PojokTIM – Angin sore menyapa wajah kami yang sedang terlibat dalam perbincangan ringan sambil menyesap kopi dan asap nikotin di balkon Lantai 4, Gedung Ali Sadikin, Kompleks Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ TIM), Rabu (4/9/2024). Ketatnya pembatasan yang diterapkan pengelola gedung, termasuk larangan membawa minuman ke area aula PDS HB Jassin, disiasati dengan berbagai cara.

Security melarang kita membawa minuman karena takut airnya menetes ke karpet. Makanya gelas kopinya saya masukkan ke plastik. Jadi tidak ada alasan lagi untuk melarang,” ujar Ireng Halimun disambut tawa getir rekan-rekannya yang merupakan peserta acara peluncuran buku kumpulan puisi yang sedang digelar Komunitas Literasi Betawi (KLB).

Obrolan pun bergeser ke topik lain. Kali ini tentang dunia seni lukis atau seni rupa. Sebagai pelukis, Ireng menjadi pihak yang banyak mendapat pertanyaan. Dengan antusias Ireng menceritakan perjalanan kariernya di dunia kanvas, termasuk seluk-beluk seni lukis dengan istilah-istilah yang kurang familiar di telinga rekan-rekannya yang umumnya penyair.

“Mungkin hanya saya, dan beberapa pelukis, yang intens bergaul dengan penyair dan para penulis prosa. Bagi saya, perbincangan dengan berbagai kalangan menjadi bagian dari proses kreatif itu sendiri. Banyak ide didapat, yang pada akhirnya dapat memperkuat karya kita,” tegas Ireng yang juga piawai dalam bernyanyi.

Berikut rangkuman perbincangan PojokTIM dengan Ireng Halimun.

Anda dikenal sebagai pelukis produktif dan sering mengadakan pameran. Ini pertanyaan orang awam, apakah dalam setiap pameran selalu ada karya yang terjual?

Itu pertanyaan mendasar yang penting. Pada tahun ’80 – ’90-an jumlah pelukis paling seribuan orang, jadi sangat gampang menaikkan nama dan menemui kolektor. Di masa itu jumlah kolektor juga banyak. Sekarang pelukis/perupa, di Indonesia sudah jutaan sementara jumlah kolektor tetap, atau bahkan berkurang. Terlebih setelah tidak ada Ciputra. Meski masih cukup banyak, tetapi tidak seimbang dengan jumlah pelukis yang ada.

Di tengah kondisi demikian itu, para pelukis perlu membuka jaringan dengan kolektor. Selama ini banyak pelukis yang hanya pameran saja. Saya mengistilahkan dengan pameran hore; pasang, gulung, pulang. Kalau yang dipamerkan 50 karya, pulang juga (bawa) 50 lagi. Itu yang sering terjadi.

Makanya sebelum pameran harus disiapkan dulu siapa yang akan membuka, siapa saja kolektor yang diundang. Usahakan yang membuka pameran bukan pejabat, kecuali pejabat itu memiliki kemungkinan untuk membeli karya. Lebih baik yang membuka pengusaha, karena biasanya, ketika mereka mau membuka suatu pameran, kemungkinan untuk beli lukisan sangat tinggi.

Selain tidak seimbangnya jumlah pelukis dengan kolektor, apakah ada faktor lain yang memengaruhi suatu pameran tidak dihadiri kolektor? Misalnya dari segi kualitas?

Kalau dari kualitas karya justru meningkat. Penurunan minat untuk membeli karya seni, dalam hal ini lukisan, mungkin ada korelasinya dengan kondisi sekarang. Dulu, di masa Orde Baru, banyak pejabat yang membeli lukisan, mungkin bagian dari money laundering. Kita tahu, di masa itu korupsi belum tertangani dengan baik. Kalau sekarang, sulit mengharap pejabat membeli lukisan. Sedikit-dikit berkata takut dicurigai oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Itu satu di antara alasan mereka tidak mau membeli karya seni.

Bagaimana dengan pengusaha?

