PojokTIM – Tidak kenal lelah demi puisi. Kalimat itu mungkin tepat untuk menggambarkan semangat Kunni Masrohanti dalam merawat, menggiatkan, dan menggelorakan puisi. Lihatlah, baru saja menjadi pembicara dalam bedah buku Nyulam Kata di Tanah Lada yang digelar di PDS HB Jassin, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Ketua Umum Penyair Perempuan Indonesia (PPI) itu langsung menjelajah ke tlatah Tengger di Malang Jawa Timur selama 3 hari bersama rombongan anggota PPI.

Setelah itu Kunni pulang ke Riau. Tidak lama setelahnya, pendiri Komunitas Seni Budaya Rumah Sunting, yang aktif melestarikan budaya dan lingkungan di Riau, sudah berada di Jakarta lagi guna menghadiri prosesi penetapan Hari Puisi Indonesia oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon.

“Dari Tengger pulang dulu ke Riau, baru ke TIM lagi tanggal 25 Juli,” ujar Kunni kepada PojokTIM.

Kunni Masrohanti dikenal melalui puisi-puisinya yang memiliki akar kuat pada tradisi Melayu. Karyanya sudah dipublikasikan di berbagai surat kabar, dan terangkum dalam sejumlah antologi seperti Riau Satu (2000), Musim Berganti (2001), Musim Bermula (2001), Kemilau Musim (2003), Sunting (2011), Perempuan Bulan (2016), hingga Anggrainim, Tugu dan Rindu (2018), Calung Penyukat (2019), Dan Perempuan yang Kau Telan Airmatanya (2021), dan lain-lain.

Kunni rajin menghadiri perhelatan sastra dalam maupun luar negeri seperti Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia (Munsi) II di Jakarta dan Pertemuan Penyair Nusantara XI di Kudus yang dihadiri oleh sastrawan enam negara Melayu serumpun yakni Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Brunei Darussalam dan Timor Leste.

Berbagai penghargaan dan prestasi telah diraih, di antaranya Anugerah Sagang (2012) untuk kategori Karya Non Buku dan Kategori Komunitas Terbaik (2016), Anugerah Pemangku Seni Tradisional dari Gubernur Riau (2014), Anugerah Baiduri dari PRBF Fondation (2014) untuk Kategori Sastrawati, serta Juara 1 Lomba Baca Puisi Peksiminas (1999).

Kunni juga dikenal sebagai aktivis lingkungan, jurnalis dan penulis naskah teater seperti Peri Bunian (2012), Jalang (2015), dan Semah Tanah (2023). Namanya pun tercatat dalam buku Apa & Siapa Penyair Indonesia terbitan Yayasan Hari Puisi, 2017.

Berikut wawancara PojokTIM dengan Kunni Masrohanti yang dilakukan dalam 3 sesi: langsung, diambil dari materi diskusi dan chat melalui aplikasi WhatsApp.

Riau telah melahirkan banyak sastrawan besar. Perjuangan untuk bisa eksis bagi seniman muda di Riau, apalagi di kancah nasional, tentu sangat berat, namun Anda mampu menaklukkan. Apa rahasianya?

Apa ya rahasianya. Yang penting berkomitmen. Komitmen berarti penuh dengan cinta, tidak berpaling, tidak mengeluh dengan tantangan yang hadir. Teguh, kuat dan bersungguh-sungguh bergerak untuk kemajuan sastra dan budaya Indonesia. Dan, puisi adalah jalan yang saya pilih untuk bergerak dan berkontribusi kepada negeri.

Anda sangat aktif dalam membangun komumnitas. Apa arti komunitas bagi Anda?  

Komunitas bukan hanya tempat berkumpul, tapi juga tempat pulang untuk mewujudkan mimpi secara bersama-sama, tempat berkawan dan bersaudara, tempat merawat melestarikan nilai-nilai luhur bangsa dan tempat berkarya berkreatifitas.

Itu juga alasan ketika Anda mendirikan PPI?

Perempuan dan laki-laki memiliki hak, kesempatan, dan perlakuan yang sama dalam berbagai aspek kehidupan. Ini termasuk hak-hak politik, ekonomi, sosial, dan budaya, serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan. Kesetaraan gender bukan berarti menyamakan peran laki-laki dan perempuan, tetapi memastikan bahwa setiap individu, tanpa memandang jenis kelamin, memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensi diri dan berkontribusi pada masyarakat.

Penyair Perempuan Indonesia adalah rumah tempat pulang bagi mereka yang memiliki ide, gagasan, pandangan dan harapan yang sama, kolaboratif, inklusif, kreatif, inovatif dan inspiratif. Rumah dari sekian banyak rumah. Sejak 2018, PPI selalu mencari jalan yang patut dan bisa diterima banyak penyair perempuan. Bukan hanya perempuan penyair tapi siapa saja yang menuliskan banyak hal tentang perempun dan tradisi, kearifan lokal yang melekat pada diri perempuan

Apa motivasinya?

Keinginan terbesarnya agar perempuan-perempuan penyair turut ambil bagian dalam upaya pemajuan kebudayaan di Indonesia dengan jalan puisi serta berperan aktif dalam menggali potensi diri sehingga benar-benar dalam posisi yang tepat, diperhitungkan, berkontribusi dengan baik di dunia kepenyairan di Indonesia

Bisa dijelaskan tentang Pulang ke Kampung Trdaisi (PKT) yang menjadi salah satu program PPI?

Bermula dari keberagaman budaya yang menjadi kekayaan Bangsa Indonesia tapi memperkuat identitas dan persatuan. Maka, semua kampung adalah kampung bersama. Nah, ketika Pulang ke Kampuing Tradisi kami menuliskan apa yang dijumpai, yang dirasakan ke dalam puisi menurut cara pandang, bahkan sesuai bahasa ibunya sendiri, sebagai bagian dari cara kami berkontribusi pada negeri.

PPI telah melahirkan beberapa buku puisi hasil dari perjalanan Pulang ke Kampung Tradisi, yakni Temanten (2020) PKT Garut, Jawa Barat; Umbul Pasiraman (2022) PKT Yogyakarta; Ajari Aku Baduy (2023) PKT ke Kampung Baduy, Banten; dan Nyulam Kata di Tanah Lada (2024) PKT Lampung-Tubaba. Di awal berdiri, PPI melahirkan buku pertama dengan judul Palung Tradisi (2019)

Apa keistimewaan puisi hasil PKT?

Penyair Perempuan Indonesia telah memilih puisi sebagai jalan pulang. Sebab sejauh-jauhnya pergi, setinggi-tingginya naik gunung, pulang adalah kata terakhir. Termasuk jalan pulang untuk menyampaikan pesan. Oleh karenanya, puisi-puisi yang lahir dari PKT berdasarkan riset. Namun yang kita gali bukan ketradisiannya, melainkan nilai-nilai luhur yang ada dalam tradisi. Hal itulah yang menjadi akar dan landasan dalam berkarya.

Jauh sebelum PKT dilaksanakan, perbincangan terkait kampung yang akan dikunjungi terus bergulir. Cara menggali sumber inspirasi yang berakar pada tradisi dan perempuan di kampung tersebut juga terus dibahas. Kami percaya setiap perjalanan ada pelajaran. Berusaha belajar menjadi lebih baik agar karya yang dihasilkan semakin berkualitas, bermanfaat bagi masyarakat. Pulang ke Kampung Tradisi bukan pulang biasa. Pulang dengan bahagia, dengan karya yang  yang istimewa.

Mengikuti amanat UU Pemajuan Kebudaayaaan, ada wacana Dewan Kesenian diubah menjadi Dewan kebudayaan. Pendapat Anda?

Itu dua hal berbeda, antara Dewan Kebudayaan dengan Dewan Kesenian. Memang seni hanyalah 1 dari 10 objek di dalam UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Itu artinya kebudayaan memiliki cakupan sangat luas. Oleh karenanya seni harus diurus sendiri. Dewan Kesenian harus tetap ada. Kalau mau ada Dewan Kebudayaan ya monggo, tanpa perlu menggusur Dewan Kesenian. Menurutku, seni berkaitan dengan orang hidup. Kesejahteraan, kreatiftas, kualitas, ruang kreatif tempat berkarya, semunya berhubungan dengan orang. Beda dengan objek lain dalam UU Pemajuan kebudayaan. Msalnya bahasa, ya hanya bahasa. Manuskrip itu barang mati. Pengetahuan tradisional, kita hanya bisa melestarikan.

Bagaimana Anda melihat pertemuan-pertemuan sastra serumpun?

Pertemuan antar penggiat sastra dan kebudayaan Melayu di kawasan Asean sudah ada sejak dulu, bukan hanya sekarang. Menurut aku, pertemuan semacam itu baik-baik saja. Namun apakah bermanfaat atau tidak, tergantung apa yang menjadi porosnya, tujuannya.

Kalau tujuannya pemajuan kesusasteraan Asean, itu bagus. Kita bicara hal-hal yang terkait sastra serumpun. Sebab sastra bukan hanya wadah, tapi juga sebagai tali pengikat, penguat sastra dari puak masing-masing. Indonesia ya Indonesia, demikian juga dengan yang berasal dari Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam dan negara lain di Asia Tenggara. Tetapi ketika bicara sastra serumpun, kami ini sama meski ada bedanya, dan beda tapi pasti ada samanya.

Bagaimana pandangan Anda tentang TIM?

Aku hadir di situasi TIM lama dan situasi TIM saat ini. Dulu para seniman lebih menyatu, lebih alami, lebih karib. Banyak pojok-pojok yang membuat kita merasa lebih mesra, lebih dekat dengan sesama seniman. Nah, pojok-pojok itu yang sekarang hilang, berganti dengan bangunan berbeda.

Tetapi semakin ke sini, hal-hal yang sempat kita takutkan, bahwa TIM akan berubah, berganti wajah atau face off, mulai menipis. Kegiatan kesenian tetap berjalan dan ramai. Bahwa suasananya berubah, itu tidak bsia dihindari seiring perkembangan zaman. Bukankah perubahan itu sebuah keniscayaan?

Soal kreatifitas, kembali kepada diri kita masing-masing. Gedung ini berubah atau tidak, kalau karya-karya kita bagus, tidak akan terpengaruh. Atau sebaliknya, meski TIM tetap seperti dulu, namun kitanya kendor (dalam berkarya) tidak ada gunanya juga. Intinya, kita mau bikin TIM lebih maju atau tidak, terpulang kepada kita. Meski aku jauh, tidak setiap saat ada sini, tetapi aku selalu menyimak perkembangan yang terjadi di TIM.

 

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini