PojokTIM – Di tengah kesibukan dan kelelahan usai acara Hari Puisi Indonesia, Willy Ana tetap menyempatkan diri menjawab wawancara tertulis yang dikirim PojokTIM.  Janji seminggu pun hanya ditunaikan dalam sehari.

“Tuh, sehari doang, sudah jadi. Nggak sampai seminggu. Padahal badan masih remuk-redam,” ujar Willy Ana melalui aplikasi perpesanan WhatsApp, Rabu (30/7/2025).

Willy Ana lahir di Bengkulu dan kini tinggal di Depok, Jawa Barat. Puisi-puisinya sudah dimuat di sejumlah media seperti Kompas, Tempo, Indopos, Riau Pos, Amanah dan lain-lain. Willy Ana juga telah menerbitkan 3 buku antologi puisi tunggal yakni Aku Berhak Bahagia (2016), Tabot: Aku Bengkulu (2016) dan Petuah Kampung (2017).

Sementara untuk antologi bersama, puisi-puisi Willy Ana tergabung dalam Antologi Puisi Kopi 1550 Mdpl (2016),  6,5 SR Luka Pidie Jaya (2017), Nyanyian Puisi untuk Ane Matahari (2017), Seutas Tali & Segelas Anggur (antologi puisi dan cerpen pemenang dan nomine Anugerah Sastra Litera 2017),  Ziarah Sunyi (2017), Jejak Kata (2017), dan Monolog di Penjara (antologi puisi dan cerpen pemenang dan nomine Anugerah Sastra Litera 2018).

Di samping bergiat di sejumlah komunitas, Willy Ana dikenal sebagai inisiator Festival Sastra Bengkulu, Ketua Komunitas Sastra Margonda, penggagas sekaligus Ketua Festival Sastra Bengkulu, penggerak Komunitas Imaji Indonesia, Wakil Sekretaris Yayasan Hari Puisi dan kini sibuk mengelola Penerbit Imaji dan website willyana.my.id

“Mencatat agar tak lewat,” ujar pemenang Anugerah Sastra Litera 2018 kategori Puisi itu, menyebut tagline website yang dikelolanya.

Kiprah Willy Ana, penerima penghargaan Pemuda Inspirasi Bengkulu bidang Sastra tahun 2019, semakin bertambah dengan menjadi juri berbagai lomba baca puisi dan cipta puisi, termasuk juri FLSN (Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional) dan narasumber sejumlah acara sastra.

Berikut wawancara PojokTIM dengan Willy Ana selengkapnya.

Anda sangat sibuk dalam kegiatan seni, khususnya sastra, dan juga mengelola website. Masih sempat menulis puisi dan cerpen?

Alhamdulillah hingga saat ini aku masih menulis puisi karena bagiku puisi adalah jiwaku selain kegiatan sastra yang lain. Kalau untuk cerpen, aku baru coba bikin untuk diri sendiri, belum berani untuk di-publish. Sebab fokus dan konsen aku di puisi. Aku harus lebih dulu paham pakem, diksi, metafora, kontemplasi, dan lain-lain, baru nantinya merambah ke cerpen atau yang lain.

Ada tema atau genre khusus dalam karya Anda?

Iya, pastinya. Karya-karyaku cenderung mengangkat budaya lokal dari asal kelahiranku yaitu Kedurang, Bengkulu Selatan.

Kapan rencana menerbitkan buku baru?

Aku sudah punya beberapa puisi baru, cuman untuk saat ini aku keep dulu. Ketika nanti hatiku sudah tergerak untuk mempublikasikan, mungkin akan aku kirim ke penerbit. Semoga Allah merestui dan memberikan energi agar aku bisa mewujudkan impian menerbitkan antalogi puisi yang ke-4. InsyaAllah, harapan itu masih terus menyala.

 Apa kabar Komunitas Imaji Indonesia?

Saat ini bisa dibilang vakum. Iya, seperti mesin, ketika sedang lelah, tentunya beristirahat agar suatu hari kelak bisa beroperasi lagi dengan kekuatan dan ide-ide yang maksimal dan brilian. Tentunya ini harapan yang selalu dilangitkan.

Karena Imaji adalah wadah berkarya yang potensial. Sudah menerbitkan puluhan karya sastra dari teman-teman dan menggelar even-even sastra setaraf internasional, menerbitkan majalah sastra imaji, membuat blog imaji, juga kegiatan kemanusiaan lainnya. Jadi sayang jika dinonaktifkan. Hanya saja, untuk sementara hening dulu.

Sebagai penggiat aktif, apa arti komunitas bagi Anda?

Komunitas bagi aku adalah wadah atau tempat sharing segala hal. Bukan hanya tentang karya. Tetapi tentang segala hal. Tentang attitude, tentang kesetiakawanan, tentang kesabaran, temtang kepercayaan dan lain-lain. Komunitas tempat kita belajar menjadi dewasa dan bijak.

Willy Ana saat menjadi MC pada acara Persatuan Keluarga Jurai Kedurang di Taman Mini Indonesia Indah. Foto: Ist

Sepertinya Anda masih terikat kuat dengan tradisi Bengkulu. Punya obsesi tertentu?

Tentunya. Karena aku lahir dan besar dengan keluhuran budaya dan attitude tanah kelahiranku. Aku anak dari seorang petuah adat. Dari kecil hingga saat ini budaya itu melekat kuat dan sudah menjadi jati diriku sebagai anak Bengkulu. Itu sebabnya jiwaku adalah keluhuran budi dan keluhuran budaya yang sejak dalam kandungan ibuku sudah tertanam. Sampai kapan pun dan di mana pun aku berada jiwa keluhuran itu akan tetap menyertaiku.

Mungkin bukan ke obsesi, tapi lebih ke harapan dan keinginanku untuk merawat tradisi dan budaya tanah kelahiran lewat karya-karyaku agar tetap terjaga dan diingat oleh generasi berikutnya. Terutama putra-putri Kedurang, Bengkulu Selatan itu sendiri. Tidak hilang digerus zaman.

Bagaimana perkembangan sastra di Bengkulu?

Perkembangan sastra di Bengkulu terus meningkat. Itu terbukti dengan beberapa kegiatan yang digelar oleh teman-teman seniman Bengkulu. Antusias mereka dalam berkarya dan mengangkat budaya Bengkulu cukup diperhitungkan. Meskipun komunitas-komunitas mereka bergerak tanpa terkait dengan Festival Sastra Bengkulu. Tapi aku rasa atmosfer dan spirit dari Festival Sastra Bengkulu cukup membakar semangat mereka untuk terus berkreativitas.

Selain Bunga Raflesia dan Tabot, adakah budaya Bengkulu yang menjadi ikon daerah maupun nasional?

Tentunya ada. Antara lain Benteng Marlborough yang merupakan benteng peninggalan Inggris yang menjadi salah satu benteng terkuat di wilayah timur pada masanya. Lalu, Rumah Pengasingan Bung Karno yang merupakan tempat Bung Karno diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Tempat ini menjadi simbol perjuangan kemerdekaan Indonesia dan daya tarik wisata sejarah.

Ada juga Pantai Panjang yang terkenal dengan keindahan alamnya dan menjadi salah satu ikon pariwisata Bengkulu. Tugu Pers yang dibangun untuk memperingati Hari Pers Nasional yang pernah dilaksanakan di Bengkulu. Tugu ini memiliki desain unik yang menggambarkan bunga Rafflesia dan pena.  Demkian juga Pulau Tikus, pulau kecil yang menjadi salah satu destinasi wisata bahari di Bengkulu.

Bengkulu terkenal sebagai penghasil Lada Hitam terbaik di Indonesia dan menjadi salah satu komoditas unggulan yang diekspor ke berbagai negara. Bengkulu juga memiliki Kopi Robusta, Aksara Rejang yang merupakan aksara tradisional yang digunakan oleh masyarakat Rejang di Bengkulu dan Batik Basurek.

Kementerian Kebudayaan baru saja menetapkan tanggal 26 Juli sebagai Hari Puisi Indonesia. Sebagai penyair, apa harapan Anda?

Aku berharap puisi atau pun kesusateraan Indonesia  lebih bermartabat. Lebih dikenal oleh berbagai kalangan. Lebih punya tempat di seluruh lapisan masyarakat karena puisi milik kita bersama.

Sejak kapan berkegiatan di Taman Ismail Marzuki, dan apa yang paling berkesan?

Awal mula aku berkegiatan dan menginjakkan kaki di TIM di tahun 2016. Saat itu aku menjadi salah satu panitia perayaan Hari Puisi Indonesia. Di tahun 2016 itulah Hari Puisi Indonesia yang diselenggarakan oleh Yayasan Hari Puisi dihadiri oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Tentunya hal ini sangat berkesan bagiku dan tidak akan pernah aku lupakan. Karena ini pengalaman pertama. Aku ikut berorganisasi bersama teman-teman penyair atau pun sastrawan kawakan. Dan ini juga awal mula aku terjun dan berkarya, menetaskan diksi-diksi dan bermetafora dengan kata-kata hingga jadilah Willy Ana yang sekarang.

Namun sayangnya TIM yang sekarang lebih komersial. Ruh senimannya hilang.

 

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini