PojokTIM – Lampu mendadak redup. 20-an remaja maju ke depan panggung, dan menggelar “ritual” seolah-olah sedang memanggil arwah Chairil Anwar, tepat di depan tamu undangan acara prosesi pengesahan Hari Puisi Indonesia (HPI), termasuk Menteri Kebudayaan Fadli Zon. Penonton pun terkesiap sambil menahan napas mengikuti tiap adegan.
Begitulah sekelumit suasana pementasan teaterikal berjudul Catatan Jakarta yang disutradarai Ical Vrigar. Meski hanya diberi waktu 2 hari, Ical mampu menyuguhkan tontonan yang cukup dramatis dan sesuai dengan tema acara di mana tanggal kelahiran Chairil Anwar dijadikan Hari Puisi Indonesia.
“Antara teater dan film seiring sejalan. Aku menekuni keduanya pada saat bersamaan,” ujar Ical sebelum pementasan teaterikal di selasar depan Teater Besar kompaleks Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat, digelar, Minggu (27/7/2025).
Ical Vrigar dikenal sebagai aktor dan deklamator yang wajahnya telah menghiasi layar kaca dan penampilannya menghentak sejumlah panggung nasional. Totalitasnya selalu mengundang decak kagum penonton. Demikian juga saat menyutradarai film maupun teater. Kecintaannya pada sastra bahkan tersemat pada nama ketiga anaknya.
“Sebagai orang yang suka sama puisi, aku seperti terdorong begitu saja ketika memberikan nama anakku Puitika Pamora, Puisi Pancara, dan yang terakhir, Sajak Semesta. Itu tidak dikarang-karang dulu, (nama itu) lahir begitu saja,” kata Ical Vrigar.
Berikut petikan wawancara PojokTIM dengan Ical Vrigar yang selalu tampil flamboyan.
Bisa ceritakan perjalanan kesenian Anda?
Aku merasa perjalanan kesenianku mengalir begitu saja karena sejak kecil aku sudah menyukai teater. Tahun1978 aku gabung ke sanggar teater dan sempat ikut Festival Teater Anak sebagai pemain. Tahun 1984 aku mendirikan sanggar teater dan setahun kemudian ikut Festival Teater Anak. Bukan lagi sebagai pemain tetapi sutradara.
Lalu bergerak mengikuti usia, ke teater remaja dan teater dewasa (umum). Tetapi aku tidak puas hanya di teater, meski sampai kini pun masih berproses di teater. Aku sempat beralih ke dunia dubbing atau sulih suara. Namun berhenti karena (saat itu) dilarang Menteri Hartono, oleh pemerintah Orde Baru. Akhirnya aku fokus di film, merangkak dari bawah termasuk menjadi kru, pencatat script, astrada (asisten sutradara), dan sejak tahun 2001 menjadi sutradara.
Di antara masa itu, aku juga mencoba masuk ke dunia berbeda. Saat SMP aku ikut sekolah sastra yang diasuh Mansyur Samin di perpustakaan TIM. Belajar menulis dan membaca puisi.
Jadi aktor juga?
Iya, salah satunya main di film Aku Cinta Indonesia (ACI), film seri produksi Pustekom tahun 1986 yang tayang di TVRI. Ada beberapa pemeran utama dalam film itu termasuk aku yang berperan sebagai Binsar, pelajar dari Sumatera Utara yang hijrah ke Kota Harapan.
Berapa banyak film yang sudah Anda sutradarai?
Sudah banyak, termasuk serial Potret yang tayang di TVRI. Kemudian serial Cerpen TV – dari cerpen dialihwahanakan ke sinetroin. Serial itu tayang di Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). Ada juga sejumlah film lepas dan FTV.
Kapan mulai aktif menjadi deklamator?
Saat bergabung dengan teater anak tahun 1978, aku juga sudah berlatih baca puisi. Tahun itu juga aku ikut lomba baca puisi. Itu lomba pertama dan aku menjadi pemenang. Sejak itu aku rajin ikut lomba. Aku senang karena setiap ikut lomba, selalu dapat juara.
Lomba mana yang paling berkesan?
Semua lomba tentunya berkesan. Sebab tiap lomba berbeda-beda atmosfirnya, berbeda tantangannya. Tapi yang pasti, semuanya seru dan aku cukup menikmati.
Penampilan Anda saat di panggung selalui memukau penonton. Apa rahasianya?
Tidak ada rahasia atau tips khusus. Hanya berlatih, berlatih, berlatih dan selalu mencari bentuk baru. Bagaimana puisi tidak berhenti menjadi teks lomba, tetapi menjadi seni pertunjukan yang menarik. Aku selalu mencari (bentuk baru) agar bisa menyuguhkan pertunjukan-pertunjukan yang menarik, enak ditonton.
Karena (penampilan dan cara baca puisi) ini style, maka setiap orang dalam membaca dan memanggungkan puisi berbeda-beda. Kita harus punya gaya sendiri untuk menyampaikan ekspresi atau pesan dari teks.
Apa perbedaan paling mendasar antara sutradara film dengan sutradara teater?
Lebih istimewa menjadi sutradara teater karena tidak ada pengulangan ketika sudah di panggung. Sementara untuk film, syutingnya bisa diulang sampai beberapa kali. Dan yang paling penting, kepuasan batin yang didapat di teater lebih besar karena melalui proses yang panjang. Bukan sebatas latihan menghafal adegan dan dialog, namun lebih dari itu. Ada proses penyatuan antara sutradara dengan pemain, lalu pemain dengan pemain. Itu yang membuat terkesan.
Bukankah secara finansial, lebih menjanjikan di film?
Betul banget, secara materi lebih besar di film. Tapi itu dunia yang tidak nyaman aku masuki karena penuh intrik, penuh persaingan. Kita bekerja di kesenian kan bukan hanya mencari materi, kepuasan batin juga diutamakan. Nah bagaimana kita bisa mendapatkan kepuasan batin jika kerjanya saling tikam, saling acuh, saling fitnah.
Ada tantangan khusus ketika menyutradarai teater tradisi seperti yang dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ)?
Jujur saja, aku kurang menguasai pakem lenong secara menyeluruh. Makanya (di GKJ) aku garap cerita Betawi, tidak khusus tentang lenong. Yang menarik, kami main tanpa naskah. Aku hanya mentransfer cerita untuk dikembangkan oleh pemain, termasuk mengisi dialognya. Mereka merajut adegan demi adegan sampai utuh menjadi cerita. Itu juga tantangan yang luar biasa.
Ical Vrigar bersama Ika Oktika tampil kompak membaca puisi pada acara peluncuran buku puisi Ramadhan di Betawi di PDS HB Jassin.
Bagaimana hubungan antar personal di TIM zaman dulu, dan apa bedanya dengan sekarang?
Sekarang banyak kubu, mengkotak-kotakkan pertemanan. Dulu kita berteman dengan seluruh penggiat kesenian yang ada di TIM, walaupun sekaligus bersaing dalam prestasi. Kalau sekarang, sudahlah tidak guyub, bersaingnya dalam proyek.
Bagaimana pandangan Anda terhadap TIM saat ini?
Dulu TIM sangat nyaman. Begitu masuk (ke kompleks TIM), suasana hati kita merasa tenang, tidak ada kebisingan. Memacu kreatiftas kita. Sekarang di mana-mana bising, baik bising secara fisik maupun nonfisik. Saling menceritakan teman, dibuat gosip. Bahkan ketika tidak di TIM, kita bisa saja jadi bahan omongan.
Seharusnya komunitas-komunitas seni yang ada di TIM berjalan dengan kegiatan yang sehat, dengan pertemanan yang sehat. Sekarang tidak ada lagi pengkaryaan yang monumental. Komunitas hanya sibuk cetak buku. Namun setelah di-launching, masuk laci. Tidak dibaca lagi. Mengapa hal itu terjadi? Karena mereka tidak memperhatikan kualitas, tidak dikurasi secara ketat. Asal kirim tepat waktu, dan nanti mau beli bukunya, (puisinya) pasti lolos kurasi. Miris sekali.
Ayo dong abadikan, monumentalkan lagi karya-karya itu. Carilah penemuan-penemuan baru. Jangan asyik di situ-situ saja. Ruang kreatifitas tidak terbatas loh.
Bagaimana dengan keberadaan lembaga-lembaga di TIM?
Keberadaan lembaga-lembaga di TIM hanya sebagai kendaraan kepentingan. Mereka punya arah dan tujuan masing-masing yang secara tidak sengaja akhirnya hanya seperti bagi-bagi kue. Potongan ini buat kamu, ini buat aku. Tidak ada yang berpikir tentang kesenian itu sendiri. Padahal TIM adalah rumah, bahkan pusat kesenian. Lembaga-lembaga itu tidak pernah bicara bagaimana kesenian menjadi karya besar, maha karya. Demikian juga orang-orang di antara kita, para seniman yang berkegiatan di TIM, yang ada hanya perseteruan, perselisihan. Tidak ada lagi yang bicara karya.
Apa harapan Anda?
Harapannya, para pemangku kebijakan bisa bersikap adil terhadap semua pelaku kesenian yang berkegiatan di Jakarta, termasuk di TIM. Tidak hanya didasarkan oleh unsur kedekatan- nepotisme, atau yang mau diajak kompromi saja. Tetapi benar-benar berdasarkan kualitas karya.
Lihatlah ke sanggar-sanggar, ke komunitas-komunitas, yang pengurusnya tidak memiliki koneksi ke pejabat. Rangkul mereka, bukan hanya dijadikan data statistik. Jika pola yang sekarang tidak diubah, maka selamanya kegiatan di pusat-pusat kesenian hanya berputar pada kelompok atau person yang itu-itu saja. Mereka yang ada di pinggiran dan tidak memiliki akses ke pejabat, tidak akan mendapat kesempatan mengisi acara-acara yang didanai pemerintah . Jadi, harus diubah pola pendekatannya, jika memang ingin memajukan kesenian di Jakarta.