Masih banyak pengusaha yang mempunyai kepedulian pada karya seni. Namun umumnya yang mau datang ke suatu pameran karena kenal dengan pelukisnya. Ini juga tantangan bagi para pelukis untuk bisa mendapatkan link kepada pengusaha atau kolektor seni yang mumpuni.

Artinya persaingan untuk mendapatkan kolektor sangat ketat?

Iya, sangat ketat. Agar bisa dikenal dan mempunyai link ke kolektor, satu di antara caranya ya dengan rajin datang dan mengikuti pameran. Bagi pelukis atau perupa, ikut pameran sudah menjadi fardu kifayah (wajib). Sama dengan karya teater yang harus dipentaskan.

Ireng Halimun saat melukis. Foto: Ist

Sekarang marak pameran virtual. Tanggapan Anda?

Meski sekarang ada pameran virtual, menurut saya, tetap dibutuhkan pameran faktual. Sebab kolektor butuh dihadapkan langsung pada karya, di depan mata. Memang ada dua sisi bagi seorang kolektor untuk menilai karya yakni secara fisikoplastis atau secara bentuk, dan secara psikoplatis, “bersentuhan” dengan ruh di balik karya. Kalau secara fisik, kolektor cukup melihat melalui foto. Tetapi untuk dapat merasakan nilai atau ruh sebuah karya, kolektor atau penikmat seni, harus hadir langsung di depan karya.

Hanya saja sekarang banyak kolektor membeli melalui “telinga”. Mereka hanya mendengarkan ulasan kurator, lantas membeli. Sebenarnya model ini tidak masalah sepanjang kuratornya jujur, bukan dengan niat “menggoreng” karya. Jadilah seperti kurator di masa lampau, yang memang hadir dan merasakan langsung karya yang diulas.

Jadi di mana sebenarnya posisi kurator?

Kurator sebenarnya berfungsi sebagai brigde, jembatan. Oleh karenanya kurator harus memberi penilaian dengan objektif. Terlepas tidak ada hubungan pertemanan, atau tidak suka dengan pelukisnya, tetapi jika karyanya bagus, katakan bagus. Sebaliknya, meski karya teman sendiri, kalau memang tidak layak, ya katakan yang sebenarnya.

Untuk pameran lukisan, sebenarnya diperlukan kurator atau tidak?

Sangat perlu karena menjadi jembatan antara kreator dengan kolektor. Jangan sampai pelukis atau perupa selalu berada di samping karya dan menerangkan kepada pengunjung pameran. Kalau sudah begitu, perlu ditanya, lu mau menjadi kreator atau narator. Sebab yang membicarakan kehebatan sebuah karya harus kurator, bukan kreator.

Apakah masih ada praktik goreng-menggoreng karya seni?

Masih ada. Kalau di bidang hukum ada istilah calo kasus, maka di seni juga ada tukang goreng karya, pemutarbalikan fakta. Kaidah-kaidah akademis dilanggar demi menaikkan gengsi atau harga karya tertentu.

Masihkah karya lukis dipandang sebagai investasi?

Sebenarnya masih, tetapi di Indonesia belum tertangani dengan baik sehingga kadang timbul kebingungan di antara kolektor ketika pelukisnya meninggal dunia. Mestinya ada semacam asosiasi kolektor. Ketika mereka ingin melelang atau menukar koleksi, sudah ada wadahnya. Dengan demikian karya bergerak, diperdagangkan sebagai komoditas seni yang nilainya terus bertambah lazimnya sebuah investasi. Bukan disimpan di gudang tanpa perawatan yang baik.

Benarkah usia lukisan turut berperan dalam menentukan harga?

Tergantung media yang mengangkatnya. Pada saat Nashar membuat karya abstrak, kritikus seni, yang sekarang disebut kurator, memberi ulasan di media yang pada intinya menyebut karya itu bagus. Dampaknya harga lukisan karya Nashar meledak. Melampaui harga lukisan-lukisan yang lebih tua.

Sementara karya pelukis hebat lainnya yang sezaman seperti Adi Kaneko, Candra Johan, Hidayat SPD, “tidak terdengar lagi” karena tidak diangkat oleh media.

Dampak lain dari praktik tersebut, banyak pelukis seperti saya yang tidak lagi berambisi menjadi pelukis besar, pelukis yang tiba-tiba terkenal. Alasannya karena saya tidak punya banyak koneksi dengan kolektor seni. Saya sudah cukup puas ketika karya saya ada yang beli dan bisa untuk menghidupi anak-istri. Saya tidak berambisi menjadi Van Gogh yang karyanya bernilai jutaan dolar setelah kematiannya.

Tema apa yang dominan dalam karya-karya Anda?

Awalnya saya bicara kritik sosial. Tetapi sekarang kondisinya berbeda. Lebih banyak kontemporer sehingga tema tidak menjadi persoalan lagi. Saat ini eranya lukisan dengan warna-warna menarik, warna tosca, yang punya kecenderungan dibeli. Makanya pelukis tidak lagi peduli dengan tema tertentu, termasuk tema sosial.

Padahal saat ini mestinya karya seni dengan tema-tema kritik sosial harus diperbanyak. Tetapi sebagian menghindari itu karena merasa tidak aman ketika bersinggungan dengan penguasa.

Salah satu lukisan Ireng Halimun. Repro: Ist 

Lukisan mana yang paling lama Anda kerjakan?

Lukisan berjudul “Akhir dari Masa Kekuasaan”. Itu lukisan tentang buaya jatuh, diledek oleh cecak di sekitarnya. Proses pembuatannya lumayan lama karena banyak detail. Jadi durasi terkait teknis bukan faktor keterukuran sebuah lukisan, apalagi untuk menentukan kualitasnya. Membuat lukisan bergaya ekspresionis mungkin sehari selesai. Sementara lukisan realis yang butuh detail atau lukisan dekoratif yang banyak ragam hiasnya, bisa dikerjakan sampai berminggu-minggu.

Pameran mana yang paling berkesan bagi Anda?

Pameran yang sangat berkesan bagi saya adalah pameran sendiri yang berjudul “5inga 7antan” di Balai Budaya, 11 Agustus 2022 lalu. Pameran yang dibuka Ketua MPR Bambang Susatyo itu menandai usia saya yang ke-57 tahun. Banyak dihadiri sahabat dan teman-teman.

Pada dasarnya setiap pameran memiliki kesan tersendiri, seperti pameran Titimangsa (2023) oleh Komunitas Tu7uh Rupa di Bentara Budaya. Itu juga memberi kesan luar biasa. Kebetulan saya yang dipercaya sebagai ketua komunitas itu.

Ada pesan untuk pelukis-pelukis muda yang sedang mencari bentuk?

Kegiatannya itu, jangan dulu dijadikan sebagai profesi. Lebih baik mengendepankan afeksi, kecintaan, pada seni. Sebab pendidikan seni di sekolah juga tidak dimaksudkan agar siswa menjadi pelukis, tetapi untuk meningkatkan daya apresiasi.

Kemudian jangan puas dulu. Pelajari dan pahami teorinya. Kalau dalam pendidikan akademis, ada prosesnya. Mungkin gambar bentuk dulu, gambar model, anatomi dulu, sebagai basic. Ketika pada tingkat tertentu dia menjadi pelukis ekspresionis, impresionis, atau bahkan abstrak, itu merupakan bagian dari proses pencarian seseorang.

Jadi jangan mendadak abstrak, padahal belum tahu dasarnya. Lebih parah lagi ketika ada yang mengatakan lukisan abstrak non-akademis lebih bagus. Ini berbahaya karena menganggap pendidikan seni rupa di perguruan tinggi tidak penting. Ingat, pendidikan di perguruan tinggi memiliki fungsi untuk men-drive kesenian agar tidak serampangan. Oleh karenanya jangan mudah mengatakan ini baik, itu buruk, jika tidak paham ilmunya.

 

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini