PojokTIM – Pengajuan Jakarta sebagai Kota Sastra atau Jakarta City of Literature melalui proses panjang sejak 2019, dan mendapat dukungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Setelah ditetapkan sebagai Kota Sastra Dunia oleh UNESCO pada 2021, kini eksistensinya dipertanyakan karena seperti ada dan tiada.

Pasca penetapan oleh UNESCO, sejumlah program sempat digelar baik yang merupakan program wajib sebagai anggota dari kota literasi dunia, maupun kegiatan pendukung seperti revitalisasi Taman Literasi Martha Christina Tiahahu di Blok M Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

“Pada tahun 2022, Jakarta menjadi tuan rumah Kongres Penerbit Internasional ke-33 dan juga Jakarta Content Week. Yakni festival penjualan hak cipta dan pasar kekayaan intelektual untuk kawasan Asia Pasifik bekerjasama dengan Frankfurt Book Fair. Kegiatan-kegiatan tersebut adalah bagian dari manfaat yang didapat setelah jakarta menjadi City of Literature,” ujar Laura Prinsloo Bangun sebagai pembicara dalam diskusi publik Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) bertajuk “Jakarta City of Literature: Sekadar Status atau Serius Dihidupi?”, di Teater Wahyu Sihombing, Kamis (23/5/2024).

Laura, yang juga Ketua Focal Point Jakarta City of Literature, menambahkan penetapan Kota Literasi Dunia bersifat permanen sehingga bisa dimanfaatkan melalui program jangka pendek maupun jangka panjang, termasuk program residensi yang banyak memberi manfaat bagi penulis.

Secara khusus, menurut Ketua Yayasan 17.000 Pulau Imaji itu, pada 2021 Pemprov DKI juga telah memasukkan program literasi dan kebudayaan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Namun, dalam beberapa tahun terakhir tidak ada anggaran untuk mendukung program yang berkaitan penetapan Jakarta sebagai City of Literature.

“Bahkan saya menggunakan dana pribadi untuk menghadiri kegiatan UNESCO yang berkaitan dengan literasi di luar negeri,”ujar Laura, Ketua Komite Buku Nasional 2016-2019.

Sementara Staf Khusus Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Alex Sihar menekankan pentingnya partisipasi penggiat dan stake holders bidang kebudayaan turut mengawal anggaran kebudayaan sejak masih dalam pembahasan.

“Pastikan dulu apakah program kebudayaan ada dalam RPJMD, baik yang jangka pendek, yang 5 tahunan, maupun jangka panjang sebagai dasar penetapan anggaran. Dan yang tidak kalah penting, harus ada basis data komunitas dan program unggulan,” ujar Alex Sihar seraya mencontohkan dinamika yang terjadi setelah Ambon, Maluku, ketika ditetapkan sebagai Kota Musik.

Remmy Novaris DM menggugat peran DKJ yang hilang. Foto: Ist

Peran DKJ

Diskusi publik yang dihadiri puluhan sastrawan, akhirnya menjadi ajang menumpahkan uneg-uneg kepada DKJ. Dalam sesi tanya jawab, sejumlah peserta diskusi mempertanyakan peran DKJ atas berbagai permasalahan yang terjadi.

Tatan Daniel dari #SaveTIM mempertanyakan penetapan Jakarta sebagai Kota Literasi Dunia di saat berlangsungnya revitalisasi TIM yang berujung komersialisasi gedung-gedung pertunjukan. Tatan menyayangkan minimnya peran DKJ dalam memperjuangkan kepentingan seniman.

Sementara Remmy Novaris DM dari Dapur Sastra Jakarta (DSJ) menyoroti hilangnya peran DKJ sebagai pilar TIM.

“Banyak program dewan (DKJ) yang tidak dijalankan lagi seperti temu penyair nasional, dan launching buku sastra yang dulu dilakukan setiap bulan. Temu penyair nasional terakhir yang diadakan DKJ adalah Mimbar Penyair Abad 21 tahun 1996,” ujar Remmy yang telah berkecimpung di TIM sejak tahun 70-an.

Peran DKJ, menurut Remmy, kini diambilalih oleh Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin yang berada di bawah Dinas Perpusatakaan dan kearsipan (Dispusip). Sepanjang tahun 2023 PDS HB Jassin aktif memfasilitasi kegiatan sastra, baik peluncuran buku, diskusi maupun pementasan.

“Namun kita cemas jika PDS HB Jassin dikelola dengan pola perpustakaan pada umum di mana koleksinya dinilai berdasarkan keterbacaan. Jika suatu buku tidak ada yang membaca, maka akan disingkirkan. Jika pola ini terapkan kepada PDS HB Jassin maka tujuan sebagai pusat dokumentasi dan penelitian karya sastra akan hilang,” tegas Remmy.

Riri Satria memaparkan 8 langkah menuju Jakarta City of Literature yang sebenarnya. Foto: ist 

Pressure Group

Di tempat yang sama, Ketua Umum Jagat Sastra Milenia (JSM) Riri Satria menyarankan agar dibuat pressure group. Selain mengawal kebijakan pemerintah, pressure group juga dapat dijadikan alat tawar untuk menaikkan posisi sastrawan.

“Apakah sastrawan bukan profesi? Supaya negara mau mengalokasikan anggaran untuk sastrawan maka perlu dilakukan beberapa tindakan termasuk membentuk pressure group,” ujar Riri.

Komisaris utama pada salah satu BUMN itu menekankan pentingnya tata kelola yang baik, terkonsep – tidak sporadis, dan memiliki tujuan yang jelas agar Jakarta benar-benar menjadi Citty of Literature,

Penulis yang telah menerbitkan banyak buku itu lantas memaparkan 8 langkah yang harus dilakukan Jakarta, di antaranya, mengatur visi misi, dan blue print tata kelola literasi atau sastra melalui perda khusus. Kemudian membangun Infrastruktur perpustakaan konvensional dan digital serta menyediakan ruang-ruang kreatif, misalnya meniru Paris

“Mengakui sastrawan sebagai sebuah profesi melalui perda dan memberikan tunjangan dari APBD, Untuk itu perlunya membentuk asosiasi profesi sastrawan di Jakarta dan menjadi pressure group untuk para stakeholders sastra atau literasi di Jakarta,” tegas Riri.

 

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini