PojokTIM – Berbagai elemen pro demokrasi seperti YLBHI, KontraS, Koalisi Seni Indonesia hingga Efek Rumah Kaca. grup musik yang lantang menyuarakan masalah-masalah sosial, berkumpul di Bioskop Kineforum yang juga ruang Teater Asrul Sani, kompleks Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki, Cikini Jakarta Pusat, Kamis (17/4/2025).
Kehadiran mereka untuk mengikuti Sarasehan Gerakan Kebudayaan dan Demokrasi yang digelar Simpul Seni Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Berbagai isu civil socierty, terutama yang menyangkut hukum, politik dan demokrasi, menjadi bahasan utama dalam sarasehan yang juga dihadiri pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti.
Setelah dibuka oleh Ketua DKJ Bambang Prihadi, sarasehan dipantik dengan paparan Iwan Hermawan, wartawan CNN, yang menyoroti dampak revisi UU TNI yang sekarang telah disahkan. Masuknya pasal yang mengatur TNI memiliki kewenangan untuk menanggulangi ancaman siber dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP), patut dicermati karena masih multitafsir.
“Apakah TNI akan melakukan patroli terhadap konten-konten di media sosial? Apa batasan konten yang dianggap sebagai ancaman negara? Ini yang perlu diperjelas agar tidak menjadi alat represif terhadap ruang-ruang kebebasan, termasuk terhadap karya seniman,” ujar Iwan.
Meski demikian Iwan mengingatkan, masuknya TNI ke ranah sipil juga dipicu oleh ketidakmampuan pejabat sipil menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi di tengah masyarakat. Iwan mencontohnya pengerahan prajurit TNI untuk menanam padi hingga pembuatan irigasi, yang seharusnya dapat ditangani oleh sipil.
“Oleh karenanya, di samping mengkritisi dan mencegah masuknya TNI ke ranah sipil, kita perlu melakukan penguatan di sektor-sektor sipil,” tegas Iwan.
Sementara Haves Gumay dari Koalisi Seni Indonesia (KSI) menyoroti perubahan pola pembatasan pementasan seni yang dulunya dilakukan oleh ormas melalui 3 isu yakni penistaan agama, LGBT, dan komunis, sejak pemberlakuan UU Ormas yang baru, kendali dilakukan sendiri oleh pemerintah melalui berbagai regulasi yang meniadakan ruang berekpresi. Terlebih di masa pandemi Covid 19.
“Ketika seniman yang menggantungkan hidupnya dari aktivitas seni dilarang berkegiatan dengan dalih prokes (protokol kesehatan), pada saat bersamaan terjadi pembiaran terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan pemerintah meskipun mendatangkan kerumunan warga. Ini bentuk pelanggaran yang serius di mana aturan hanya diberlakukan kepada masyarakat kecil,” papar Haves.
KSI mencatat, demikian Haves, memasuki tahun 2025 pasca pergantian rezim, telah terjadi sejumlah peristiwa berkaitan dengan sikap represif penguasa terhadap kebebasan berekspresi bagi seniman. Pertama, larangan pameran lukisan Yos Suprapto di Galeri Nasional. Kedua, larangan Teater Payung Hitam mementaskan lakon Wawancara Dengan Mulyono oleh rektorat Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung. Ketiga, represi terhadap personel band Sukatani yang membawakan lagu Bayar, Bayar, Bayar. Keempat, pelarangan pameran lukisan Garuda Tikur di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
“Setiap tahun KSI membukukan berbagai peristiwa pelangaran terhadap kebebasan berekpresi tersebut. Untuk tahun ini, buku akan diluncurkan pada bulan Mei mendatang,” terang Haves.
Sarasehan yang dipandu Ketua Simpul Seni DKJ Aquino Hayunta, semakin menarik ketika Yati Andriani dari KontraS, Muhammad Isnur dari YLBHI memberikan pemaparan serta tanggapan dari Bivitri.
Diawali oleh Yati Andriani yang mngungkap adanya 9 potensi pelanggaran terhadap hak-hak politik warga sipil yang dicatat oleh Koalisi Masyatakat Sipil terkait pengesahan UU TNI hasil revisi dan rencana revisi UU Polri.
“Perluasan kewenangan dari TNI dan Intelkam Polri membawa konsekuensi mereka bisa melakukan pengawasan, penindakan, bahkan pemutusan akses terhadap sipil. Dengan kewenangan yang dimiliki saat ini saja sudah sering terjadi pelanggaran terhadap hak-hak sipil, termasuk pembatasan ruang berekspresi bagi seniman, apalagi setelah adanya penambahan kewenangan,” ujar Yati.
Mirisnya, kegiatan sipil harus melalui izin polisi yang dalam memutus apakah satu kegiatan boleh atau tidak boleh dilakukan selalu menggunakan alasan keamanan nasional. “Ini (alasan) karet. Apa sih yang dimaksud ketertiban dan keamanan nasional? Sebab kadang (alasannya) sangat politis, hanya berkaitan dengan ketakutan penguasa,” terang Yati.
Mantan Koordinator KontraS itu memuji sifat resiliensi seniman yang tetap dapat berkarya, menyuarakan protes dan kegelisahannya di tengah situasi represif, atau di tengah tekanan rezim. Yati berharap gerakan masyarakat sipil dan gerakan kesenian lebur menjadi gerakan kebudayaan yang memiliki tujuan sama.
“Persoalan saat ini bukan lagi isu per isu tetapi budaya sipil yang sudah direbut, ditarik kembali oleh rezim keamanan, sekuritisasi. Kontrol keamanan menjadi budaya yang dilegalisasi melalui undang-undang,” tegas Yati.
Menyambung hal itu, Muhammad Isnur yang menjadi pembicara keempat, meledek kegiatan diskusi tersebut sebagai manivesto DKJ untuk menjadikan TIM rumah gerakan sehingga kelak tidak ada lagi larangan kegiatan berkesenian di TIM sebagainya pengusiran terhadap Belok Kiri Festival. Diskusi itu juga sebagai bentuk kesadaran bahwa ruang-ruang sipil semakin menyempit.
“Watak otoritarian, watak rezim antiseni, antipengetahuan, antikebebasan, masih bercokol. Dalam rentang 25 tahun setelah reformasi, setiap tahun terjadi pelanggaran terhadap hak-hak sipil. Bahkan DNA kekerasan itu bergenerasi di kalangan aparat,” terang Isnur.
Papaparan para pemantik diskusi mendapat tanggapan dari sejumlah seniman. Ketua Dapur Sastra Jakarta )DSJ) Remmy Novaris DM mengatakan, seniman memiliki catatan buruk terhadap DKJ ketika justru menjadi alat represi bagi seniman menjelang reformasi 1998 di mana kebebasan berkarya dibatasi dengan alasan-alasan di luar kesenian. Akibatnya muncul reaksi balik dari seniman dengan menggelar panggung reformasi selama 4 bulan untuk menurunkan pengurus DKJ di bawah kepemimpinan Salim Said.
Pernyataan Remmy didukung oleh Mono Wangsa, teaterwan sekaligus penyair kawakan yang telah meraih sejumlah prestasi nasional. Mono menyayangkan gerakan seniman saat itu justru ditunggangi para politisi. Oleh karenanya, menurut Mono, para seniman tidak ingin kejadian tersebut terulang kembali.
“Saat ini kami hanya ini menghidupkan ekosistem berkesenian dengan menjaga marwah TIM sebagai etalase kebudayaan, sebagai laboratorium kesenian. Tiba-tiba sekarang datang teman-teman aktivis yang (kesannya) mengajak kami (seniman) bergerak di bidang politik, bukan hanya kesenian. Padahal seniman sudah memilikki jalan sendiri untuk menyuarakan persoalan-persoalan yang terjadi saat ini di mana Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Biarkan seniman di jalannya sendiri, tidak perlu berebut ruang dengan teman-teman aktivis. (Jika dipaksakan) kami khawatir kejadian 1998 terulang,” ujar Mono.
Menanggapi hal itu, Bivitri mengapresiasi gerakan seniman yang dilakukan tahun 1998. Gerakan perlawanan tidak harus dilakukan dengan satu model tertentu. Yang terpenting semua memiliki kesadaran tentang pentingnya politik, mempolitikkan diri, karena segala kebijakan yang menyangkut warga bangsa adalah produk politik.