PojokTIM –Mogan Pasaribu, pendiri sekaligus owner grup musik Horja Bius, cukup bersemangat menceritakan rencana keberangkatannya ke Australia untuk memenuhi undangan tampil di Section 8 Melbourne yang dikenal karena suasana komunitasnya yang kuat dan sering menjadi tempat berbagai acara seni dan musik. Sejak siang Mogan mengawasi personel Horja Bius berlatih di Lantai 2 Gedung Trisno Sumardjo, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat.

“Kami sedang persiapan untuk memenuhi undangan dari Komunitas Tapanuli Melbourne. Rencananya kami tampil di Section 8 Melbourne, Agustus mendatang,” ujar Mogan, yang juga vokalis Horja Bius, Selasa (24/6/2025) sore.

Horja Bius adalah grup world music yang konsisten mengangkat mitologi dan ritus masyarakat Batak Toba. Sejak berdiri tahun 2013, Horja Bius telah melakukan pementasan di sejumlah kota besar di dunia seperti Rotterdam, Amsterdam dan Den Haag di Belanda, Berlin (Jerman), Stockholm (Swedia), Brussels (Belgia), Bastille (Perancis), Sevilla dan Granada (Spanyol). Horja Bius juga sering berkolaborasi dengan musisi dunia di antaranya Israel Varela.

Tidak hanya tampil di panggung-panggung besar, Hoja Bius juga tak sungkan tampil di panggung charity seperti saat menggung untuk program bantuan bagi keluarga Ismail Marzuki. Mogan dan kawan-kawan tetap serius namun enjoy memainkan nomor demi nomor musik ciptaannya di depan penonton yang beragam.

“Di samping melestarikan cerita-cerita Batak, Horja Bius juga konsisten menyuarakan persoalan sosial seperti pada lagu Haminjon (kemenyan). Lagu ini bercerita tentang hutan adat di tanah Batak yang memproduksi getah haminjon. Sekarang hutan itu hampir punah karena dijadikan perkebunan untuk industri pulp. Melalui Haminjon, Horja Bius mengabarkan semangat dan perjuangan masyarakat Batak dalam mempertahanan hutan agar kebudayaan di dalamnya tetap terjaga,” kata Mogan.

Alat musik yang dimainkan Horja Bius terdiri dari taganing (kendang), hasapi (kecapi), sulim (suling), sarune/sarunai, garantung (kulintang), gong, serta yang modern gitar dan bass. Selain isu sosial dan lingkungan, lagu-lagu Horja Bius juga mengangkat folklor dan mantra-mantra Batak.

Untuk memahami Horja Bius dan kiprahnya, berikut wawancara  PojokTIM dengan Mogan Pasaribu.

Apa yang akan ditampilkan Horja Bius di Section 8 Melbourne?

Aku sedang menggarap kolaborasi dari berbagai unsur seni yakni musik, sastra, visual, gerak tubuh, seni rupa, batik, dan rajah. Aku mengangkat tema Gorga, motif Batak asli. Jadi Gorga dalam bunyi, mantra, gerak, visual, batik dan rajah. Ini adalah pertunjukan kolaborasi musik. Sebelumnya Horja Bius juga sudah melakukan kolaborasi dengan seni lain, termasuk orkestra.

Pertunjukan yang akan kami pentaskan di Melbourne merupakan inovasi dengan harapan dapat mengangkat seni tradisi dari 5 angle. Bahwa Gorga dapat dimaknai dari banyak seni, termasuk sastra di mana Horja Bius akan menggandeng penyair Octavianus Masheka. Juga ditampilkan seni membatik di atas kain dengan menggunakan canting, tapi motifnya tetap Gorga termasuk warna khasnya. Ada juga adegan merajah. Pertunjukan tetap didominasi oleh musik, tapi dipadu dengan 5 unsur.

Kapan Horja Bius mengeluarkan album baru?

Yang dibawa ke Australia merupakan album baru, album ke empat Horja Bius. Jadi belum pernah dipentaskan. Aku juga sudah menyiapkan album kelima dan keenam.

Secara umum, bagaimana perkembangan world music di Indonesia?

Memprihatinkan, banyak yang nyaris punah. Makanya aku berusaha melibatkan anak-anak muda dalam proses penciptaan. Aku berusaha menanamkan pemahaman kepada mereka, bahwa bermain musik tradisi tidak akan sia-sia. Punya masa depan menarik. Contohnya seperti diundang ke Australia. Kita dihargai. Kalau tetap bermain di musik pop (mungkin) tidak kedengaran karena sudah sesak.

Hanya saja, harus diakui, ruang ekspresi yang tersedia untuk musik etnik atau tradisi sangat sempit. Pementasan world music seringkali diinisiasi oleh pelakunya sendiri. Beda dengan musik lain, misal pop. Ruang-ruangnya cukup banyak, dari televisi, industri, sampai kafe-kafe. Itu kondisi kita sekarang. Jadi agak susah. Aku berharap pemerintah mengambil peran lebih besar dalam memajukan musik etnik Indonesia.

Mengapa musik etnik yang sudah dilakukan pembaruan, atau diaransemen ulang, masih sulit diterima di kafe?

Ada ketidakpercayaan terhadap tradisi. Kita tidak pernah berjarak dengan obyek sehingga merasa tidak ada yang istimewa dari tradisi. Tidak ada orang mau membeli tiket nonton (pertunjukan) musik tradisi. Pada saat ada pesta sunatan, atau kawinan pun, musik tradisi hanya dijadikan back sound.

Itu salah satu ancaman kepunahan seni musik tradisi. Daya tonton tidak ada, di samping musisinya tidak memberikan hal-hal baru supaya menarik untuk ditonton. Mestinya mereka lebih berani bikin world music yang lebih kekinian. Sebab kita tidak mungkin kembali ke masa lampau.

Bagaimana dengan seni tradisi yang umumnya bagian dari ritual sehingga ada pantangan untuk diutak-atik?

Itu terkait pakemnya. Nah, pakem hanya berguna pada sisi ritual tradisi. Pakem akan berguna bagi akademisi, untuk pembelajaran. Sementara bagi musisi generasi baru, mestinya membuat karya dengan pakem-pakem itu dan mendaur-ulang baik bunyi maupun narasinya, menjadi kekinian. itu tugas yang mestinya dilakukan jika seni tradisi ingin survive di zaman sekarang. Jika hanya pelestarian pakem, pasti punah. Tinggal tunggu waktu. Banyak repertoar yang tidak dipakai lagi. Sebab tidak ada lagi fungsi sosialnya di masyarakat. Banyak contohnya. Ketoprak dulu menjadi hiburan masyarakat, namun sekarang ditinggal karena sudah banyak alternatif hiburan.

Bagaimana cara menyelamatkannya, ya dengan karya baru tadi, agar anak-anak sekarang mau menonton. Jadi yang aku lakukan adalah bagian dari pengembangan. Sementara tugas pelestarian, ada di pihak lain, termasuk kalangan akademisi.

Bagaimana cara Anda meyakinkan anak-anak muda agar mau bergabung?

Memang agak sulit meyakinkan mereka. tetapi kita harus  percaya pada anak muda sanggup dan mampu. Tapi kita yang tua-tua harus memberikan contoh, setia dan konsisten pada yang kita kerjakan. Menggali ide untuk produk-produk baru. Seperti Horja Bius, baru masuk album keempat, namun sudah punya 2 rancangan album ke depan. Artinya kerja tidak boleh berhenti, harus terus melakukan produksi.

TIM masih cukup representatif untuk konser world music?

Tidak terlalu, karena (pengelola TIM) kurang memberi perhatian ke arah itu. Namun masalah ini tidak hanya terjadi di TIM, bahkan di TIM sedikit lebih baik jika dibandingkan dengan masalah serupa di seluruh Indonesia. Aku pikir ini juga masalah yang harus dicarikan jalan keluarnya secara bersama-sama.

Apakah ada even musik etnik di Jakarta?

Ada satu, punya Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Even tahunan. Paling banyak 2 grup yang bisa tampil. Kondisi ini menghambat grup-grup yang sedang tumbuh. Mestinya diperbanyak festival musik-musik etnik. Masa mereka disuruh eksplore terus, tapi tidak pernah pentas? Saat IMEX musik tradisional digelar di Bali, yang mendaftar sampai 125 kelompok. Sayangnya IMEX juga hanya digelar setahun sekali. Aku bayangkan, jika tidak ada yang peduli, dalam 2 tahun grup-grup itu akan rontok. Mungkin tersisa 20 grup.

Mestinya diperbanyak festival seperti itu sehingga memberi kesempatan grup-grup musik etnik lebih sering pentas.

Apa yang membuat Anda begitu intens mencintai musik etnik?

Awalnya tentu melalui proses pencarian yang panjang, mencari yang pas dengan jiwaku. Aku pernah bikin kelompok musik tekno, regge, sampai akhirnya aku merasa harus kembali ke akarku. Beruntung aku ketemu teman-teman yang cocok untuk melakukan eksplore sehingga ketagihan.

Ternyata material di tradisi amat sangat kaya, tidak selesai-selesai (dieksplore). Semakin kita menyelami, semakin kita terkaget-kaget. Yang aku sesalkan, kenapa musisi-musisi muda tidak mencari ke sana. Malah sibuk mengutak-atik modern terus, padahal semua aspek modern sudah selesai digarap. Sementara di tradisi masih banyak yang belum digarap.

Masih ada obsesi untuk mengeksplore wilayah lain?

Aku belum masuk ke musik healing, rencana untuk album kelima. Aku mau menggabungkan tradisi dengan orkestra, tradisi dengan tekno. Narasi bisa diolah ulang. Ada beberapa nomor yang aku adopsi dari tradisi menjadi sesuatu yang lebih serius. Salah satunya berjudul husip-husip, atau bisik-bisik. Nomor ini mengangkat kebiasaan bisik-bisik dalam sebuah pesta Batak. Biasanya, saat pesta kedatangan tamu agung, satu keluarga bisik-bisik terkait hadiah apa yang akan diberikan. Husip-husip juga dilakukan para cewek saat melihat cowok di pesta muda-mudi.

Isu ini aku angkat menjadi bisik-bisik politik nasional. Sebab politik yang kita saksikan di negeri ini berawal dari bisik-bisik di belakang layar. Nah itu contoh mengangkat hal yang tradisi menjadi kekinian.

Apa harapan Anda pada perkembangan world music di Indonesia?

Aku membayangkan world music menjadi industri. Sekarang sudah diakui PBB, sudah sadar pentingnya culture industry. Bukan hanya musik modern yang bisa menjadi industri, musik tradisi juga bisa. Aku percaya itu. Tinggal bagaimana kerja bersama antar pemangku kepentingan. Jika semua  pihak menyadari pentingnya melestarikan dan mengembangkan musik etnik sebagai kekayaan budaya bangsa, aku pikir untuk mewujudkan culture industry di Indonesia hanya soal waktu.

 

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini