Solopos, Merapi, Suara NTB, Banjarmasin Post, Metro Jambi, Minggu Pagi, dan Majalah Sastra Horison.

Sejumlah penghargaan pun pernah diraih di antaranya Juara 2 Lomba Cipta Karya Esai Tingkat Nasional Piala HB Jassin 2023, Pemenang II Lomba Cipta Puisi PCINU Maroko 2017, dan lainnya. Beberapa puisinya telah digubah sebagai Tembang Puitik oleh pianis Ananda Sukarlan.

“Kalau sudah kawan, maka kawin,” seloroh Sofyan yang akrab dipanggil Syech oleh teman-teman dekatnya, saat menjadi nara sumber konferensi pers konferensi menyongsong prosesi penetapan Hari Puisi Indonesia di aula PDS HB Jassin, Senin (21/7/2025).

Berikut wawancara tertulis PojokTIM dengan Sofyan RH Zaid.

Sepertinya Anda enggan ketika diminta membaca puisi di panggung. Ada alasan khusus?

Wah, informasi dari mana itu ya? Saya tidak enggan kok untuk baca puisi di panggung. Namun biasanya jika dalam suatu acara, sudah banyak (daftar) pembaca puisi, saya menolak, agar waktu acaranya efektif. Saya cukup menjadi penonton saja.

Bagaimana penilaian Anda terhadap maraknya acara-acara pembacaan puisi saat ini?

Tentu bagus! Pembacaan puisi minimal merupakan salah satu cara mendekatkan puisi dan ‘maksud penyair’ kepada khalayak. Agar puisi tidak hanya kedinginan di kertas-kertas, maka perlu dihangatkan dengan perayaan semacam itu. Namun saya pernah menulis puisi di Buku Puisi Sastra Reboan #4 Punggung Panggung Meretas Jejak 16 Tahun Sastra Reboan:

Baca Puisi

(setelah berlatih berkali-kali
di depan cermin)

seorang penyair gagah berdiri
baca puisi berapi-api!

(puisi yang diciptanya berhari-hari
berhati-hati)

sementara di hadapannya
sekawanan penyair

berasap-asap, berbusa-busa
bicara sendiri

2024

Apa makna komunitas seni bagi Anda?

Penting! Secara umum, komunitas membantu kita menjaga gairah kreativitas dengan atmosfer yang ada. Kita tahu banyak seniman -khususnya sastrawan- lahir dari komunitas. Selama kita bisa menghindari bahayanya, yakni keseragaman gaya dan tema dalam berkarya, jangan menjadi katak dalam tempurung komunitas, jangan sampai sibuk berkomunitas lantas lupa berkarya secara personal. Sebab -ibarat sastra itu rumah- komunitas itu ‘beranda’, sedang berkarya itu ‘kamar’. Intinya, ada pepatah Afrika yang relevan terkait pertanyaan ini: Jika kita ingin berlari lebih cepat, berlarilah sendiri. Namun jika kita mau berlari jauh, maka kita perlu berlari bersama“.

Bisa dijelaskan lebih spesifik tentang Puisi Pagar?

Itu sudah lama banget. Puisi Pagar itu semacam puisi berima atau berirama yang terinspirasi dari ‘nadhaman’ di pesantren. Nadham (atau nazam) ialah syair yang berasal dari kesusasteraan Arab-Parsi. Para ulama klasik banyak menulis kitabnya dalam bentuk nazam tersebut. Salah satu tujuannya agar mudah dihapal. Nah, kitab-kitab semacam itu ghalib kita baca di pesantren sebagai buku teks ajar. Apa dan bagimana bentuk puisi pagar saya contohkan satu puisi dari buku puisi pertama saya: Pagar Kenabian (2015) yang masuk nominasi Anugerah Hari Puisi Indopos 2015:

SEDERHANA

inginku sangat sederhana # padaku kau cinta
padamu aku juga # kita hidup bersama
selamanya dalam satu rumah # sampai lupa cara berpisah

2012-2014

Bagaimana pula dengan Puisi Sufistik?

Secara sederhana, puisi sufistik adalah puisi yang terinspirasi dari puisi sufi atau para sufi. Sementara itu, puisi sufi adalah puisi yang ditulis para sufi berdasarkan pengalaman spiritualnya. Jadi, ada perbedaan mendasar antara puisi sufistik dengan puisi sufi. Puisi sufi pasti ditulis oleh seorang sufi (muslim), tetapi puisi sufistik bisa ditulis siapa saja, bahkan oleh non-muslim, seperti Goethe. Penjelasan yang lebih lengkap soal ini, bisa dicek di banyak buku Abdul Hadi WM atau di buku saya: Goethe: Kajian Sastra Sufistik (2024)

Apa persentuhan paling dekat antara filsafat dengan sastra?

Pertanyaan yang berat. Dalam hal ini saya merujuk kepada Subagio Sastrowardoyo: bahwa Sastra -utamanya puisi- dan filsafat memiliki pertalian erat, meski berada di kutub yang berbeda. Puisi berada pada sisi ekspresi budaya, sementara filsafat menempati sisi perenungannya. Puisi menampilkan kenyataan dalam bentuk yang hidup dan personal, sedangkan filsafat berupaya menjelaskannya secara sistematis dan universal. Keduanya merupakan pancaran hidup yang berasal dari sumber yang sama: keinginan manusia untuk memahami, mengungkapkan, dan memberi makna pada kehidupan.

Bagaimana bentuk pertalian antara puisi dan filsafat? TS Eliot menyodorkan rumusan yang cukup mendasar, yakni “puisi sejati bisa mencapai kedalaman yang tak terhingga tanpa menjadi filsafat, tetapi juga dapat menjadi filosofis tanpa kehilangan kedalaman puitiknya.” Nah, saya -promosi ya – sedang menyusun buku puisi ketiga berjudul Perasaan yang Berpikir. Buku yang secara tematis akan menghimpun puisi tentang berbagai istilah filsafat yang familiar dan relevan dengan kehidupan kita sehari-hari.

Menurut Anda, apakah kondisi saat ini masih memungkinan lahirnya genre baru di bidang puisi?

Sangat mungkin! Sebab itu merupakan tugas penyair yang punya sifat ‘pencipta’, termasuk genre baru tersebut. Namun apapun puisi genre baru yang akan tercipta, ‘memiliki kedalaman’ sebagaimana pesan Sutardji Calzoum Bachri itu yang penting. Artinya bukan puisi genre baru yang sekadar!

Ada pendapat yang mengapayakan tingginya animo orang menerbitkan karya tidak diimbangi dengan kualitas. Menurut Anda?

Sebenarnya kalau kita mau terus terang, sisi kualitas -termasuk karya- dalam penerbitan buku merupakan ‘kriteria’ nomor ke sekian. Kenapa? Karena penerbitan buku itu industri, baik di penerbit mayor atau minor. Di penerbit mayor, sebuah buku diputuskan terbit minimal punya satu alasan: laku dijual. ‘Laku dijual’ lazimnya berbasis pada nama penulis dan tema yang sedang dibutuhkan pasar (marketable). Sementara itu, di penerbit minor, sebuah buku diputuskan terbit selama ada biayanya.

Namun, di samping itu, tentu saja, setiap penerbit, baik mayor atau minor, punya idealisme -bahkan ideologi- masing-masing. Idealisme yang salah satunya dipegang teguh oleh editor. Pada konteks inilah, para editor punya definisi dan kriteria masing-masing perihal kualitas naskah yang akan diterbitkan. Apalagi kualitas itu sendiri merupakan sesuatu yang sukar dirumuskan secara standar dalam penerbitan buku. Berkualitas menurut penerbit A, belum tentu menurut penerbit B, dan sebaliknya. Sebab di Indonesia belum ada lembaga resmi yang melakukan tugas seleksi kualitas semacam itu. Mungkin pada akhirnya akan ada secara tersurat, misalnya melalui tim ISBN PNRI.

Apa saja peran yang harus dimiliki penerbit untuk memastikan kualitas karya yang diterbitkan?

Dalam hal ini, peran penerbit ada pada editornya untuk menolak atau menerima. Kenapa menolak, kenapa menerima? Apabila menerima, apa saja yang perlu diperbaiki, baik oleh penulisnya atau oleh editor. Artinya, dalam seleksi karya yang akan diterbitkan, tetap penting adanya edukasi yang mewujud dalam bentuk diskusi antara penulis dan editor. Dari dialektika tersebut, dimungkinkan lahir naskah yang berkualitas. Selain itu, editor juga punya peran ‘menyarankan kesadaran’ kepada masing-masing penulis yang mengajukan naskah, apa karyanya sudah layak untuk diterbitkan atau belum (bukan tidak). Saran yang terlepas dari perihal industri penerbitan buku di atas.

Apa pendapat Anda tentang Taman Ismail Marzuki kaitannya dengan kegiatan dan ekosistem sastra saat ini?

Taman Ismail Marzuki (TIM), terlepas dari prokontra pembangunannya, saya kira unik. Sampai hari ini, TIM tetap punya marwah sebagai pusat kesenian di Jakarta dan sekitarnya. Bahkan, sebagian besar seniman yang tinggal di daerah, memandang TIM masih sebagai impian untuk ‘tempat tampil’.

Ada beberapa faktor kenapa TIM masih bertahan dengan citranya sebagai tempat yang menarik, yakni adanya beberapa lembaga di komplesk TIM, seperti Pusat Dokumetasi Sastra HB Jassin, Dewan Kesenian Jakarta, #saveTIM, dan tentu Pojoktim (sebagai komunitas). Maksud saya, TIM itu bukan hanya kumpulan gedung perkantoran dan pertunjukan macam ‘raksasa ngantuk’. Namun -dengan berbagai hal yang saya sebut di atas- ada dinamika di dalamnya, dan itulah yang penting.

 

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini