PojokTIM– Bertajuk pra-even, pertemuan pengurus Jagat Sastra Milenia (JSM) bersama sejumlah perwakilan komunitas di Resto Sate & Seafood Senayan, di bilangan Salemba, Jakarta Pusat, Sabtu (16/11/2024) berlangsung serius namun penuh guyonan. Kehadiran sastrawan Naning Scheid yang tinggal di Belgia bersama cerpenis Sasti Gotama menjadi pembeda dari acara-acara sebelumnya.
“Kebetulan Naning Scheid sedang berada di Indonesia, jadi sekalian kita undang dalam pra-even Festival Dies Miladia JSM ke 4, yang puncaknya akan digelar Minggu besok, 17 Movember 2024, di Kafe Sastra Balai Pustaka. Harapannya, kita bisa mendapat gambaran tentang sastra Prancis, terutama terkait puisi-puisi Charles Pierre Baudelaire yang telah diterjemahkan oleh Naning ke dalam Bahasa Indonesia,” ujar Ketua JSM Riri Satria.
Menurut Riri, penyair yang juga pakar ekonomi digital, mengenal sastra dunia sangat penting untuk memahami kekuatan sastra lokal. Tanpa pembanding, maka tidak akan ditemukan kekurangan dan kelebihan suatu karya.
“Saya termasuk yang penasaran, mengapa ada puisi Baudelaire yang disensor di negaranya sendiri. Seringnya kita mendengar praktek pencekalan terhadap karya sastra ada di negara-negara yang tidak demokratis. Sementara Prancis merupakan pusat kebudayaan dunia, kok melakukan pencekalan terhadap karya sastra. Seberapa besar ancaman yang ditimbulkan oleh puisi itu sehingga sampai dicekal?” kata Riri memantik diskusi yang juga dihadiri sastrawan Sofyan R. Zaid, Nunung Noor El Niel, Rissa Churria, Nanang R Supriyatin, Ical Vrigar, Giyanto Subagio, Shantined, dan lain-lain.
Naning Scheid membenarkan ada 6 puisi Baudelaire yang sempat dicekal oleh pemerintah Prancis. Namun hal itu terjadi pada abad 19, di masa rezim Napoleon Bonaparte, khususnya ketika kekuasaan negara belum dipisahkan dari kekuasaan gereja.
“Puisi-puisi Baudelaire yang dicekal umumnya yang menurut aturan waktu itu, melanggar norma agama (Katolik). Hanya 2 minggu setelah Les Fleurs du Mal terbit, langsung dihadapkan pada pengadilan dengan tuduhan sebagai penista agama. Sebab puisinya mengkritik otoritas gereja, membahas tentang LGBT, dan hal-hal yang saat itu masih dianggap tabu,” terang Naning.
Buku Les Fleurs du Mal kemudian dibredel, dan hanya diperbolehkan terbit kembali jika tanpa menyertakan 6 puisi yang dilarang. Setelah kekuasaan Napoleon jatuh, Les Fleurs du Mal terbit kembali lengkap dengan 6 puisi yang sempat dilarang.
“Les Fleurs du Mal saya terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul Bunga-Bunga Iblis berisi 154 puisi di mana ada beberapa puisi yang panjangnya 2-3 halaman. Saya tertarik menerjemahkan Les Fleurs du Mal karena selalu dibicarakan dari masa ke masa dan telah menginspirasi penyair-penyair setelahnya seperti Arthur Rimbaud, atau penyair berbahasa Inggris TS Elliot,” terang Naning.
Terkait proses penerjemahan yang dilakoni, Naning mengaku lumayan melelahkan. Terlebih banyak kata atau diksi yang membutuhkan referensi tersendiri karena berhubungan dengan peristiwa, lokasi atau orang. Namun proses itu bisa dilalui karena kekagumannya pada Baudelaire dan keinginannya agar masyarakat Indonesia yang tidak mengakrabi Bahasa Prancis dapat ikut menikmati Les Fleurs du Mal.
Di akhir acara, Nunung El Niel menjelaskan agenda Festival Dies Miladia JSM ke 4 di Kafe Sastra Balai Pustaka.
“Acaranya santai, lebih banyak diisi dengan pembacaan puisi dan testimoni,” ujar Nunung yang didapuk sebagai Ketua Panitia Festival Dies Miladia JSM ke 4.
Selain itu juga ada kilas balik serta syukuran perayaan HUT JSM, peluncuran buku antologi puisi Jejak Masa Depan: Sustainable Development Goals dalam Puisi, peluncuran buku Meretas Pemikiran Riri Satria: Kecerdasan Buatan dan Puisi yang ditulis Rissa Churria.
“Selebihnya ramah-tamah dan silaturahmi,” terang Nunung seraya mengundang seluruh peserta untuk hadir pada Festival Dies Miladia JSM.