PojokTIM – Permintaan wawancara diterima dengan baik meski disampaikan secara mendadak. Tidak ada guratan lelah di wajahnya setelah seharian beraktivitas. Senyumnya tersungging ketika menyapa di balkon hotel tempatnya menginap selama di Jakarta. Itulah Hening Wicara, penyair yang telah menerbitkan 4 buku antologi puisi tunggal.

Diiring senyum itu pula Hening memberikan buku puisi Balon Balon di Balkon kepada PojokTIM. Karena tidak ada kesedihan yang abadi maka berbahagialah tanpa tapi, tulisnya pada lembar pertama buku puisi yang sebelumnya dibedah oleh kritikus dan pengamat sastra sekaligus Ketua Umum BPH Yayasan Penulis Wanita Indonesia (WPI) Dr Free Hearty di PDS HB Jassin, kompleks Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ TIM), Cikini, Jakarta Pusat, Senin (21/4/2025).

“Aku sudah punya judul buku puisi kelima, keenam, bahkan ketujuh,” ujar Hening sambil menceritakan rencana kunjungannya ke Korea dan tempat-tempat lain yang akan dijadikan inspirasi untuk buku-bukunya.

Hening bukan sosok yang bercita-cita menjadi seniman. Insinyur teknik elektro yang akrab disapa Ibeth oleh rekan kerjanya di perusahaan telekomunikasi terkemuka itu, justru sempat mengabaikan “isyarat” dari Tuhan. “Sejak kecil aku hanya tertarik pada matematika, teknik dan ilmu eksakta,” kata Hening.

Desau angin dari balik pepohonan di seberang Jalan Cikini Raya, depan TIM, ditingkahi suara parau pengamen, menemani perbincangan PojokTIM  dengan perempuan kelahiran Rantau Berangin, Riau tersebut. Berikut petikannya:

Bisa ceritakan tentang isyarat dari Tuhan yang Anda abaikan itu?

Iya, jika dipikirkan sekarang, sebenarnya sejak kecil aku sudah dapat “bocoran” dari Tuhan tentang jalanku di bidang seni sastra, tetapi tidak aku dengarkan. Jadi pada saat SD, aku sudah menjadi juara lomba mengarang. Dulu ada lomba mengarang untuk bidang studi Bahasa Indonesia. Kalau sekarang mungkin FLS2N (Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional). Aku menjadi juara selama 2 tahun berturut-turut, Kelas V dan VI SD. Pertama tingkat Kabupaten Kampar, lalu naik ke tingkat Provinsi Riau.

Tapi aku tidak bangga. Dalam hatiku, apalah menulis, semua juga bisa. Jadi peristiwa itu lewat begitu saja. Aku hanya mengambil pialanya tanpa keinginan untuk menekuni lebih lanjut. Pokoknya, waktu itu tidak ada keinginan menjadi pengarang, atau penyair, dalam kamus hidupku. Aku justru bangga kalau juara matematika. Kuliah pun aku memilih tekno elektro di STT Telkom (kini Telkom University) di Bandung dan ikut ikatan dinas.

Kapan Anda akhirnya menyadari punya ketertarikan dan bakat menulis?

Nah, saat kuliah, karena jauh dari orang tua, aku merasa homesick. Aku menuangkan perasaan itu melalui diary. Aku menulis apa saja yang mengganggu jiwa, rindu pada rumah, pelajaran yang sulit dan tentang laki-laki.

Buku harianku akhirnya menjadi bacaan teman-teman yang kutu buku. Aku biarkan mereka membaca diaryku, bahkan aku merasa senang. Kebetulan aku tidak punya masalah dengan teman-teman perempuan karena meskipun kami ber-8 dalam satu kamar, hubungan kami baik-baik saja. Mungkin karena perempuan teknik bukan tipe yang perasa, jadi asyik semua.

Terkait pelajaran, di daerah aku memang termasuk anak pintar. Tetapi ketika di kampus, diadu dengan anak-anak dari Jawa, bedanya jauh sekali. Kualitas pendidikan di masa itu belum merata. Jadi aku merasa pelajaran teknik elektro sangat berat. Dan itu yang banyak aku ungkap dalam buku harian. Ternyata respon teman-teman yang membaca diaryku cukup baik. Dari situ aku baru ngeh kalau aku punya bakat menulis dan bahkan pernah juara mengarang.

Setelah lulus kuliah. aku bekerja di perusahaan telekomunikasi. Karena kesibukan dan tempat kerja yang berpindah-pindah, dari Medan, Jakarta, Pekanbaru, aktivitas menulis diary pun berhenti. Kemudian hadir platform media sosial Facebook. Karena berkecimpung di dunia telekomunikasi, jadi aku dan teman-teman sejawat yang pertama-tama memiliki akun Facebook. Lalu aku bikin note di Facebook. Di situ tulisanku commentable, disukai banyak orang. Ada rasa bangga juga. Kehadiran Facebook menjadi titik balik dan turut mempengaruhi  ketertarikanku pada dunia menulis.

Henign Saat membacakan puisinya di PDS HB Jassin. Foto: PojokTIM

Kapan beralih ke puisi?

Kebetulan saat itu ada kolom puisi di majalah internal perusahaan. Aku coba mengirim puisi dan dimuat. Aku juga pernah memenangkan lomba cipta suara karyawan dan lomba blog karyawan. Dari situ aku semakin rajin menulis. Namun lama-lama aku merasa tidak enak sendiri, karena aktivitasku seperti dianggap mempengaruhi pekerjaan. Aku juga tidak bisa berhenti menulis. Ketika ditekan, keinginan untuk menulis semakin bergejolak. Akhirnya aku menggunakan nama pena Hening Wicara – dalam sunyi aku berbicara. Dengan nama pena itu aku merasa lebih leluasa berkarya.

Tanpa sadar, aku menjalani dua kehidupan, sebagai Hening dan sebagai Ibeth. Orang yang mengenaku sebagai Hening, tidak tahu kesibukanku di kantor. Sebaliknya, mereka yang mengenalku sebagai Ibeth, tidak tahu aktivitasku sebagai penyair.

Bagaimana proses sampai dibukukan?

Teman-teman kemudian mendorong agar tulisan-tulisanku dibukukan karena dianggap bagus dan menarik. Tetapi aku masih ragu karena aku punya bakat tetapi belum tahu ilmunya. Nah ketika dipindah tugas ke Pekanbaru lagi, aku mulai mencari komunitas menulis  dan akhirnya bergabung dengan Forum Lingkar Pena (FLP) tahun 2010. Saat awal bergabung aku dites, lulus dan kemudian dibekali ilmu kepenulisan. Dari situ aku mulai serius menulis, dan memilih genre puisi.  Ikut lomba-lomba yang diadakan FLP dan juga komunitas lain. Karyaku sering masuk nominasi dan ikut dibukukan.

Padahal saat itu aku tengah sibuk-sibuknya karena 2 anakku masih berumur 8 dan 7 tahun. Aku juga baru dimutasi ke Pekanbaru dan karir sedang menanjak. Namun anehnya, aku justru menikmati dan merasa lahir kembali. Aku merasa punya dunia lain tempat aku bermain-main, untuk rehat sejenak dari rutinitas yang melelahkan.

Menurutku itulah talenta. Meski di awal aku mengabaikan “bocoran” Tuhan, suatu saat pasti kembali. Setidaknya merindukannya. Pelajaran yang aku petik, jika melihat anak kita ada bakat di satu bidang, arahkanlah. Mungkin itu jalan yang diberikan Tuhan. Jangan abaikan, karena kalau sudah ada talenta maka tidak butuh effort besar mewujudkannya. Ketika dulu aku mendapat “bocoran”, tidak ada yang mengarahkan. Mungkin karena tidak ngeh juga. Semua malah mendorong agar aku menjadi insinyur seperti Papaku.

Selain FLP, Anda juga bergabung dengan komunitas lain?

Karena dalam pekerjaan sering dimutasi, aku jarang ikut kegiatan komunitas. Tidak ada waktu juga. Namun setiap ada kesempatan, aku berusaha bergabung dengan komunitas seni yang ada di daerah itu. Di Riau aku juga bergabung dalam Rumah Sunting-nya  Kak Kunni (Masrohanti), Rumah Kreatif Suku Seni milik Marhalim Zaini, meski tidak selalu ikut agendanya.

Kapan waktu menulis puisi?

Memanfaatkan waktu di bandara, sering terbang, tuntutan dinas. perjalanan darat jauh, kadang lama, ke pelosok Riau, bahkan Riau ke Sumbar, bisa 8 sampai  10 jam. Itu waktu yang ideal dan indah untuk menggubah puisi. aku merasa bisa keluar dari rutinitas, mendekap alam segar sebagai Hening.

Mengapa temanya sebatas aku dan kau sepeti dikatakan Dr Free Hearty?

Bukuku sangat tematik karena aku suka buku-buku yang tematik, teratur. Mungkin karena aku orang teknik. Hanya buku pertama, terbitan tahun 2014, yang temanya gado-gado. Buku itu berisi 80 puisi dengan kata pengantar Joni Ariadinata.

Setelah sempat vakum, buku kedua terbit tahun 2020. Judulnya Pelangi Langit Perth. Waktu itu aku jalan-jalan ke Australia bersama salah satu sahabat, sehingga puisi yang ada dalam buku itu hanya tentang Perth dan persahabatan kami.

Buku ketiga, berisi tentang Papaku yang meninggal tahun 2020.. Aku sangat dekat dengan Papa. Aku  menulis puisi khusus tentang beliau. Kisahnya dari beliau meninggal, mundur sampai aku lahir. Aku mengumpulkan serpihan cerita-cerita tentang aku dan Papaku sebagai bahan puisi.

Di buku keempat, yang dibedah oleh Bundo Free, isinya dari buku diaryku. Semula aku ingin mengenyahkan karena sudah tidak ada gunanya juga. Disampan pun dimakan rayap. Sebelum dibuang, aku salin beberapa puisi cinta, karena yang tentang pelajaran sudah lewat kok. Kalau kisah cinta, bagus untuk diabadikan. Sebagai wujud rasa syukurku juga pada Sang Maha Cinta, Dia pernah memberi rasa cinta, entah aku yang cinta, atau dia yang cinta, semua aku catat. Jadi benar-benar hanya tentang aku dan kau.

Di buku kelima, yang belum diterbitkan, aku sudah siapkan judulnya Teka Teki Turki. Semua tentang perjalananku bersama teman-teman ke Turki. Buku keenam Desir Pasir Mesir, tentang perjalanan ke Mesir. Buku ketujuh, Kornea Korea. Meski aku baru akan ke Korea, insya Allah Juni nanti, aku sudah punya rencana untuk membuat satu buku tentang Korea .

Plan ke depan, aku akan mencatat semua perjalananku. Targetku, satu tahun menerbitkan satu buku.

Riau, dan tlatah Melayu pada umumnya dikenal memiliki tradisi yang kuat di bidang literasi dan budaya. Apakah bakat menulis Anda dipengaruhi oleh lingkungan?

Aku kurang menangkap pengaruh lingkungan yang memang memiliki tradisi kuat di bidang seni dan budaya. Sastra Melayu sudah terkenal sejak dulu dan telah melahirkan sastrawan-sastrawan hebat baik di masa lalu maupun kini. Namun karena sejak kecil lebih tertarik pada matematika, aku kurang memperhatikan. Aku kuliah Bandung, lulus langsung kerja di kota lain, berpindah-pindah, jadi tidak sempat berinteraksi dalam proses kesenian di lingkunganku.

Bagaimana perkembangan sastra di Riau, sejauh yang Anda ketahui?

Perkembangan sastra di Riau dan Kepri sangat bagus, budaya Melayu hidup. Banyak teman-teman yang merintis percetakan, promosi di medsos sehingga memacu gairah menulis karena mudah menerbitkan buku. Ghirahnya bagus. Kami sering menghadiri acara bedah buku, Bahkan kegiatan semacam itu rutin diadakan. Misalnya di Kepri, ada acara rutin yang digagas Bapak Rida K Liamsi. Pesertanya wajib sudah punya buku. Itu bagus sekali, melecut aku dan teman-teman untuk terus berkarya.

Apa ada interaksi dengan penulis-penulis dari negeri jiran seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura?

Penulis di Riau umumnya rekat dengan penulis dari negeri jiran. Aku dekat dengan Bunda Anie Din dari Singapura, Nick Mansyur dari Vietnam dan lain-lain. Kebetulan aku juga tergabung dalam komunitas Kembara bersama mereka dan juga Bundo Free. Kami pernah baca puisi di Selat Malaka, juga Vietnam.

Kami berkomunikasi menggunakan bahasa Melayu. Memang terdengar agak beda dengan Bahasa Indonesia, tetapi kalau dalam tulisan sama saja. Sebab Bahasa Indonesia berakar dari Bahasa Melayu. Kami men-support Bunda Anie Din yang sedang menggalakkan penerbitan buku dalam Bahasa Melayu karena penerbitan buku di Singapura lebih banyak menggunakan Bahasa Mandarin dan Inggris.

Bagaimana kesan Anda tentang TIM

Pertama kali aku menginjakkan kaki di TIM pada awal tahun 2020, acaranya FFI (Friendship Force Indonesia) dalam rangka persiapan perjalanan ke Lower Colombia, Amerika Serikat. Datang lagi ke TIM saat kegiatan Peruas (Perkumpulan  Rumah Seni Asnur). Menurutku, TIM sangat bagus dalam membangun ekosistem berkesenian. Banyak kegiatan sastra, memiliki aula diskusi dan gedung pertunjukan yang representatif.

Aku berharap ada “TIM” di setiap ibukota provinsi. Kita butuh wadah untuk mengekspresikan diri. Di Riau, kami benar-benar swadaya. Kami tidak punya tempat khusus. Memang ada taman budaya, tetapi tidak khusus untuk kegiatan seni sastra, kadang dipakai juga untuk konser musik, kegiatan keagamaan, bahkan MTQ. Tempat lain memang ada, seperti gedung perpustakaan, cukup besar, tapi tidak seluas TIM. Panggungnya juga terbatas.

Ada saran untuk TIM?

Perlu disediakan semacam mobil golf (buddy car) untuk keliling mengingat TIM sangat luas dan antargedung berjauhan. Banyak loh pengunjung lansia. Mereka sudah tidak kuat jalan, padahal ingin melihat fasilitas lain yang ada di TIM. Dengan adanya buddy car yang bisa disewa, tentunya pengunjung akan lebih nyaman.

 

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini