PojokTIM – Nada bicaranya pelan. Argumen yang disampaikan pun jernih dan runut. Tidak muncul kegarangan seperti ketika membacakan puisi-puisi mantranya di atas panggung. Itulah Sutardji Calzoum Bachri, yang pernah membuat geger panggung sastra Indonesia di era 70-an dengan kredo pembebasan kata dari makna.

“Kita jangan terlalu meributkan hal-hal remeh. Soto mahal, ribut. (Sewa) gedung pertunjukan mahal, ribut. Kapan kita mau berkarya,” nasehat Sutardji mengawali perbincangan dengan PojokTIM di pusat kuliner yang menempati selasar Gedung Trisno Soemardjo, Sabtu (22/6/2024). Beberapa seniman dan penggiat seni yang sedang menikmati makan siang atau sekedar mencercap kopi, menghampiri dan menyalaminya dengan penuh takzim.

“Ini untuk apa?” tanyanya setelah menyadari perbincangan itu direkam meski sebelumnya PojokTIM telah memperkenalkan diri dan meminta izin untuk merekam. Ketua Simpul Seni Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Imam Ma’arif lantas menjelaskan soal PojokTIM. Sutardji pun mengangguk dan melanjutkan perbincangan.

Berikut ringkasan perbincangan dengan sastrawan yang terkenal dengan buku kumpulan puisi O Amuk Kapak (1981).

Program pemberian bantuan kepada sastrawan oleh pemerintah melalui Badan Bahasa sedang menjadi perbincangan. Bagaimana pendapat Anda?

Pemerintah memberikan penghargaan kepada seniman, termasuk sastrawan, itu baik. Sebab seniman telah memberikan karyanya kepada negara, maka pemerintah memberikan penghargaan. Oleh karenanya pemberian itu hendaknya didasarkan pada prestasi sehingga semua seniman akan berlomba-lomba menciptakan karya terbaik.

Tapi jika bentuknya bantuan padahal seniman itu tak punya prestasi, jadinya seperti bansos (bantuan sosial). Seniman menerima bansos, saya kira kurang baik. Kesannya tangan pemerintah di atas, sementara tangan seniman berada di bawah. Lebih tidak baik lagi kalau senimannya sampai meminta-minta (kepada pemerintah).

Bagaimana dengan penghargaan?

Penghargaan masih bagus. Berarti harus ada pencapaian juga (yang menjadi dasar pemberian penghargaan). Termasuk pencapaian telah berkarya sekian tahun, sekian puluh tahun. Tidak perlu ditolak. Masa seniman menolak penghargaan. Sombong amat, sudah miskin menolak penghargaan. Apa artinya? Agar maksud baik pemerintah membantu seniman tidak berkesan bansos, hendaknya ada kriteria-kriteria, sesuai pencapaian prestasi tertentu. Dengan demikian maksud baik pemerintah tercapai, seniman pun tidak merasa tangan di bawah.


Jadi bagaimana bentuk kepedulian yang ideal dari pemerintah terhadap seniman?

Saya katakan tadi (dalam acara Diskusi Sastra), pemerintah memberikan apresiasi. Misalnya ada penyair yang mempunyai karya bagus, pemerintah harus memberikan apresiasi. Jangan melupakan pencapain yang sekarang, walaupun yang lama juga harus dihargai. Chairil Anwar dihargai. Taufiq Ismail, WS Rendra juga harus dihargai. Demikian juga yang lain.

Jangan terpaku pada kehebatan satu orang. Dia hebat di masanya. Tapi bukan segala-galanya. Tidak menganggap dia sebagai matahari dengan melupakan sinar-sinar lainnya. Supaya kita kaya. Semakin banyak seniman yang diakui dan diapresiasi, kita semakin kaya. Jika negara punya 200 penyair terbaik, itu akan lebih baik, daripada hanya satu penyair. Perancis punya banyak sastrawan. Demikian juga Rusia, Malaysia, dan negara lain.

Artinya tidak menjadikan satu orang sebagai mitos?

Mitos boleh, tapi harus diperbanyak sebagai bagian dari pencapaian. Jika suatu negara banyak pencapaiannya, maka akan banyak orang yang terkenal. Pasti akan ada nilai-nilai yang kemudian dimitoskan, seperti legenda.

Ada yang beranggapan, sastrawan besar lahir selalu berkelindan dengan peristiwa politik yang besar. Menurut Anda?

Pertama-tama, karena takdir. Jadi seseorang itu sudah ditakdirkan menjadi besar. Ada atau tidak situasi pendukungnya, dia akan tetap menjadi besar karena memang sudah menjadi ketentuan (Tuhan).

Kedua, bakat. Ada manusia yang memang memiliki bakat sejak lahir. Tetapi dalam bakat itu ada gradasinya. Misalnya diberi bakat sebagai pelukis, mungkin kelasnya tidak sampai (Pablo) Picasso. Agar bisa mencapai kelas Picasso atau bahkan melebihi, tidak bisa hanya mengandalkan bakat, tapi harus disertai belajar dan kerja keras.

Ketiga, situasi lingkungan. Kalau lingkungan yang baik mungkin mendorongnya menjadi pelukis yang baik. Kalau tadinya hanya pelukis kelas 6, tapi karena.lingkungannya baik, berpendidikan bagus, bisa jadi 6+, atau bahkan 7.

Seorang yang berbakat seperti Picasso, atau Affandi, yang tinggal di desa-desa, yang hanya main di sawah, tidak akan jadi apa-apa karena tidak ketemu jodohnya, tidak ketemu dengan lingkungannya. Tapi kalau dia main ke TIM, dan mulai corat-coret lalu diketahui orang lain dan banyak yang suka, maka dia bisa menjadi besar.

Apa ini yang Anda maksud dengan pentingnya kurator dalam seni?

Saya berbicara dalam konteks kegiatan seni di TIM. Untuk urusan administrasi, serahkan pada administrator. Tapi ketika akan ada pameran lukisan, kuratornya harus orang seni. Kuratornya bisa mencari pelukis-pelukis baru. Kalau menghadirkan pelukis-pelukis yang sudah terkenal, siapa saja bisa. Tetapi ketika ada lukisan baru, pelukis baru, butuh orang yang paham lukisan untuk menilai (kualitasnya). Jadi kurator di sini berfungsi, istilahnya, sebagai “penyicip selera” sebagaimana penyicip rasa pada bidang minuman dan makanan sebelum dijual di pasar.

Sutardji Calzoum Bachri bersama Fadli Zon saat menjadi pembicara dalam Diskusi Sastra 1 yang dipandu Ewith Bahar di PDS HB Jassin.

Seberapa besar peran situasi di luar diri seseorang dalam memicu keluarnya bakat?

Situasi memang berpengaruh, tapi bukan hanya situasi anarkhi. Situasi damai juga bisa menjadi ladang tumbuhnya seniman besar. Semua tergantung pada passion. Berapa besar gairah kamu melukis atau menulis. Berapa besar gairah untuk membuktikan diri bisa melebihi Chairil Anwar. Tidak perlu situasi damai, tidak perlu dilempar duit banyak-banyak, tak perlu bansos. Dan tak perlu juga situasi seperti di Palestina, perang terus. Selama ada inner drive, dorongan dari dalam, maka dia bisa berkarya dalam situasi apa pun.

Ada pesan untuk mereka yang sedang bergulat mencari jati diri?

Setialah pada dirimu. Tahan api gairah yang menyala untuk kreatif. Sehebat apa pun bakat kau, bakat kita, tapi jika tidak ada gairah lagi, takkan mencipta. Tidak ada motivasi dari dalam.

Contohnya kita dapat inspirasi, tapi malas untuk menulisnya karena tidak ada gairah. Dibiarkan hilang. Mungkin inspirasi yang dibiarkan hilang itu, jika ditulis akan menjadi puisi besar yang bermanfaat untuk orang lain.

Jadi, selalu menyalakan api gairah dalam diri, sangat penting. Ini bukan hanya untuk karya, tapi juga cinta, usaha, belajar, dan lain-lain. Kalau semangat belajar sudah tidak ada, walaupun punya otak cerdas, ekonomi kuat, dia tidak mau sekolah.

Jadi setialah pada dirimu dan selalu nyalakan api gairah.

 

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini