PojokTIM – Proses kreatif hanya dapat dijelaskan oleh penulisnya. Pembaca, termasuk pengamat dan kritikus, sebatas memberikan tafsir atau telaah terhadap isi teks. Namun demikian, meski proses kreatifnya berbeda-beda, ada satu benang merah yang menghubungkan antarpenulis selama masih dalam bentuk teks prosa seperti cerita pendek (cerpen).

Demikian dikatakan sastrawan Nanang R Supriyatin ketika didaulat sebagai pemateri dalam acara launching dan bedah buku kumpulan cerpen berjudul Kontrak Politik yang ditulis Putra Gara, Ismail Lutan dan Hamidin Krazan di aula Universitas Islam As-Syafi’iyah, Jatiwaringin, Bekasi, Sabtu (28/6/2025).

“Buku kumpulan cerpen Kontrak Politik menawarkan keberagaman pendekatan terhadap realitas yang kompleks, perenungan dan penuh paradoks. Cerita-cerita dalam buku ini tidak menawarkan tafsir tunggal, namun kaya makna dengan spektrum yang luas,” ujar Nanang dalam materi berjudul Antara Janji, Doa dan Satire.

Politik kekuasaan, krisis spiritual dan kegamangan sosial dalam budaya urban, menjadi bahasan yang menarik dari 3 penulis yang menggunakan pendekatan berbeda. “Buku ini bukan sekedar kumpulan fiksi, melainkan juga dokumen kultural yang menangkap jerit sosial dengan cara yang tak selalu gamblang, namun membekas,” terang Nanang.

Ismail Lutan, misalnya, menawarkan satire politik yang kuat, menjadikan absurditas sebagai pondasi naratif. Dalam cerpen Kontrak Politik yang menjadi judul buku, Ismail mampu mempermainkan logika kekuasaan dan tubuh perempuan dalam metaforis yang panjang tanpa kehilangan tawa jenaka yang getir.

Sementara Gara, memilih jalur kontemplatif spiritual dan personal. Cerpen Sebuah Jalan menjadi titik keseimbangan buku kumpulan cerpen yang banyak mengangkat tema politik.

“Putra Gara tak membunuh rima, namun menggiring pembaca secara perlahan untuk masuk dunia sunyi yang justru lebih bising daeri keramaian. Kesederhanaan (ceritanya) adalah ketajamannya. Ia tidak melawan dunia dengan satire, tapi dengan diam dan doa,” beber Nanang.

Gaya tulisan Hamidin Krazan, yang tidak hadir dalam acara itu, menurut Nanang, lebih nge-pop, penuh permainan simbol dan humor gelap.

Kekuatan Kata

Baik Gara maupun Lutan, sama-sama membedah proses kreatif di balik cerpen-cerpen yang dimuat dalam buku antologi tersebut. Lutan mengatakan sebenarnya sempat memilih judul Kertas Kecil Dibingkai Takdir yang bertutur tentang kecurangan demokrasi ketika Mahkamah Konstitusi mengutak-atik syarat pencalonan presiden dan wakil presiden untuk meloloskan Gibran Rakabuming Raka di Pilpres 2024.

Terhadap hal itu, Gara menjelaskan mengapa akhirnya buku kumpulan cerpen itu diberi judul Kontrak Polirik. “Sebab 5-10 tahun terakhir pembicaraan politik bukan hanya konsumsi kalangan menengah atas, namun juga masyarakat bawah. Sebagai penulis sastra, kita tidak mau tinggal diam di mana dinamika sosial di masyarakat kita sajikan dalam bentuk karya, dan Kontrak Politik cukup relevan dengan kondisi saat ini sehingga layak dijadikan judul,” terang Gara.

Menjawab pertanyaan audiens, penulis novel Samudera Pasai itu menerangkan pentinganya wawasan luas bagi penulis agar karyanya tidak kering. “Semua orang bisa menulis, tetapi tulisan seorang sastrawan memiliki kekuatan, memiliki ruh sehingga bukan hanya enak dibaca, namun juga memiliki jiwa dan makna mendalam,” terang Gara.

Selain bedah buku, acara yang digelar Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) itu juga diisi dengan pementasan teater dan tari-tarian tradisional dari berbagai daerah yakni Palembang, Aceh, Sunda dan Betawi.

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini