Sofyan RH Zaid (berdiri, baju hitam) saat menjadi pemantik diskusi di atas makam Chairil Anwar. Foto: Ist 

PojokTIM –  Apa jadinya ketika diskusi dilakukan di atas kuburan dalam kompleks pemakaman yang luas? Tidak ada keriuhan. Tidak ada audiens yang asyik berbicara sendiri sebagaimana sering dijumpai dalam diskusi-diskusi di ruangan tertutup yang sejuk. Suasana begitu ngelangut dan ingatan pada si mati menjadi begitu kuat. Bahkan Sofyan RH Zaid pun kehilangan mantra guyonannya ketika menjadi pemantik diskusi .

“Dari berbagai sumbangsihnya terhadap puisi Indonesia modern, oralitas adalah salah satunya, yang belum banyak dibahas atau ditulis dalam buku-buku tentang Chairil Anwar,” ujar Sofyan dalam acara ziarah kubur ke makam Chairil Anwar, di TPU Karet Bivak, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Senin (28/4/2025).

Acara yang digagas Taman Inspirasi Sastra Indonesia (TISI) turut mendaulat Ewith Bahar sebagai pembahas pertama serta dihadiri sejumlah tokoh sastra dan penyair di antaranya Octavianus Masheka (ketua TISI), Jose Rizal Manua, Maman S Mahayana, Imam Ma’arif, Slamet Widodo, Boyke Sulaiman, Nanang R Suprihatin, Giyanto Subagio Dyah Kencono, Ikhsan Risfandi dan lain-lain. Evawani Alissa, putri tunggal Chairil Anwar hadir menggunakan kursi roda sehingga tidak bisa mencapai pusara ayahnya di tengah kompleks pekuburan yang padat.

Menurut Sofyan, Chairil meninggalkan warisan dalam teknik menulis puisi, yakni metode melisankan tulisan bukan sebaliknya – menuliskan lisanan. Setiap puisi yang ‘ditulis’ Chairil memang diniatkan untuk dioralkan yakni dilisankan, dibacakan, atau diucapkan. Puisinya lahir dan hadir untuk diperdengarkan,

“Puisi Chairil adalah puisi kamar yang – kamar itu –  letaknya di panggung. Puisi-puisi oralitas Chairil bersifat deklamatif. Evawani pernah bercerita ke saya bahwa setiap kali Chairil menuliskan puisi, dia akan teriak memanggil istrinya: “Gajah…Gajah…Aku punya sajak baru, sini kau dengar dengan saksama,” seraya naik ke atas meja dan membacakan puisinya dengan lantang. Dari kesannya saat dibacakan itulah, Chairil kemudian merevisinya lagi dan lagi, hingga jadi ‘lagu’ yang nyaman diperdengarkan,” terang Sofyan.

Dua sumbangsih lain Chairil yang dibahas Sofyan adalah upayanya membumikan puisi dan menjadikan puisi sebagai simbol perlawanan

“Chairil mendekatkan puisi kepada masyarakat melalui sikap kepenyairannya yang lebih memilih menulis puisi dari kosakata keseharian daripada kosakata Melayu tinggi yang lazim dipakai para pendahulunya. Uniknya, kosakata keseharian yang ‘biasa’ itu menjadi luar biasa di tangan Chairil tanpa kehilangan daya gedor dan puitiknya,” kata Sofyan.

Chairil juga menjadikan puisi sebagai simbol perlawanan. Melalui dirinya, demikian Sofyan, kita bisa menyadari bahwa puisi bukan hanya bisa merayu, tetapi juga dapat melawan segala bentuk penjajahan dan ketidakadilan.

“Hingga detik ini, walau kita sedang hidup di era yang serba mudah dan terbuka, saya kira, belum ada sosok penyair Indonesia yang setara dengan Chairil Anwar. Terutama dalam konteks keberaniannya menolak secara terbuka gaya puisi para pendahulunya. Kemudian dia melakukan pembaharuan puisi dengan free verse, dan berhasil,” tegas Sofyan.

Keberhasilan Chairil tidak bisa dilepaskan dari sikap anti kemapanannya, individualis, dan bebas. “Berdasar ketiga sikap itulah, Chairil punya semangat pencarian (never ending process) dan pembaruan yang menjadikannya tak tergantikan. Maka, adil ketika dia mendapat posisi, tempat yang kuat dan dicatat dengan jelas sumbangsihnya dalam perpuisian Indonesia modern,” ujar Sofyan.

Terlepas dari posisinya sebagai ‘pelopor angkatan 45’, Sofyan menambahkan, Chairil telah menjadi gerbang puisi modern Indonesia. Chairil juga telah menjadi ikon kepenyairan Indonesia. Di mana hari lahir dan wafatnya diperingati sebagai hari puisi di Indonesia. Hari Puisi Indonesia merujuk pada tanggal lahir dan Hari Puisi Nasional mengacu pada tanggal wafatnya. Tentu, ini satu-satunya di dunia.

“Posisi dan sumbangsih Chairil di dalam perpuisian Indonesia, diperoleh secara berdarah-darah, bukan mengibah-ibah. Jadi, apabila kini banyak penyair tidak setara dengan Chairil, tidak punya posisi yang kuat dan tidak memiliki sumbangsih yang jelas bagi perpuisian Indonesia, barangkali karena telah kehilangan sikap anti kemapanan, individualis, dan bebas,” tutup Sof\yan.

 

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini