PojokTIM – Keinginan PojokTIM mewawancarai Nia Samsihono akhirnya terwujud meski secara tertulis. Pertanyaan yang dikirim PojokTIM langsung mendapat jawaban tidak sampai 2 jam. Benar-benar surprise. Bagi Nia, menulis bukan sekedar pelampiasan unek-unek agar “didengar” orang lain.

“Saya percaya, menjadi penulis adalah bentuk ziarah intelektual dan spiritual. Menulis bukan hanya untuk didengar, tapi juga untuk mendengarkan: kepada diri sendiri, sesama, dan zaman. Maka selama saya masih bisa menulis dan berbagi, saya akan terus merawat kata sebagai jembatan kemanusiaan,” ujar Nia Samsihono, Senin (21/7/2025).

Nia Samsihono sudah aktif di kesenian sejak masih menjadi mahasiswa Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Diponegoro Semarang. Ketika itu Nia bergabung dalam Teater Emper Kampus di Fakultas Sastra, Teater Kelas Universitas Diponegoro, dan anggota grup paduan suara.

Saat masih mahasiswa, karya puisinya sudah dimuat di Harian Suara Merdeka. Selesai kuliah, Nia sempat bekerja sebagai reporter di Koran Prioritas, kemudian pindah ke Penerbit Mutiara Sumber Widya, dan akhirnya memilih berkarier sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sampai pensiun. Di lembaga itu Nia bersama beberapa koleganya merintis kegiatan Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia (Munsi) yang kemudian menjadi program tiga tahunan.

Di tengah kesibukannya, Nia menyelesaikan pendidikan Magister Humaniora di Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Indonesia Jakarta.

Karya-karyanya sudah dimuat di berbagai media massa, dan terhimpun dalam sejumlah buku, di antaranya Merenung Pembangunan (Universitas Kristen Satya Wacana, 2009), Indonesia Memahami Khalil Gibran (Editor Eka Budianta, Badan Pelestari Pustaka Indonesia, 2011), Sejumlah Kritik (Bambang Sadono, Citra Almamater, 2012), Profil Perempuan Pengarang dan Penulis Indonesia (Kosakata Kita, Jakarta 2012), Jula-Juli Jakarta (Antologi Puisi Esai, 2013), Antologi Perempuan Langit 1, Perempuan Langit 2 (2014). Nia merupakan salah satu anggota Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

Kemampuannya di kancah kesusastraan menjadikan dirinya sering diundang di berbagai seminar dan diskusi antara lain di Singapura, Kuala Lumpur, Malaysia, Bangkok, Filipina, dan Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam.

Berikut wawancara PojokTIm selengkapnya dengan Nia Samsihono.

Apa kesibukan Anda saat ini?

Saat ini saya masih menulis, membaca, dan menghadiri berbagai kegiatan sastra, baik secara langsung maupun daring. Selain itu, saya juga aktif dalam organisasi kepenulisan, terutama di lingkungan Satupena Jakarta. Saya percaya bahwa menjadi penulis berarti juga menjadi bagian dari masyarakat literasi yang hidup dan terus bergerak. Saya aktif menulis di FB Satupenadkijakarta dan IG satupenadki. Berharap teman-teman DKI mengisi juga 2 medsos itu.

Masih sering mengikuti diskusi dan kegiatan pembacaan puisi?

Ya, tentu. Diskusi sastra dan pembacaan puisi tetap menjadi ruang yang penting bagi saya. Di sana saya bisa menyimak suara-suara baru, merasakan denyut zaman dari metafora-metafora dari generasi muda, sekaligus mengasah diri agar tetap relevan dan terbuka terhadap pembaruan.

Bagaimana perkembangan sastra saat ini?

Sastra Indonesia saat ini sangat dinamis. Di satu sisi, teknologi membuka ruang luas bagi siapa pun untuk menulis dan memublikasikan karya. Di sisi lain, tantangannya adalah bagaimana menjaga kualitas dan kedalaman. Ada banyak potensi luar biasa dari penulis muda, dan mereka perlu mendapat ruang dan bimbingan agar bisa tumbuh kuat secara estetik maupun etis.

Apa kabar Munsi yang pernah Anda rintis?

MUNSI (Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia) adalah forum penting yang pernah saya ikut rintis bersama rekan-rekan sastrawan lintas generasi dan daerah. Kegiatan itu rencananya diadakan 2 tahun sekali. Tujuannya agar para sastrawan dapat terus bersilaturahmi dengan menginformasikan karya-karya yang dihasilkan selama dua tahun berselang. Digabung sastrawan senior dan yunior agar dapat saling bertukar wawasan.

Saya mendampingi MUNSI dengan biaya APBN selama 2 kali di Hotel Mercure Ancol dan Hotel Bidakara Pancoran. Ketika itu diundang sastrawan dari setiap provinsi terwakilkan 5 orang. Tujuannya agar derap sastra ada dan berkembang di setiap provinsi. Tentu saja saya undang saatrawan senior Indonesia yang sudah terkenal dan tidak mewakili provinsi tapi mewakili Indonesia.

Seharusnya  kegiatan ini diteruskan agar semangat dan adanya jaringan yang telah dibangun tetap terjaga. Sekali dua tahun para sastrawan dari perwakilan provinsi bisa berdiskusi tentang perkembangan sastra. Saya berharap akan ada regenerasi yang meneruskan semangat persatuan sastrawan dari berbagai wilayah itu, dengan perhatian pada keragaman bahasa dan perspektif.

Berapa banyak bahasa daerah yang Anda kuasai?

Saya tidak bisa mengklaim menguasai banyak bahasa daerah, tetapi saya sangat menghargai keberadaannya. Setiap bahasa daerah membawa dunia yang khas, dan sebagai penulis, saya sering meminjam diksi atau nuansa dari bahasa daerah, terutama bahasa Sunda dan Jawa, yang memang akrab dalam kehidupan saya. Saya fasih berbahasa Jawa Solo dan Banyumasan.

Apakah KBBI mengalami perubahan secara rutin?

Ya, KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) mengalami pembaruan secara berkala. Setiap tahun KBBI itu tertinggal oleh perkembangan kata yang selama ini digunakan masyarakat. Perubahan yang dimaksud adalah penambahan kata di dalam kamus.  Ini penting untuk menjaga agar kamus tetap mencerminkan perkembangan dan pemakaian bahasa Indonesia yang hidup. Biasanya kami dulu zaman Prof. Anton M. Moeliono, Pusat Bahasa (sekarang Badan Bahasa) merevisi kamus edisi cetak 5 tahun sekali. Kini, KBBI daring bisa diperbarui secara lebih fleksibel dibanding edisi cetaknya.

Bagaimana proses pemilihan lema, misal dari bahasa daerah, bisa masuk dalam KBBI?

Lema dari bahasa daerah bisa masuk ke KBBI jika sudah mengalami proses adaptasi dan pemakaian luas dalam bahasa Indonesia, baik melalui media, karya sastra, atau percakapan sehari-hari. Badan Bahasa juga melakukan penelitian dan kajian lapangan untuk memastikan bahwa sebuah kata layak menjadi bagian dari khazanah bahasa nasional.

Badan Bahasa mempunyai UPT di setiap provinsi berupa Balai dan Kantor Bahasa. Para staf di setiap provinsi memilih kata daerah yang sering digunakan dan menjadi biasa digunakan masyarakat, sehingga dapat diambil untuk digunakan sebagai kata dalam bahasa Indonesia. Misalnya kata barongko dari Makassar (makanan) atau palum’ diambil dari bahasa Batak Pakpak: ‘puas minum’; ‘hilang haus’, kondisi ketika kita merasa segar setelah minum. Banyak bahasa daerah yang dapat kita gunakan dalam bahasa Indonesia, jika bahasa Indonesia tidak memiliki kata tersebut.

Apakah kehadiran bahasa slang dapat mempengaruhi ketahanan bahasa suatu negara?

Slang atau bahasa gaul adalah bagian dari dinamika bahasa. Ia bisa memperkaya, tetapi jika digunakan secara berlebihan tanpa pemahaman konteks, bisa mengaburkan struktur dan makna baku. Tantangannya adalah menjaga keseimbangan: memberi ruang bagi kreativitas berbahasa, sambil tetap memperkuat kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahasa slang tidak digunakan dalam bahasa Indonesia di situasi resmi.

Anda sangat rajin berorganisasi. Apa makna organisasi bagi Anda?

Bagi saya, organisasi adalah ruang untuk belajar bersama, membangun solidaritas, dan memperluas dampak. Menulis adalah kegiatan personal, tetapi dalam organisasi, kita belajar mengelola waktu, gagasan, dan perbedaan. Organisasi membuat kita tidak hanya sibuk dengan karya sendiri, tetapi juga peduli terhadap pertumbuhan bersama.

Apa saja program Satupena Jakarta?

Satupena Jakarta mendukung berbagai kegiatan literasi, seperti peluncuran buku, diskusi, workshop, serta program rutin seperti Ngobrol Sastra dan Forum Penulis Muda. Kami berusaha membangun ekosistem kepenulisan yang inklusif dan berkelanjutan di tengah kota yang sibuk ini. Intinya mengajak anggota untuk terus membaca dan menulis. Itu tugas utama penulis.

Kapan Anda pertama berkegiatan di Taman Ismail Marzuki (TIM)?

Saya pertama kali berkegiatan di TIM sekitar awal 2000-an, saat mengikuti acara sastra dan kemudian menjadi pembaca puisi. TIM adalah ruang sakral bagi banyak seniman, dan saya merasa tersambung dengan sejarah panjangnya. Di sana, saya belajar tentang keberanian menyuarakan gagasan lewat seni. Jika kapan pastinya, sejak mahasiswa 1978-an saya sering berkunjung di TIM kuno. Nonton film, makan soto, makan tahu goreng, lihat bintang, dan ke perpustakaan HB Jassin.

Bagaimana pandangan Anda tentang TIM yang sekarang?

TIM yang sekarang mengalami banyak perubahan, baik dari segi fisik maupun manajerial. Modernisasi tentu penting, tetapi saya berharap semangat egaliter dan kebebasan berekspresi yang dulu tumbuh di TIM tetap dipertahankan. Ruang seni tidak hanya soal bangunan, tetapi juga soal suasana dan keterbukaan terhadap keragaman suara.

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini